Menuju konten utama

Polisi Bunuh Diri: Pembinaan Kesehatan Mental Harus Dipenuhi

Polri harus paham bahwa personel polisi yang melakukan pelanggaran – baik etik maupun pidana – boleh jadi merupakan manifestasi masalah kejiwaan.

Polisi Bunuh Diri: Pembinaan Kesehatan Mental Harus Dipenuhi
Sejumlah anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengikuti apel pergeseran pasukan pengaman Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Senin (12/2/2024). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/foc.

tirto.id - Peringatan: Artikel ini tidak ditujukan menginspirasi pembaca melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri atau individu lain. Jika merasakan gejala gangguan kejiwaan, atau muncul kecenderungan berupa melukai diri dan individu lain, segera konsultasikan kondisi Anda ke pihak-pihak profesional yang dapat membantu, seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.

Kasus bunuh diri ajudan Wakapolres Sorong, NRN, menambah catatan persoalan institusi kepolisian. Polres Sorong menyatakan NRN diduga bunuh diri lantaran masalah asmara. Meski kasus bunuh diri anggota polisi kerap di latar belakangi masalah pribadi, maraknya kejadian ini harus menjadi alarm pembinaan sumber daya manusia di tubuh Polri.

Polisi juga manusia yang memiliki keterbatasan dan persoalan. Kesejahteraan angota polisi sejatinya harus meliputi jaminan pembinaan kesehatan mental mereka. Bukan tanpa sebab, anggota polisi harus turun ke masyarakat untuk bertugas mengayomi dan melindungi. Tentu diperlukan mental yang sehat agar tidak terjadi ekses negatif dalam bertugas.

Peneliti ISESS bidang kepolisian, Bambang Rukminto, menilai belum ada penelitian khusus tingkat bunuh diri terhadap anggota polisi di Indonesia. Namun, potensi masalah kesehatan mental tentu turut hadir di institusi kepolisian dan perlu menjadi perhatian semua pihak.

“Problem mental anggota kepolisian saat ini bukan hanya sekedar beban kerja, tetapi juga beban sosial akibat pandangan masyarakat pada citra dan reputasi kepolisian,” kata Bambang kepada reporter Tirto, Kamis (18/7/2024).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.

Selain itu, Sistem Registrasi Sampel oleh Badan Litbangkes tahun 2016 mencatat, data bunuh diri per tahun ada sebanyak 1.800 orang atau setiap hari 5 orang melakukan bunuh diri. Lebih lanjut, 47,7 persen korban bunuh diri ada pada usia 10-39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia produktif.

Bambang menambahkan, data di atas turut mencatat rasio jumlah psikiater dengan potensi gangguan jiwa yang dialami masyarakat, yakni 1 banding 250.000 jiwa. Hal itu, kata dia, juga bisa jadi gambaran umum pada rasio psikiater di institusi kepolisian dibanding anggota polisi.

“Dengan rasio yang minimalis tersebut tentu tak bisa diharapkan bisa berbuat banyak dalam menangani masalah kesehatan mental anggota polisi,” ujar Bambang.

Pembinaan mental dan rohani anggota polisi sebetulnya sudah diatur dalam Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Pembinaan Rohani, Mental, dan Tradisi di Lingkungan Polri. Sayangnya, Bambang menilai pembinaan mental anggota masih dilakukan insidentil atau ketika momen-momen tertentu saja.

“Saat di SPN, saat diangkat sebagai anggota Polri, dan saat nikah saja. Tak ada program kesinambungan,” terang dia.

Padahal, isu kesehatan mental anggota kepolisian perlu ditangani serius karena berpotensi mempengaruhi sikap polisi di lapangan. Misalnya, Bambang menilai masih banyak anggota polisi terlibat narkotika, kekerasan dalam rumah tangga, sampai bunuh diri.

“Mengindikasikan problem kesehatan mental anggota kepolisian saat ini sedang sakit,” tambah Bambang.

Menurut dia, masyarakat tentu tidak berharap memiliki penegak hukum bermental lemah dan kesehatan mentalnya tidak sehat. Agenda revisi UU Polri seharusnya dapat menjadi momentum untuk pembenahan layanan pembinaan kesehatan mental anggota, alih-alih bicara soal perluasan kewenangan Polri.

Berdasarkan catatan Indonesia Police Watch (IPW), sejak awal 2024 hingga kasus bunuh diri NRN di Sorong, tercatat sedikitnya 5 peristiwa polisi bunuh diri. Awal tahun ini, 9 Januari 2024, Bripda MR, anggota Polres Wonogiri, ditemukan meninggal di kamarnya yang berada di Barak Dalmas Polres Wonogiri. MR diduga bunuh diri karena ada perselisihan dengan kekasihnya.

Kasus kedua terjadi, Selasa, 23 Januari 2024 lalu. Ipda WH, anggota polisi yang bertugas di Sekolah Polisi Negara (SPN) Sofifi diduga bunuh diri di kamarnya. Ia tinggal di Asrama SPN Polda Maluku Utara (Malut).

Kasus lainnya, terjadi pada Kamis pagi, 4 April 2024. Kompol T, anggota Direktorat Reserse Narkoba Polda Jawa Tengah ditemukan tewas di rumahnya, kompleks Akpol Semarang. Ia diduga memiliki masalah dengan keluarga.

Masih di bulan April, Brigadir RAT, anggota Satlantas Kepolisian Resor Kota Manado tewas dengan luka tembak di dalam mobil di sebuah rumah pribadi di Kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Polres Metro Jakarta Selatan menutup kasus ini dan menyimpulkan RAT bunuh diri dengan senjata api jenis HS kaliber 9 mm.

Ilustrasi Duka Cita

Ilustrasi Duka Cita. foto/isotckphoto

Faktor Bunuh Diri

Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menyatakan kasus bunuh diri di kalangan anggota polisi dapat dipicu oleh kombinasi tekanan pekerjaan yang intens dan gangguan kesehatan mental yang tak ditangani, seperti depresi atau PTSD.

Selain itu, budaya di kepolisian yang mengutamakan kekuatan dan menghindari pengakuan akan kelemahan dapat memperburuk situasi mereka.

“Ini [jadi] membatasi anggota mencari bantuan yang sangat dibutuhkan. Ini menunjukkan pentingnya menangani masalah kesehatan mental dengan serius di lingkungan kepolisian,” kata Wawan kepada reporter Tirto, Kamis.

Kesejahteraan mental, kata Wawan, merupakan aspek kritikal yang seringkali terabaikan dibandingkan dengan pendapatan atau kesejahteraan fisik. Mengingat tuntutan pekerjaan yang butuh ketelitian dan ketangguhan, perhatian lebih terhadap kesehatan mental anggota polisi tentu tidak cuma meningkatkan kinerja, tetapi juga kualitas hidup anggota kepolisian.

“Gangguan kesehatan mental pada anggota polisi memang dapat mempengaruhi kinerja mereka di lapangan, potensial menimbulkan perilaku agresif atau keputusan yang tidak tepat. Ini menegaskan perlunya program dukungan psikologis yang kuat,” ujar Wawan.

Menurut Wawan, Polri dan pemerintah harus berperan aktif mencegah bunuh diri anggota kepolisian. Hal tersebut dapat dilakukan lewat mempromosikan urgensi kesehatan mental, hadirnya program pendidikan dan pelatihan stres, serta mendukung budaya yang terbuka soal pembahasan dan penanganan gangguan mental.

“Inisiatif-inisiatif ini harus diintegrasikan sebagai bagian dari pelatihan dan operasi kepolisian sehari-hari untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan preventif,” terang Wawan.

Sejak tahun lalu, As SDM Polri sebetulnya sudah mulai menyadari pentingnya kebutuhan konselor di institusi kepolisian. Saat itu, Polri memiliki rencana memenuhi hadirnya konselor psikolog hingga di tingkatan polres.

POLRI AKAN BONGKAR MAKAM KORBAN KANJURUHAN

Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo (kanan) memberikan keterangan pers terkait rencana akan dilaksanakannya ekshumasi atau penggalian makam korban tewas kasus tragedi Stadion Kanjuruhan di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Sabtu (15/10/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/YU

Kala itu, Polri membuka rekrutmen bintara kompetensi khusus atau Bakomsus Psikologi dan Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPSS) untuk mencukupi kebutuhan Pegawai Negeri pada Polri (PNPP) berkualifikasi ilmu psikologi. Kerja sama pelatihan konseling juga direncanakan bersama dengan International Criminal Investigative Training Assistance Program (ICITAP).

Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri, membeberkan bahwa ada penelitian di Amerika Serikat yang menyebut prevalensi bunuh diri di kalangan polisi lebih tinggi dibandingkan masyarakat sipil. Hasil penelitian itu tak mengagetkan, kata dia, sebab betapa beratnya tekanan batin yang dialami personel polisi.

“Tambahan lagi, organisasi [kepolisian] cenderung men-dehumanisasi personel. Harus selalu 'siap', '86', 'perintah', dan ekspresi-ekspresi macho lainnya. Organisasi juga tidak begitu peduli terhadap kesulitan personel,” kata Reza kepada reporter Tirto, Kamis.

Menurut Reza, setidaknya ada lima faktor stres yang biasa menimpa anggota polisi. Yakni urusan pekerjaan, aspek non-pekerjaan di organisasi kepolisian, tekanan dari masyarakat, persoalan keluarga, dan masalah kesehatan pribadi.

Polri perlu melakukan kesehatan mental secara berkala pada anggota mereka. Mereka harus paham, kata Reza, bahwa personel polisi yang melakukan pelanggaran – baik etik maupun pidana – boleh jadi merupakan manifestasi masalah kejiwaan.

“Ujung-ujungnya tinggal pilih: personel melakukan kekerasan terhadap masyarakat atau terhadap dirinya sendiri,” ujar Reza.

Sementara itu, Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, memandang bahwa Polri harus memberikan perhatian serius dengan adanya kasus anggota yang diduga melakukan bunuh diri. Korban bunuh diri, kata dia, pasti mengalami tekanan berat dalam hidup sehingga memilih jalan pintas mengakhiri hidup.

“Oleh karena itu sangat penting upaya untuk merawat psikis anggota – tidak hanya fisiknya – agar anggota sehat jasmani rohaninya, sehingga dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya,” ujar Poengky kepada reporter Tirto, Kamis.

Poengky Indarti

Anggota Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti. ANTARA/Laily Rahmawaty/am.

Perawatan psikis anggota dapat dilakukan dengan berbagai macam cara: antara lain memberikan siraman rohani keagamaan, konseling psikologi, memberikan reward kepada anggota berprestasi, serta perhatian dan sapaan atasan langsung kepada anggota di tingkat bawah. Selain itu, pemenuhan kebutuhan konseling psikologi di tingkat Polres bakal lebih mudah dijangkau anggota.

“Direkomendasikan untuk menyediakan layanan konseling psikologi di tiap-tiap Polres. Saat ini pemeriksaan psikologi hanya disediakan di Polda, belum sampai di tiap Polres,” kata Poengky.

Selain itu, jelas Poengky, pemeriksaan psikologi biasanya cuma dilakukan untuk penilaian promosi jabatan, untuk tes surat izin senjata api, atau setelah bertugas di daerah konflik. Oleh karena itu, diharapkan layanan psikologi mudah dijangkau anggota untuk pemenuhan kesehatan mentalnya.

“Atasan langsung diharapkan mengawasi seluruh anggota agar mengetahui sedini mungkin jika anggota memiliki masalah,” pungkas Poengky.

Baca juga artikel terkait POLISI BUNUH DIRI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky