tirto.id - Pemerintah berencana memindahkan narapidana warga negara asing (WNA) ke negara asal. Kini, pemerintah pusat mengaku masih mengkaji rencana pemindahan narapidana WNA tersebut. Kajian pemidahan itu akan dilakukan Kementerian Hukum serta Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) usai ada rencana pemindahan lima terpidana seumur hidup jaringan narkoba Bali Nine ke negara asalnya, Australia.
Rencana ini lantas mengundang kontroversi. Rencana itu dipertanyakan apakah pemerintah hendak mengedepankan kepentingan politik internasional atau kemanusiaan.
Menteri Hukum, Supratman Andi Atgas, menyebutkan, pemindahan narapidana WNA masih dalam kajian. Kementerian Hukum disebut juga tengah berkoordinasi dengan Menteri Koordinator HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra serta instansi terkait soal rencana pemindahan narapidana WNA. Supratman mengatakan, hasil koordinasi yang berupa kajian itu nantinya akan diserahkan kepada Presiden Prabowo Subianto.
"Saat ini, kami masih mempelajari bersama dengan Pak Menko Yusril, dan para stakeholder terkait [terkait rencana pemindahan terpidana WNA]," ucapnya dalam keterangan yang diterima, Senin (25/11/2024).
"Hasil kajian tersebut nantinya akan kami konsultasikan kepada Presiden RI Bapak Prabowo, sehingga keputusan yang nantinya diambil adalah yang terbaik," lanjut dia.
Supratman mengatakan, Prabowo telah menyetujui pemindahan terpidana WNA ke negara asalnya. Dalih Prabowo, yakni alasan kemanusiaan serta menjaga hubungan dengan negara lain. Di satu sisi, politikus Partai Gerindra ini mengakui bahwa Indonesia kini belum memiliki prosedur tetap soal pemindahan narapidana internasional. Namun, Kementerian Hukum disebut akan mengupayakan adanya prosedur soal pemindahan terpidana WNA.
"Presiden telah menyetujui secara prinsip [pemindahan terpidana WNA ke negara asal] atas dasar kemanusiaan dan menjaga hubungan baik dengan negara-negara sahabat," sebut Supratman.
"Ini penting untuk menjaga hubungan baik dengan negara sahabat. Namun, kita juga harus memastikan bahwa negara mitra menghormati proses hukum di Indonesia," imbuhnya.
Ia mengatakan, pemindahan terpidana WNA yang dikembalikan ke negara asal tak akan langsung dibebaskan. Akan tetapi, terpidana WNA bakal menjalani sisa masa hukuman di negara asalnya.
“Napi WNA dipindahkan ke negara asalnya bukan berarti bebas, tetapi mereka harus menyelesaikan masa tahanannya di negara masing-masing sesuai putusan hukum Indonesia,” sebut Supratman.
Supratman menerangkan, negara asal terpidana WNA harus mengakui putusan pengadilan Indonesia. Ia mengatakan, Indonesia berwenang mengadili WNA yang melakukan tindak pidana di Tanah Air.
Sementara itu, pemerintah pusat tengah mengupayakan pemulangan narapidana warga negara Indonesia (WNI) yang ditahan di luar negeri. Oleh karena itu, pemerintah pusat disebut berupaya menukar terpidana WNA dengan WNI yang ditahan di luar negeri.
"Kami juga meminta keluarga kami, WNI yang ada di luar [menjadi narapidana], sedapat mungkin juga bisa kembali ke Indonesia kalau terjadi pertukaran. Akan tetapi mekanismenya masih dalam kajian," tuturnya.
Kementerian Hukum, kata Supratman, telah menerima surat beberapa duta besar negara sahabat soal pemindahan terpidana WNA ke negara asal.
"Para duta besar sudah bermohon surat kepada kami dan ditunjukkan nanti kepada Presiden menyangkut soal permohonan untuk pengalihan," kata dia.
Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Impas) Agus Andrianto, mengeklaim telah ada tiga negara yang mengajukan pertukaran terpidana WNI dengan terpidana WNA. Salah satunya adalah Australia.
"Dari Perancis [meminta tukar] satu [terpidana], kemudian dari Australia lima [terpidana], kemudian Filipina satu [terpidana]," tuturnya.
Ia menegaskan, Kementerian Impas masih mengkaji rencana pemindahan WNA ke negara asal. Menurut Agus, Pemerintah harus mendapatkan keuntungan dari rencana pemindahan tersebut.
Di satu sisi, Pemerintah berencana menyusun peraturan soal kejahatan internasional yang menyandung WNI.
"Ini harus ada mutual agreement antara negara yang hadir dengan negara lain. Karena nanti, kita akan dapatkan hal yang sama dengan warga Indonesia [menjadi terpidana di luar negeri]. Ini masih dalam pembahasan," ucap Agus.
"Nanti kita akan beritahu kepada tim untuk menyusun masalah. Aturan yang akan menjadi agar sah untuk bisa melakukannya," lanjut dia.
Koreksi Sistem Peradilan
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, berujar, rencana pemindahan WNA itu sejatinya bukan hanya sekadar transfer narapidana, tetapi juga terkait sistem peradilan di Indonesia.
Julius mengambil contoh dari kasus warga negara Filipina, Mary Jane, yang menjadi terpidana mati kasus narkoba. Menurut dia, Mary Jane merupakan warga menengah ke bawah yang dinilai tidak akan mungkin mengantongi atau memiliki heroin.
Namun, pengadilan Indonesia justru memvonis Mary Jane sebagai pemilik 2,6 kilogram heroin yang bernilai miliaran rupiah tersebut. Julis menilai Mary Jane sejatinya merupakan korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
"Bukan on behalfof Mary Jane, bukan memberikan keistimewaan kepada Mary Jane, istimewa pada Filipina, no, we are recovering our kebobrokan, memperbaiki celah sistem kita," ujarnya kepada Tirto, Senin.
"Tidak hanya sekadar memindahkan manusia, berdiplomasi, tapi yang lebih dalam lagi, terhadap mekanisme koreksi sistem peradilan pidana, terhadap kinerja aparat penegak hukum. Mary Jane satu kasus dari ribuan kasus TPPO. Ini yang harus kita benahi," lanjut dia.
Julius mengaku menyepakati langkah pemerintah yang hendak mengembalikan Mary Jane. Mengingat, Mary Jane diyakini merupakan korban TPPO.
"Kita harus secara tegas mengatakan kasus Mary Jane kasus humantrafficking yang membalut masalah narkoba. Artinya Mary Jane di sini korban human trafficking, TPPO," sebutnya.
Menyoal Dasar Hukum
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, mempertanyakan nihilnya peraturan pemindahan terpidana WNA ke negara asalnya. Padahal, peraturan tersebut marak diterapkan di negara lain. Ia menilai pemindahan napi WNA ke negara asalnya hanya sebatas perjanjian politik antar-negara.
"Kami mengamini bahwa kami kesulitan sangat untuk melihat sebenarnya dasar hukum napi di indonesia pakai dasar hukum apa karena tidak ada praktik pemindahan napi," tuturnya kepada Tirto, Senin.
"Jadi, memang berdasar analisis tersebut kami melihat, oh, ini nampaknya pure perjanjian politik antar-negara untuk memberikan transfer of prisoner," lanjut Maidina.
Menurut dia, Indonesia harus segera membentuk peraturan terkait pemindahan terpidana WNA. Pihak legislatif turut didorong untuk segera membahas peraturan tersebut.
Namun, Maidina mengingatkan pemerintah maupun legislatif untuk membuat peraturan yang dilandasi peraturan internasional terkait pemindahan napi WNA. Salah satu peraturan yang harus tertuang, yakni WNA yang hendak ditransfer harus terjamin tidak akan mendapatkan hukuman lebih berat di negara asalnya.
"Salah satu prinsip yang dihargai, dihormati, bahwa harus dijaminkan ketika ditransfer itu dilakukan, orang yang ditransfer tidak menghadapi hukuman yang lebih berat. Jangan sampai ada mekanisme diplomatik akan memberikan dampak kemanusiaan yang berlebih," ucap Maidina.
Selain soal nihilnya peraturan, Maidina juga mempertanyakan status Mary Jane yang merupakan terpidana mati. Sedangkan, Filipina tidak menerapkan hukuman mati.
Dengan demikian, syarat pemindahan terpidana WNA ke negara asal menjadi tidak terpenuhi. Padahal, Mary Jane seharusnya menjalani sisa hukuman di Filipina.
Di satu sisi, Maidina menekankan ICJR mendukung pemindahan terpidana WNA ke negara asal, dengan kondisi kemanusiaan.
"ICJR menemukan bahwa kondisi itu ada satu yang belum jelas kepastiannya, tapi ketidakjelasannya bukan berarti kita enggak mendukung pemindahan atas dasar kemanusiaan. Tapi, ada persoalan karena Mary Jane diputus pidana mati di Indonesia. Sedangkan Filipina tidak punya pidana mati. Kalau dengan hal tersebut, syarat itu patut dipertanyakan. Bagaimana implementasi sisa hukuman tersebut," urai Maidina.
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Andrian Pratama Taher