tirto.id - Tiga bulan jelang usia 35 tahun, Bashar al-Assad mendapat kabar bahwa Parlemen Suriah mengamendemen konstitusi negara yang menurunkan batas usia pencalonan presiden dari sebelumnya 40 tahun menjadi 34 tahun.
Ini terjadi di tengah suasana duka ketika ayahnya, Hafez al-Assad, wafat pada 10 Juni 2000 usai berkuasa hampir tiga dekade. Sebagai ahli waris kekuasaan, Assad memiliki potensi yang besar setelah saudara-saudaranya yang lain terlihat redup dalam urusan politik.
Atas dukungan Partai Ba’ath yang dominan, pada 10 Juli 2000 ia dilantik sebagai presiden usai memenangkan 97,29 persen suara dalam pemilihan umum yang hanya mencalonkan dirinya sebagai satu-satunya kandidat.
Dinasti Assad yang sudah berkuasa selama lebih dari lima puluh tahun telah melahirkan benih-benih pemberontakan di kalangan rakyat Suriah yang juga didukung Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris.
Pada hari Minggu kemarin, kelompok Hayat Tahrir al-Sham mengepung dan merebut istana Presiden Bashar al-Assad di Aleppo. Mereka juga membunuh seorang jenderal Korps Garda Revolusi Islam Iran dan menyerbu Konsulat Iran di kota tersebut.
Meskipun Pemerintah Suriah telah menguasai Aleppo sejak tahun 2016, istana tampaknya tidak berpenghuni saat serangan terjadi. Presiden Assad saat itu sedang bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran di Damaskus.
Langkah Mulus ke Tampuk Kekuasaan
Ayahnya, Hafez al-Assad, telah lebih dulu memimpin Suriah lewat kudeta tidak berdarah yang menggulingkan Salah Jadid pada 13 November 1970. Ia menjadi pemimpin de facto Suriah, kemudian resmi menjabat sebagai presiden satu tahun kemudian.
Sebelumnya, Partai Ba'ath mengambil alih kekuasaan di Suriah pada tahun 1963 melalui kudeta yang menggulingkan pemerintahan Nazim al-Qudsi. Selama periode ini, Hafez al-Assad mulai meraih pengaruh besar dalam partai dan militer.
Ketika menjadi presiden sekaligus perdana menteri, Hafez mendirikan rezim otoriter yang kuat dengan kontrol ketat terhadap semua aspek kehidupan politik dan sosial. Ia menggunakan kekerasan untuk menekan oposisi, misalnya yang terjadi selama Pemberontakan Hama pada tahun 1982, yang menewaskan ribuan orang.
Hafez juga memberikan posisi kunci kepada anggota komunitas Alawi, sekte cabang dari Syiah yang relatif kecil tetapi memegang kekuasaan besar di Suriah dalam pemerintahan dan militer.
Seturut Craig Larkin dan Michael Kerr dalam The Alawis of Syria: War, Faith and Politics in the Levant (2015:185), kaum Alawi diberi pengakuan resmi oleh perjanjian Prancis-Lebanon tahun 1936, sebagai “sekte agama” (al-ta'ifa al-diniyya) dengan hak kedaulatan atas hukum status pribadi dan perwakilan politik sektarian.
Hafez kemudian berusaha memastikan loyalitas mereka untuk memberi dukungan terhadap rezimnya di tengah ketegangan sektarian.
Dia juga memiliki beberapa anak, tetapi pada awal 1990-an saat kesehatannya mulai menurun, Hafez mulai mempersiapkan Bassel al-Assad, anak lelaki tertuanya, untuk meneruskan suksesi di Suriah.
Bashar al-Assad lahir pada 11 September 1965 di Damaskus, lalu menempuh pendidikan di Sekolah Arab-Prancis dan melanjutkan studi ke Fakultas Kedokteran di Universitas Damaskus tempat ia meraih gelar dokter. Warsa 1992, ia melanjutkan pendidikan di Inggris dalam bidang oftalmologi yang membawanya sebagai dokter ahli bedah mata.
Namun, setelah kematian saudaranya, Bassel, dalam sebuah kecelakaan mobil pada tahun 1994, ayahnya mulai mempersiapan suksesi pada Assad dengan memanggilnya kembali ke Suriah dan menggemblengnya secara militer pada pertengahan 1990-an. Pada tahun 1999, ia sudah berpangkat kolonel dalam karier militernya di Garda Republik Suriah.
Keputusan ayahnya tersebut diambil karena Assad diharapkan mampu membawa perubahan dan modernisasi Suriah, dengan tetap memegang prinsip sebagaimana ayahnya itu berkomitmen pada Pan-Arabisme.
Ayahnya juga menyediakan propaganda dengan memoles Assad sebagai calon pemimpin masa depan lewat berbagai citra dan media, terlebih lewat mesin Partai Ba’ath yang berkuasa. Langkah lainnya ialah mengubah konstitusi untuk memungkinkan presiden lebih muda, minimal berusia 34 tahun untuk menjabat, memastikan bahwa Bashar al-Assad memenuhi syarat.
Langkah-langkah politik ayahnya itu ditiru begitu Assad mulai naik ke tampuk kekuasaan dalam beberapa bulan. Ia berjanji melakukan reformasi, peningkatan ekonomi, dan memberantas korupsi.
Dia memulai reformasi yang dikenal sebagai Damascus Spring pada tahun 2000-2001, yang bertujuan untuk memberikan sedikit ruang bagi kebebasan politik dan sosial.
Ratusan tahanan politik dibebaskan, termasuk memberikan izin terbit beberapa media cetak dan elektronik yang sebelumnya dilarang terbit. Begitu juga para intelektual dan seniman diberi panggung untuk berkreasi dan berkarya di ruang-ruang publik.
Selama pemerintahan awal, Assad melakukan beberapa reformasi ekonomi yang mengubah sistem ekonomi terpusat yang diwarisi ayahnya. Ia memprivatisasi beberapa sektor dan membuka pintu bagi investasi asing, tetapi hasilnya tidak merata, dan banyak penduduk tetap hidup dalam kemiskinan.
Musim Semi di Damaskus Berumur Pendek
Tindakan Assad memberi kebebasan politik dan sosial pada rakyatnya ternyata hanya sebentar. Selama tahun-tahun pertamanya di kekuasaan, isu-isu politik dan ekonomi masih mengemuka, tetapi ia menggunakan strategi militer dan intimidasi untuk mempertahankan kekuasaannya dengan memperkuat kontrol di berbagai sektor.
Satu tahun setelah dilantik, pengendalian terhadap media dan pers mulai berlaku kembali dengan keluarnya dekrit Undang-undang Pers untuk mengontrol semua literatur cetak maupun elektronik di Suriah. Begitu juga oposisi yang mengkritik dan menyampaikan pandangan berbeda akan ditangkap oleh Mukhabarat, polisi intelijen yang tersebar luas di penjuru Suriah.
Assad memperkuat kembali kontrol ketat oleh negara terhadap politik dan masyarakat, memastikan bahwa semua institusi negara tetap loyal kepadanya. Ia melakukan restrukturisasi di lembaga-lembaga keamanan untuk menempatkan orang-orang kepercayaannya di posisi kunci.
Di bidang kebijakan luar negeri, Bashar al-Assad meneruskan ayahnya dalam menentang musuh bebuyutan: Israel. Kebijakannya juga melahirkan hubungan erat dengan Iran dan Rusia. Dukungan kedua negara itu termasuk bantuan militer, finansial, dan diplomatik, yang memungkinkan pemerintahan Assad bertahan dari serangan pemberontak.
Bahkan intervensi Rusia pada 2015 cukup membantu pemerintahan Assad dalam merebut kembali banyak wilayah dari pemberontak. Di kemudian hari, Assad membalasnya dengan memberi dukungan pada invasi Rusia terhadap Ukraina yang disebutnya sebagai “Perang melawan Neo-Nazi dan Nazi lama”.
Ketiganya lantas menjalin aliansi strategis pada perlawanan terhadap pengaruh Barat di kawasan tersebut, terutama terhadap Amerika Serikat dan sekutunya. Ia juga melanjutkan dukungan kepada Hamas dan Hezbollah di Lebanon. Dukungan ini berdampak pada posisi Assad di dunia Arab dengan narasi anti-Israel.
Hubungan Suriah dengan negara-negara Barat kian memburuk saat Perdana Menteri Lebanon, Rafik Hariri, terbunuh setelah serangan bom pada Februari 2005.
Bashar al-Assad telah menjalani beberapa pemilihan umum sejak ia menjadi Presiden Suriah pada tahun 2000. Pada 27 Mei 2007, Assad terpilih kembali untuk masa jabatan kedua. Sekali lagi, ia memperoleh hasil yang sangat tinggi, yakni 97 persen suara.
“Kami memiliki gaya demokrasi kami sendiri dan kami bangga akan hal itu,” kata Menteri Penerangan Suriah, Mohsen Bilal, dikutip TheGuardian.
Pemilihan ini juga dianggap tidak kompetitif, dengan lawan-lawan politik yang tidak dilibatkan, dan secara umum berada di bawah kontrol pemerintah.
Tuduhan Pembantaian dan Senjata Kimia
Perang Saudara Suriah dimulai pada tahun 2011 sebagai bagian dari gelombang protes yang lebih luas di dunia Arab, yang dikenal sebagai Musim Semi Arab. Protes awalnya menuntut reformasi politik dan penghapusan korupsi, namun segera berubah menjadi konflik bersenjata ketika pemerintah Assad menanggapi dengan kekerasan.
Menurut Sam Dagher dalam Assad Or We Burn the Country: How One Family's Lust for Power Destroyed Syria (2019), Amerika Serikat dan sekutu Barat-nya percaya bahwa Bashar tidak harus mengundurkan diri seperti para diktator Mesir, Libya, Tunisia, dan Yaman, dan bahkan ia dapat menjadi orang yang melaksanakan perubahan yang dituntut oleh rakyat.
“Sejak awal, Bashar tahu bahwa harga dari setiap konsesi yang nyata dan berarti adalah kepalanya sendiri,” sambung Dagher.
Perang Saudara Suriah telah mengakibatkan salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia, dengan jutaan orang kehilangan tempat tinggal dan banyak yang menjadi pengungsi. Pemerintah Assad dituduh mengabaikan kebutuhan manusiawi dan menggunakan blokade terhadap daerah-daerah yang dikuasai oposisi.
Pada 2013, pemberontak melakukan serangkaian serangan terhadap fasilitas pemerintah di Suriah selatan dan Barat. Perang Saudara makin berkecamuk, sementara Assad meresponsnya dengan tindakan refresif.
Ia bahkan dianggap melakukan pembantaian menggunakan bahan kimia saat serangan yang oleh Barat disebut “Serangan Kimia Ghouta” terjadi pada Agustus 2013. Serangan itu memakan ratusan korban setelah roket berisi sarin yang ditembakkan ke wilayah di pinggiran Damaskus tersebut.
Angkatan Udara Suriah juga dianggap menggunakan bom barel dalam beberapa operasinya untuk menumpas kelompok anti-pemerintah, tetapi Assad menolak tuduhan tersebut.
“Ini seperti berbicara tentang panci masak. Kami tidak punya panci masak,” tukasnya kepada Jeremy Bowen dari BBC.
Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian mengirimkan tim Pencari Fakta Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) yang menghasilkan pelucutan senjata pada Juni 2014, bulan yang sama dengan naiknya kembali Assad sebagai presiden untuk ketiga kalinya.
Ia memenangkan pemilihan umum dengan meraup sekitar 88 persen suara, meskipun banyak negara dan organisasi internasional menganggap pemilihan tersebut tidak sah dan dipenuhi dengan kecurangan serta tekanan terhadap pemilih.
Bashar al-Assad mencalonkan diri lagi pada pemilihan tanggal 26 Mei 2021 dan terpilih kembali untuk masa jabatan keempat, mendapatkan sekitar 95 persen suara dari 38 persen partisipan yang terlibat. Banyak pengungsi dan kaum oposisi yang tidak diberi hak untuk memberikan suaranya.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi