tirto.id - Langit Kota Aleppo hari itu cerah. Gumpalan asap tampak di sana sini. Mendadak terdengar suara gemuruh tak biasa, seperti suara helikopter yang baling-balingnya berputar hanya berjarak 100 meter dari tempatmu berdiri. Memekakkan.
Anak-anak mulai menangis. “Mama.. Mama…” Seorang bocah laki-laki terdengar mendekat.
“Maaf, temanku. Anak-anakku mulai ketakutan dan mereka menangis. Aku harus berhenti dulu,” kata suara dalam video itu.
Dia adalah Fatemah, perempuan yang tinggal di Aleppo, Suriah. Pada 15 November lalu, ia membagikan suasana paginya lewat akun @alabedbana di Periscope.
Pagi Fatemah tidak diisi dengan kegiatan sarapan diiringi suara cericit burung dan obrolan soal kemacetan. Pagi Fatemah ditemani suara dari ledakan-ledakan bom yang bisa membinasakan dirinya dan keluarganya kapan saja. Dalam siaran langsung yang ia rekam, terlihat jelas bagaimana puing-puing runtuhan gedung mendominasi pemandangan kota.
“Ini panel surya yang kami gunakan untuk kebutuhan listrik. Dan mengisi daya gawai kami,” katanya sambil mengarahkan kamera pada dua panel surya yang terpacak miring. “Dan seperti inilah kehidupan di Aleppo.”
Kamera kembali bergeser beberapa sentimeter, menunjukkan gambar lain: sederetan kota persegi panjang yang berisi tanah dan bibit-bibit sayuran yang mulai tumbuh. Fatemah tak menyebutkan nama tanaman itu, tapi ia bilang, “Kami memang harus menanam sesekali.”
Video itu diakhir dengan salam dari dua anaknya, si tiga tahun Noor, dan si tujuh tahun Bana.
Hari-hari berikutnya, Fatemah tetap membagikan hari-harinya di tengah bombardir yang menghujani Aleppo. Selama dua minggu terakhir, setidaknya ada lima video yang diunggahnya ke Periscope. Fatemah melalui akun anaknya Bana Al Abed, juga rutin membagikan kabar kondisi Aleppo di Twitter.
Ibu berusia 26 tahun dengan tiga orang anak ini berharap unggahan-unggahannya dapat menarik perhatian dunia dan orang-orang akan terketuk hatinya agar turut berupaya menghentikan perang di kotanya. Sederhananya, ia ingin Bana, Noor, dan si lima tahun Mohammed punya umur panjang.
Ketakutan Fatemah tentu beralasan. Perang saudara yang telah terjadi selama 6 tahun terakhir di Suriah, seperti dilaporkan Organisasi Pemantau Hak Asasi Manusia Suriah (SOHR), membunuh sekitar 301-781 sampai 422.317 orang. Lebih dari 10 ribu di antaranya adalah anak-anak.
Ini belum termasuk 6,5 juta anak yang mengalami aksi kekerasan, intimidasi, pelecehan, kelaparan, dan penyakit. Sekitar 5,5 juta dalam situasi darurat. Puluhan ribu cacat. Dan lebih dari 2 juta tidak memiliki akses ke sumber bantuan.
Human Rights Watch mencatat, korban tumbang makin banyak dalam dua sampai tiga bulan terakhir. Setidaknya sejak 19 September hingga 18 Oktober: 312 pria, 43 wanita, dan 88 anak-anak meninggal karena bom.
Perang saudara ini dimulai ketika oposisi menentang rezim yang sedang berlangsung di bawah pimpinan Presiden Bashar Al-Assad, pada 2011 silam. Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah setelah Damaskus, berubah jadi medan tempur sejak Juli 2012.
Oposisi melancarkan serangan di sana setelah berhasil menguasai wilayah utara Suriah. Aleppo jadi ladang yang diperebutkan karena sarana yang dimilikinya. Ia memang lengkap sebagai kota, punya stasiun hingga bandara. Bahkan dikenal sebagai kota industri, tempat terbesar perputaran uang terjadi di Suriah.
Sederhananya, siapa yang bisa menguasai Aleppo, maka akan jadi yang lebih unggul dalam perang sedarah ini.
Aksi saling rebut ini akhirnya membagi Aleppo jadi dua wilayah: timur, tempat tinggal Fatemah, yang dikuasai oposisi, dan barat yang dipegang oleh pihak rezim emerintah.
Pada 2015, Rusia ikut campur dan memberikan bantuan jet tempur kepada rezim Assad. Aleppo pun semakin sering dibombardir bom, dan korban terus berjatuhan.
Timur memang jadi bagian Aleppo yang pertama kali luluh lantak. Senin (28/12/2016), akun Twitter @AlabedBana kembali berkicau. "Tentara berhasil masuk, ini mungkin hari terakhir kami bicara jujur. Tak ada internet. Tolong tolong tolong berdoalah untuk kami."
Beberapa jam tak ada kicauan lanjutan, para pengikut Bana di Twitter mulai khawatir. Tapi, tak sedikit yang menganggap akun ini palsu, dan Fatemah serta Bana dituduh sebagai aktor bayaran. Pihak yang mendukung tentara rezim Assad menuding suara ibu-anak itu propaganda dari tentara mujahidin. Namun sejumlah media besar termasuk BBC, telah mengkonfirmasi akun itu pada Fatemah langsung melalui pesan langsung di Twitter maupun sambungan video via Skype.
Tapi jikapun Bana-Fatemah adalah akun rekayasa, perang yang terjadi di Aleppo adalah sungguhan.
Kicauan dari Fatemah muncul lagi beberapa jam kemudian: "Pesan terakhir – kami dalam bombardir sekarang. Tak mungkin masih bisa hidup. Kalau kami mati, kumohon tetaplah membahas Aleppo demi 100 ribu orang yang masih ada di dalamnya. SELAMAT TINGGAL.”
Namun daya juang Fatemah memang luar biasa. Ia dan anak-anaknya masih hidup dan berhasil selamat dari reruntuhan rumah mereka.
“Malam ini kami kehilangan rumah. Ia dibom dan sekarang kami ada di bawah puing-puing. Aku melihat kematian, dan aku sendiri hampir mati.”
Sampai hari ini Fatemah dan keluarganya masih hidup. Tapi Bana tak sehat walafiat. Ia sakit, dan hampir menyerah pada hidup. "Aku sakit sekarang, tak punya obat, rumah dan air bersih. Situasi ini akan membunuhku bahkan sebelum bom melakukannya."
Kicauan itu diakhiri nama Bana dan tagar Aleppo, pertanda bocah 7 tahun itu yang mencuit.
(Bakal) Kuburan Massal
Aleppo punya wilayah seluas 190 kilometer persegi. Sebelum perang membuncah di wilayahnya, Aleppo adalah kota indah yang sohor sebagai kota pariwisata. Ia menyimpan banyak sejarah, karena tercatat sebagai salah satu kota tertua di dunia yang masih hidup selayaknya sebuah kota. Seperti ditulis BBC, Aleppo sudah tertulis dalam teks-teks Mesir dari abad ke-20 sebelum Masehi.
Kota ini dipenuhi bangunan-bangunan tua ala pemerintahan zaman Hellenistik, setelah Aleksander Agung alias Iskandar Agung dari Makedonia, berkuasa. Setelah Suriah merdeka dari Perancis pada 1946, Aleppo berkembang menjadi pusat industri utama, menyaingi ibu kota Damaskus. Penduduknya pun meningkat pesat. Dari 300 ribu jiwa menjadi 2,3 juta pada 2005.
Namun, angka ini berkurang terus setelah perang. Awal 2016, jumlah penduduknya jadi 1,8 juta, dan angka itu terus menurun. Warga Aleppo tak hanya banyak yang tewas. Lebih dari 80 ribu orang melarikan diri ke luar Aleppo, mencari suaka.
Stephen O’Brien, Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa untuk bidang kemanusiaan, bahkan meramalkan Aleppo akan segera menjadi kuburan raksasa jika perang di sana tak kunjung dihentikan.
“Kami mengimbau, menyerukan, bahkan saya menghamba agar semua pihak, dan orang-orang yang berpengaruh agar melakukan segala upaya untuk melindungi warga sipil,” katanya seperti dilansir oleh The Independent.
Nasib Bana dan adik-adiknya tergantung pada pihak-pihak yang terlibat konflik. Mau berhenti atau terus mencicil kematian Kota Aleppo?
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani