Menuju konten utama

Mengenal Joko Tingkir, Sejarah, dan Lokasi Makamnya

Joko Tingkir atau Sultan Adiwijaya dikenal sebagai pendiri Kesultanan Pajang. Simak kisah hingga lokasi makamnya yang menyimpan nilai historis penting.

Mengenal Joko Tingkir, Sejarah, dan Lokasi Makamnya
Ilustrasi Jaka Tingkir. wikimeida/Universitaire Bibliotheken Leiden

tirto.id - Nama Joko Tingkir atau Jaka Tingkir tentu sudah tak asing di telinga orang Indonesia, terutama masyarakat Jawa. Kisah tentang sosok ini sering kali dibumbui dengan berbagai mitos, kesaktian, dan petualangan yang luar biasa. Namun, siapa sebenarnya Joko Tingkir?

Cerita tentang Jaka Tingkir bersumber dari teks-teks Babad Tanah Jawi serta tradisi lisan masyarakat Jawa. Kisah-kisah tersebut menceritakan perjalanannya dari seorang pemuda biasa hingga menjadi penguasa Kerajaan Pajang.

Banyak juga yang menyebut tokoh ini sebagai Joko Tingkir Wali Jowo. Namun, seberapa jauh kebenaran dari cerita-cerita tersebut? Artikel ini akan mengulas perjalanan hidup Joko Tingkir, legendanya yang terkenal, hingga akhir hidup dan lokasi makamnya.

Siapa Sebenarnya Sosok Joko Tingkir?

Ilustrasi Sejarah Tribhuwana Tunggadewi
Ilustrasi Joko Tingkir. tirto.id/Rangga

Joko Tingkir adalah pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Pajang. Dengan gelar Sultan Adiwijaya atau Hadiwijaya, Joko Tingkir diketahui memerintah kerajaan tersebut dari tahun 1549 hingga 1582.

Joko Tingkir memiliki nama asli Mas Karebet dan merupakan putra dari Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Sebelum menjadi raja, Joko Tingkir sempat mengabdi sebagai prajurit di Kerajaan Demak. Ia bahkan diangkat sebagai kepala prajurit dengan pangkat Lurah Wiratamtama.

Joko Tingkir digambarkan sebagai sosok pemuda yang cerdas, pemberani, dan banyak prestasi. Setelah diangkat menjadi Adipati Pajang, Joko Tingkir kemudian menikah dengan Ratu Mas Cempaka yang tak lain adalah putri dari Raja Demak, Sultan Trenggana.

Selain sebagai Raja Pajang, Joko Tingkir juga dianggap sebagai salah satu tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan Islam di tanah Jawa. Semasa hidupnya, Joko Tingkir diketahui berguru kepada Ki Ageng Sela dan Sunan Kalijaga.

Dikutip dari laman NU Online, Kesultanan Pajang yang dipimpin oleh Joko Tingkiri sejatinya melanjutkan perjuangan Wali Songo dalam hal berdakwah menyebarkan agama Islam, terutama ke wilayah selatan hingga Jawa Timur.

Joko Tingkir lebih berfokus pada dakwah Islam melalui jalur pendidikan. Ia menjadi teladan dalam mengabdi pada masyarakat lewat ilmu pengetahuan dan budaya.

Biografi dan Perjalanan Hidup Joko Tingkir

Ilustrasi Jaka Tingkir

Ilustrasi Jaka Tingkir

Joko Tingkir lahir pada 18 Jumadil Akhir tahun Dal mangsa VIII dan merupakan putra dari Ki Ageng Pengging. Saat dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan Ki Ageng Tingkir.

Sebagai informasi, Ki Ageng Pengging dan Ki Ageng Tingkir adalah murid dari Syekh Siti Jenar. Nama kedua Ki Ageng tersebut juga bukan nama asli, melainkan nama tempat. Pengging adalah nama tempat yang sekarang masuk wilayah Boyolali, sedangkan Tingkir adalah nama tempat di dekat Salatiga.

Selesai mendalang, Ki Ageng Tingkir sempat memuji ketampanan Joko Tingkir yang baru lahir. Ki Ageng Tingkir pula yang memberinya nama Mas Karebet, terinspirasi dari suara wayang-wayangnya yang terkena angin kencang saat menggelar pertunjukan tadi.

Dilansir dari buku Ensiklopedi Raja-Raja dan Istri-Istri Raja di Tanah Jawa karya Krisna Bayu Adji, Ki Ageng Pengging dituduh memberontak dan dihukum mati oleh Raja Demak dengan Sunan Kudus sebagai eksekutornya. Peristiwa ini terjadi ketika Mas Karebet masih berusia sekitar 10 tahun.

Tak lama setelah itu, sang ibu juga meninggal dunia sehingga Mas Karebet kecil diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir. Sejak saat itulah Mas Karebet lebih dikenal dengan nama Joko Tingkir yang bermakna pemuda yang tinggal di Desa Tingkir.

Beranjak dewasa, Joko Tingkir sempat berguru kepada Ki Ageng Sela dan Sunan Kalijaga. Joko Tingkir juga menuruti saran dari guru-gurunya tersebut untuk pergi ke Kerajaan Demak dan mengabdi di sana sebagai prajurit tamtama.

Joko Tingkir pun menarik perhatian Sultan Demak ketika ia melompati sebuah kolam dengan gerakan salto secara tiba-tiba demi memberikan jalan kepada Sang Sultan. Gara-gara kejadian itu, Sultan Trenggana justru terkesima dan mengangkat Joko Tingkir sebagai Lurah Wiratamtama.

Joko Tingkir kemudian diangkat menjadi Adipati Pajang dengan gelar Adipati Adiwijaya dan menjadi menantu Sultan Trenggana. Namun, setelah Sultan Trenggana wafat di tahun 1546, terjadi konflik internal dan perebutan kekuasaan.

Putra Sultan Trenggana, Sunan Prawoto, sempat naik takhta menggantikan ayahnya, tapi kemudian dibunuh oleh sepupunya sendiri, Arya Penangsang, dari Jipang.

Adik Sunan Prawoto, Ratu Kalinyamat, meminta bantuan Joko Tingkir untuk membunuh Arya Penangsang. Joko Tingkir pun menyelenggarakan sayembara dan akan memberikan hadiah tanah Menatok dan Pati kepada siapa pun yang berhasil membunuh Arya Penangsang.

Melalui sayembara tersebut, dua tokoh bernama Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi berhasil membunuh Arya Penangsang.

Sesuai janji, Ki Ageng Pemanahan mendapatkan tanah perdikan (wilayah bebas pajak) Mentaok yang kelak menjadi cikal bakal Kesultanan Mataram, sementara Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati.

Setelah Arya Penangsang tewas, Joko Tingkir pun dianggap sebagai sosok yang dianggap mampu menjaga stabilitas Kerajaan Demak. Meski takhta Demak secara tak langsung sudah jatuh ke tangannya, Joko Tingkir memilih tetap di Pajang.

Pusat Kerajaan Demak akhirnya juga berpindah ke Pajang, sedangkan Joko Tingkir atau Adiwijaya diangkat menjadi raja pertamanya. Peristiwa ini pun menandai berdirinya Kerajaan Pajang.

Sebagai seorang raja, Joko Tingkir atau Sultan Adiwijaya kerap digambarkan sebagai sosok raja yang lemah. Faktanya, ia justru mampu menguasai pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan baik. Bahkan, menurut Babad Banyumas, Pajang tetap kuat hingga akhir pemerintahan Adiwijaya.

Apakah Joko Tingkir Keturunan Majapahit?

Header Pemberontakan Dharmaputra Majapahit

Ilustrasi Majapahit. tirto.id/Fuad

Dikutip dari buku Babad Tanah Jawi karya Soejipto Abimanyu, silsilah Joko Tingkir memang berkaitan dengan Majapahit. Seperti yang diketahui, Joko Tingkir adalah putra dari Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga yang tak lain adalah keturunan Raja Majapahit, Prabu Brawijaya.

Ayah Joko Tingkir merupakan cucu dari Andayaningrat, menantu dari Prabu Brawijaya V setelah menikah dengan salah satu putrinya, Ratu Pembayun.

Dengan demikian, Joko Tingkir memang memiliki hubungan darah dengan Raja Majapahit. Ia adalah cicit dari Prabu Brawijaya V dari garis keturunan perempuan.

Sementara itu, Joko Tingkir sendiri tentunya memiliki sejumlah keturunan, termasuk Pangeran Benawa yang sempat menjadi Sultan Pajang. Cucu Pangeran Benawa sendiri adalah Sultan Agung yang dikenal sebagai Raja Mataram.

Silsilah keturunan Joko Tingkir tentunya tidak berhenti di masa kerajaan. Garis keturunan ini terus berlanjut hingga ke era modern. Salah satu tokoh nasional yang secara historis memiliki hubungan silsilah dengan Joko Tingkir adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Ciri-ciri keturunan Jaka Tingkir memang tidak bisa dilihat dari segi fisik atau visual, tapi dari nilai-nilai positif seperti nasionalisme tinggi, keberanian, sifat kepemimpinan yang bijaksana, kesederhanaan, hingga pengaruhnya dalam masyarakat seperti yang ditunjukkan oleh Sultan Agung dan Gus Dur.

Kisah Joko Tingkir dalam Cerita Legenda

Ilustrasi Jaka Tingkir

Ilustrasi Jaka Tingkir. wikimeida/Universitaire Bibliotheken Leiden

Kisah Joko Tingkir dalam legenda rakyat memang sering diceritakan secara turun-temurun di kalangan masyarakat Jawa. Ada beberapa kisah yang cukup terkenal, salah satunya ketika Joko Tingkir harus menghadapi puluhan buaya.

Dilansir dari laman DPRD Kota Salatiga, cerita Joko Tingkir bermula saat Joko Tingkir mengarungi sungai dengan rakit. Dalam perjalanannya, Joko Tingkir dihadang oleh 40 buaya, tapi ia berhasil mengalahkan semuanya dan sampai ke tujuan dengan selamat.

Namun, dalam filsafat Jawa, kisah ini memiliki makna berbeda. Kisah tersebut sejatinya menggambarkan perjalanan Joko Tingkir yang penuh risiko.

Aliran sungai melambangkan niat luhur yang menjadi dasar perjalanan Joko Tingkir, sementara rakit melambangkan tekad dan usaha. Dalam perjalanannya, Joko Tingkir berhadapan dengan buaya, yang dalam pemahaman Jawa, buaya adalah baya atau bebaya (bahaya).

Rintangan tersebut harus dihadapi melalui laku prihatin seperti berpuasa selama empat puluh hari. Jika berhasil mengalahkan buaya-buaya tersebut, perjalanannya menjadi lancar.

Hal ini disimbolkan dengan melewati "kedhung srengenge" (area sungai yang dalam dan bersinar), yang berarti perjalanannya kini diterangi oleh sinar kehidupan.

Selain kisah tentang Joko Tingkir dan buaya, ada pula cerita tentang Joko Tingkir yang menaklukkan kerbau liar. Menurut buku 101 Cerita Nusantara dari Tim Optima Pictures, Joko Tingkir adalah sosok prajurit Kerajaan Demak yang memiliki ilmu tinggi.

Karena tak sengaja membunuh salah satu prajurit yang dilatihnya, Sultan Trenggono marah dan mengusir Joko Tingkir dari istana. Dalam pengembaraannya, Joko Tingkir yang sempat berguru kepada Ki Ageng Banyubiru dan Ki Ageng Butuh selalu berharap dimaafkan oleh Sang Sultan.

Harapannya terkabul ketika Sultan Trenggono diserang oleh kerbau liar di Gunung Prawata. Joko Tingkir pun berhasil menyelamatkan Sultan Trenggono dan menaklukkan si kerbau dengan kesaktiannya.

Setelah kejadian tersebut, Sultan Trenggono memaafkan Joko Tingkir dan menerimanya kembali di istana. Ia bahkan menikahkan Joko Tingkir dengan putrinya.

Akhir Kehidupan Joko Tingkir dan Lokasi Makamnya

Header Majapahit

Ilustrasi Kerajaan Jawa. tirto.id/Fuad

Menjelang akhir pemerintahan Joko Tingkir atau Sultan Adiwijaya, terjadi perang antara Kerajaan Pajang dan Mataram. Di masa perang tersebut, Gunung Merapi meletus dan mengacaukan kubu Pajang yang berperang di dekat gunung tersebut.

Joko Tingkir pun menarik mundur pasukannya. Sepulang dari medan perang itulah, Joko Tingkir jatuh sakit yang terus bertambah parah. Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya pun akhirnya meninggal pada tahun 1582.

Joko Tingkir kemudian dimakamkan di Desa Butuh, Sragen, Jawa Tengah. Makam ini pun masih dirawat dengan baik dan beberapa kali mengalami pemugaran.

Sebelum ajalnya tiba, Joko Tingkir juga dikisahkan sering menyepi untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta di suatu tempat yang kini diabadikan sebagai Masjid Butuh.

Menurut laman Disporapar Provinsi Jawa Tengah, Masjid Butuh dan makam Joko Tingkir masih ramai oleh pengunjung, apalagi tempat ini telah diresmikan sebagai cagar budaya Kabupaten Sragen melalui SK Bupati tahun 2018.

Demikian sejarah terkait Joko Tingkir, mulai dari kelahiran hingga akhir hayatnya. Sosok yang juga dikenal sebagai Sultan Adiwijaya ini bukan hanya tercatat sebagai pendiri Kesultanan Pajang, tapi juga sebagai figur yang melekat dalam budaya dan legenda Jawa.

Tertarik untuk membaca kisah kerajaan di masa lalu atau sejarah Indonesia yang lebih lengkap? Temukan informasi seputar sejarah melalui tautan di bawah ini:

Kumpulan Artikel Sejarah

Baca juga artikel terkait JAKA TINGKIR atau tulisan lainnya dari Erika Erilia

tirto.id - Edusains
Kontributor: Erika Erilia
Penulis: Erika Erilia
Editor: Erika Erilia & Yulaika Ramadhani