tirto.id - Sejarah berdirinya Kerajaan Pajang dilatarbelakangi oleh konflik yang melanda internal Kesultanan Demak. Setelah raja ketiga Kerajaan Demak Sultan Trenggono tutup usia, terjadi perebutan takhta yang bermuara pada insiden berdarah.
Pengganti Trenggono adalah putranya, Sultan Prawoto (Sunan Prawoto) yang menduduki takhta Demak pada 1546-1549. Menukil dari buku Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara pada Abad XVI (2000) karya Chusnul Hayati dkk, Prawoto lengser karena tewas dibunuh prajurit asal Jipang Panolan, bernama Rangkud.
Orang yang menghabisi Prawoto merupakan suruhan Adipati Jipang Panolang, Arya Penangsang. Setelah sang sultan tewas, Arya Penangsang menduduki singgasana Demak.
Akar konflik Prawoto dengan Penangsang telah tumbuh setelah raja kedua Demak Pati Unus wafat. Banyak sumber sejarah menunjukkan Pati Unus tidak memiliki keturunan. Kematiannya pada usia muda membuat takhta menjadi rebutan dua adiknya: Pangeran Sekar dan Pangeran Trenggono.
Pangeran Sekar berusia lebih tua dari Trenggana. Namun, ia putra istri ketiga Raden Patah (putri Adipati Jipang). Sementara Trenggana yang lebih muda, lahir dari istri pertama Raden Patah, yakni putri Sunan Ampel.
Sengketa perebutan takhta Demak setelah wafatnya Pati Unus itu klimaks dengan tragedi. Suyuthi Pulungan dalam Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (2022) menulis, Pangeran Prawoto, putra Trenggono, menghabisi Pangeran Sekar. Dia meregang nyawa di tepian sungai sehingga memiliki nama anumerta, Pangeran Sekar Seda Ing Lepen.
Arya Penangsang masih terlampau muda ketika Pangeran Sekar terbunuh. Begitu tumbuh dewasa, putra Pangeran Sekar itu berniat menuntut balas atas kematian ayahnya. Peluangnya terbuka saat ia telah menjadi Adipati Jipang Panolan (kini Blora timur) dan Sultan Trenggono meninggal dunia.
Penangsang yang berambisi merebut takhta Demak lalu mendalangi kudeta. Sang adipati akhirnya berhasil meraih posisi sebagai Raja Demak ke-5, tetapi ia tidak lama berkuasa.
Pembangkangan terjadi karena pengikut Penangsang tidak hanya membunuh Prawoto, tetapi juga Adipati Jepara Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat. Sosok terakhir ialah adik Sunan Prawoto.
Maka, muncul Adipati Pajang, Hadiwijaya (Jaka Tingkir) sebagai penantang paling gigih terhadap kuasa Arya Penangsang. Untuk mengalahkan Penangsang, menantu Sultan Trenggono tersebut mengerahkan pasukan di bawah pimpinan Ki Ageng Pamanahan, Juru Mertani, dan Ki Penjawi.
Tiga orang tersebut bersiasat dengan menyiapkan pemuda bernama Danang Sutawijaya sebagai penantang Penangsang. Sutawijaya tak lain adalah putra Pamanahan.
Setelah pesan tantangan disampaikan, terjadilah perkelahian yang melegenda antara Sutawijaya melawan Penangsang. Dalam pertarungan, Penangsang akhirnya tewas. Buku Awal kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senopati (1985), terjemahan karya H.J. De Graaf, memuat catatan bahwa lokasi duel Sutawijaya dan Penangsang berada di Sungai Sore, tepian Bengawan Solo.
Selepas peristiwa di Sungai Sore, Hadiwijaya mendirikan dinastinya sendiri, yakni Kerajaan Pajang. Namun, Sutawijaya secara bertahap juga mendirikan dinasti yang kelak menandingi Pajang, yakni Mataram Islam.
Raja-Raja Kerajaan Pajang
Berdasarkan sejumlah sumber sejarah, Kesultanan Pajang didirikan oleh Hadiwijaya pada sekitar tahun 1568 M. Sultan Hadiwijaya punya nama kecil Mas Karebet, yang kemudian populer dengan sebutan Joko Tingkir. Nama terakhir hingga kini melegenda di kalangan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pengaruh besar Hadiwijaya membuat Pajang yang mulanya kadipaten bawahan Demak menjelma jadi kesultanan baru. Munculnya Kerajaan Pajang sekaligus mengakhiri era Kesultanan Demak.
Berikut adalah daftar raja-raja yang tercatat menduduki takhta di Kerajaan Pajang:
1. Sultan Hadiwijaya
Masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya menandai dimulainya era baru di Jawa. Dia mengubah fokus pemerintahan di Jawa Tengah dari semula berorientasi ke maritim menjadi agraris.
Berbeda dari pendahulunya, Kerajaan Pajang berpusat di pedalaman Jawa Tengah. Daerah Pajang yang ditengarai sudah ada sejak era Majapahit merupakan wilayah pertanian yang subur. Kondisi demikian membuat basis perekonomian Pajang bukan lagi perdagangan sebagaimana Demak.
Di buku Multikulturalisme pada Zaman Kasultanan Pajang Abad ke-16 M: Telaah Terhadap Serat Nitisruti (2019), M. Irfan Riyadi dan M. Harir Muzakki menjelaskan peralihan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang sekaligus menandai transformasi sosial-budaya pesisir menjadi pedalaman.
Masyarakat pertanian di pedalaman cenderung homogen. Kondisi sosial-budaya di Pajang pun jauh berbeda dari Demak di pesisir yang masyarakatnya lebih heterogen serta terbuka.
Selama pemerintahan Hadiwijaya, kesusastraan dan kesenian bernapas Islam yang telah dirintis sejak era Demak mulai diserap pula oleh penduduk pedalaman Jawa Tengah.
Pada tahun 1581, Sultan Hadiwijaya berhasil memperoleh pengakuan sebagai raja dari sejumlah pemuka Islam serta penguasa di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Puncaknya ialah ketika Hadiwijaya mendapatkan restu Sunan Prapen dari Giri, dengan disaksikan oleh para penguasa dari Japan (Mojokerto), Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madiun, Sidayu, Lasem, Tuban, dan Pati.
Usai terlibat perang melawan Mataram Islam (Sutawijaya) yang membangkang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan dinyatakan meninggal dunia pada sekitar tahun 1582. Sumber lain, sebagaimana dicatat M. C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005), menyebutkan Sultan Hadiwijaya tutup usia pada 1587.
2. Arya Pangiri
Selepas wafatnya Sultan Hadiwijaya, Kerajaan Pajang diguncang perebutan kekuasaan. Konflik ini melibatkan putra Hadiwijaya, Pangeran Benawa, dengan menantu sang Sultan yang berasal dari Demak, Arya Pangiri.
Seturut Chusnul Hayati dkk dalam Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara pada Abad XVI (2000), Arya Pangiri merupakan putra dari Sultan Prawoto yang diasuh oleh Ratu Kalinyamat.
Dalam sengketa itu, Arya Pangiri keluar sebagai pemenang dan naik takhta sekitar tahun 1583. Ia lantas mengucilkan Pangeran Benawa dengan menempatkannya di Kadipaten Jipang.
Masa pemerintahan Arya Pangiri dipenuhi dengan gejolak. Mengutip penjelasan dari karya M. Irfan Riyadi dan M. Harir Muzakki (2019), pergolakan sosial terjadi di pusat Kerajaan Pajang karena kala itu banyak pendatang baru.
Arya Pangiri membangun kekuatan militer Pajang dengan melibatkan pasukan bayaran yang terdiri atas orang-orang Makassar, Bugis, peranakan Cina, dan pengikutnya di Demak. Ketika orang-orang itu hadir di Pajang, konflik sosial terjadi akibat polemik pembagian jabatan, hak atas tanah, hingga kepemilikan rumah. Konflik pendatang dan pribumi ini membikin kekuasaan Arya Pangiri rapuh dan gagal bersaing dengan Mataram Islam.
3. Pangeran Benawa
Pangeran Benawa merupakan putra sulung Sultan Hadiwijaya. Dia ahli waris pertama yang berhak atas takhta Pajang. Namun, ia hanya dijadikan sebagai Bupati Jipang atas instruksi Sunan Kudus yang lebih mendukung Arya Pangiri menjadi sultan.
Kekecewaan mendorong Pangeran Benawa bersekutu dengan Mataram Islam untuk melawan Arya Pangiri. Maka, terjadilah pertempuran pada tahun 1588 yang melengserkan Arya Pangiri sekaligus memaksanya kembali ke Demak.
Selepas Pangiri kalah, Pangeran Benawa justru memutuskan untuk menyepi dan tidak menduduki singgasana Pajang. Benawa memilih untuk mendalami dunia spiritual di daerah Parakan (Kendal), dan kemudian disebut oleh warga sekitar sebagai Susuhunan Parakan.
Namun, berdasarkan sumber lainnya di catatan H.J. de Graaf, takhta Pajang sempat diduduki oleh Benawa. Hanya saja, setahun setelah menjadi Raja Pajang, ia meninggal dunia.
4. Penguasa Pajang Terakhir
Setelah Pangeran Benawa tidak lagi bertakhta, muncul adik Panembahan Senapati, yakni Raden Tompe sebagai bupati Pajang.
Anak ke-12 dari Ki Gede Pamanahan itu nampaknya berkuasa di Pajang atas pengaruh Mataram Islam. Gelarnya, seperti dicatat oleh M. Irfan Riyadi dan M. Harir Muzakki (2019), tidak merujuk pada sosok raja, yakni Tumenggung Gagakbaning ing Pajang atau Pangeran Gagakpranala.
Raden Tompe (Pangeran Gagakpranala atau Gagakbaning) hanya memerintah Pajang selama tiga tahun. Dia meninggal dunia setelah memerintah Pajang selama 1588-1591.
Kursi penguasa Pajang lantas diduduki oleh putra Pangeran Benawa yang masih berusia 13 tahun. Dia kerap disebut Pangeran Benawa II atau Raden Sida Wini. Menurut Sudjak dalam Serat Sultan Agung, Melacak Jejak Islam Nusantara (2017), wilayah Pajang pada masa Sida Wini (era setelah Benawa I) sudah masuk dalam bagian kekuasaan Mataram Islam.
Buku terjemahan karya H.J. de Graaf, Puncak kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (1986:47), memuat catatan bahwa Raden Sida Wini berkuasa di Pajang selama tahun 1591-1617.
Raden Sida Wini adalah penguasa (raja) Pajang yang terakhir. Kerajaannya runtuh akibat serangan pasukan Mataram Islam atas perintah Sultan Agung.
Sang sultan murka karena menganggap Pajang telah memberontak. Serbuan Mataram Islam tidak hanya meruntuhkan Keraton Pajang. Penduduk di pusat kerajaan Pajang pun diangkut paksa untuk menjadi pekerja dalam pembangunan keraton baru milik Mataram. Akibatnya, pusat Pajang kosong dan kembali menjadi hutan (wanakerta).
Penulis: Mohamad Ichsanudin Adnan
Editor: Addi M Idhom