Menuju konten utama

Manuver Keluarga Jokowi Manfaatkan Mulyono demi Pilkada 2024

Penggunaan nama Mulyono justru dijadikan strategi manipulatif keluarga Jokowi menciptakan citra positif di masyarakat.

Manuver Keluarga Jokowi Manfaatkan Mulyono demi Pilkada 2024
Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ibu Negara Iriana Joko Widodo (tiga kiri), Gibran Rakabuming Raka (empat kiri), Selvi Ananda (ketiga kanan), Boby Nasution (kedua kanan) dan Kahiyang Ayu (kanan) mendampingi Kaesang Pangarep (kedua kiri) berjalan menuju pendopo Royal Ambarukmo menjelang akad nikah Kaesang Pangarep dan Erina Gudono di Sleman, DI Yogyakarta, Sabtu (10/12/2022). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/Pool/YU

tirto.id - Penisbatan ‘Mulyono’ sebagai representatif kritik publik terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) kini justru dimanfaatkan oleh keluarga Jokowi.

Mulyono diketahui merupakan nama kecil Jokowi. Konon karena Mulyono saat kecil mengalami sakit-sakitan, orang tuanya lantas menggantinya menjadi Joko Widodo.

Namun, belakangan penggunaan kata Mulyono ini justru dijadikan tameng atau senjata bagi menantu Jokowi, Bobby Nasution, dan putra bungsunya, Kaesang Pangarep, untuk mendongkrak elektabilitas dan popularitas di tengah reaksi publik terhadap Jokowi.

Keduanya bahkan tak malu menggunakan istilah tersebut saat kampanye atau blusukan ke masyarakat.

Bobby Nasution misalnya, menggunakan istilah Mulyono saat menghadiri kampanye sebagai calon gubernur Sumatra Utara di Kecamatan Batang Angkola, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), pada Sabtu (28/9/2024).

Bobby awalnya mengajak sang istri, Kahiyang Ayu, naik ke atas panggung. Bobby kemudian memperkenalkan Kahiyang di depan para pendukungnya dengan cara tidak biasa.

"Ini Bu yang namanya Ibu Kahiyang Ayu Siregar, nah ini orangnya. Nah inilah anaknya [Jokowi], anaknya yang kalau sekarang orang bilangnya kami ini anak dan menantunya Mulyono, orang bilang sekarang," ucap Bobby yang kemudian disambut ketawa.

Sebelumnya, aksi Kaesang Pangarep juga sempat menghebohkan publik. Di tengah banyaknya kritik kepada Jokowi, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu justru mengenakan rompi berkelir hitam dengan bertuliskan "Putra Mulyono" dengan gambar siluet wajah Jokowi saat mengunjungi Kampung Barat, Desa Daru, Jambe, Tangerang, Banten, Selasa (24/9/2024) lalu.

Tiru 'Asam Sulfat' dan 'Samsul' Gibran

Analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, melihat apa yang dilakukan oleh Bobby dan Kaesang ini adalah bentuk strategi konten kreator yang disebut riding the wave. Strategi ini dilakukan untuk terus diperbincangkan dan meningkatkan popularitas.

"Caranya dengan mengangkat isu atau tren yang sedang banyak dibahas," kata Musfi kepada Tirto, Senin (30/9/2024).

Musfi mengatakan, strategi ini sebelumnya sudah pernah digunakan oleh Gibran Rakabuming Raka saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Ejekan asam sulfat dan panggilan Samsul saat itu justru digunakan di konten media sosial Gibran dan bahkan dibuatkan lagunya.

"Saya kira ini adalah pendekatan yang baru. Sebelumnya politisi dan kandidat resisten terhadap ejekan netizen, sekarang justru ejekan itu digunakan untuk meningkatkan popularitas," kata Musfi.

Meskipun, dalam dunia konten kreator ini adalah strategi lama, tapi menurut Musfi, dalam komunikasi politik ini adalah pendekatan baru. Bobby dinilai seperti ingin meniru trik Gibran. Ketimbang resisten dengan isu Mulyono, lebih baik menggunakannya di Pilkada 2024 agar makin populer.

"Dalam marketing, ini disebut TOMA atau Top Of Mind Awareness. Tidak masalah isunya positif atau negatif, setiap perbincangan adalah marketing. Jadi, kalau dikatakan Bobby ingin meningkatkan popularitas dan elektabilitas, itu sangat tepat. Contoh berhasilnya Gibran di Pilpres kemarin," jelasnya.

Kaesang Pengarep di Bandung

Kaesang Pengarep berkunjung ke Bandung. Tirto.id/Akmal Firmansyah

Sebaliknya, Manajer Riset dan Program dari The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono, melihat penggunaan istilah Mulyono justru bukan merupakan strategi untuk meningkatkan elektabilitas terhadap Bobby Nasution. Akan tetapi, lebih kepada melawan konter narasi terhadap kritik masyarakat terhadap dinasti politiknya Jokowi.

"Nah seharusnya kan mereka lebih sensitif ketika istilah Mulyono itu bukan hanya sekadar main-main gitu, tapi lebih pada kritik terhadap politik dinasti yang berjalan seperti di keluarga Pak Jokowi gitu," kata Arfianto kepada Tirto, Senin (30/9/2024).

Arfianto sendiri justru mempertanyakan jika penggunaan istilah Mulyono menjadi bagian strategi dongkrak elektabilitas, maka menjadi pertanyaan adalah ditujukan ke siapa dan tujuannya untuk apa? Menurut Arfianto, hal ini karena jika Bobby ingin mendongkrak elektabilitas tentunya cukup menggunakan nama Jokowi saja.

“Nah makanya ketika kita bicara tentang strategi untuk meningkatkan elektabilitas, tentunya ini hal yang rasanya bukan untuk meningkatkan elektabilitas. Karena kalau meningkatkan elektabilitas ya dia seharusnya mengatakan menantu, atau anak dari Presiden Jokowi gitu ya,” jelasnya.

Kerja Keras Ubah Narasi Negatif jadi Positif

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, mengatakan, dalam kasus Bobby dan Kaesang, penggunaan nama Mulyono yang awalnya merupakan ledekan kepada Jokowi bisa dianggap sebagai strategi manipulatif untuk menciptakan citra merakyat, yang mana sebenarnya tidak mencerminkan posisi sosial dan kekuatan politik mereka.

“Nama 'Mulyono' yang digunakan dalam konteks ledekan kepada Jokowi pada awalnya berfungsi sebagai ejekan, dan dengan Bobby serta Kaesang mengambil alih nama ini, mereka berusaha mengubah narasi negatif menjadi kekuatan positif,” terang Annisa kepada Tirto, Senin (30/9/2024).

Annisa melihat apa yang dilakukan oleh Bobby dan Kaesang ini justru adalah teknik umum dalam populisme. Yaitu saat politisi berusaha mengontrol kritik dan menghina diri mereka sendiri untuk membangun simpati publik.

Namun kata Annisa, kritiknya adalah meskipun strategi ini berhasil mengubah serangan menjadi lelucon yang diterima publik, tetap saja tidak mengatasi persoalan substantif terkait kebijakan atau kepemimpinan mereka.

“Mengambil alih nama 'Mulyono' sebagai cara untuk mengubah ledekan menjadi simbol kekuatan dapat dianggap sebagai strategi populisme yang mengalihkan perhatian dari isu-isu yang lebih substantif,” jelas Annisa.

Keluarga Jokowi, lanjut Annisa, sedang mengandalkan permainan simbol dan humor untuk membangun citra. Tetapi, bisa dianggap tidak lebih dari upaya pencitraan yang tidak menyentuh esensi masalah kepemimpinan, kebijakan, atau program yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat.

“Kampanye dengan fokus pada simbol semacam ini bisa menutupi kurangnya ide atau visi konkret yang ditawarkan kepada pemilih,” terangnya.

Baju Korban Mulyono

T-shirt 'Korban Mulyono'. (FOTO/X@sahabatICW)

Analis politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menambahkan karakter yang ditunjukkan keluarga Jokowi saat ini memang bukan hal biasa. Pasalnya, ini menyangkut dengan empati dan kesadaran terhadap kritik publik.

"Mulyono muncul sebagai ekspresi kritik, dan disambut Kaesang dengan ekspresi melawan kritik itu. Terlebih ini dilakukan di tengah Jokowi hadapi tuduhan gratifikasi melalui fasilitas mewah Kaesang," jelas Dedi kepada Tirto, Senin (30/9/2024).

Menurut Dedi, Bobby justru tengah meneruskan sikap dan karakter anti-empati itu. Namun, hal ini menurutnya cukup mengkhawatirkan jika tokoh yang potensial memimpin di daerah tetapi sudah menunjukkan sikap tidak berempati.

"Dan, apa yang dilakukan Bobby juga Kaesang, membuktikan mereka memang tidak memiliki jawaban yang tepat untuk kritik publik, Bobby utamanya dipastikan tidak memiliki gagasan yang baik, itulah sebab mereka memilih jalur gimik," jelas Dedi.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto