tirto.id - Kondisi ekonomi kelas menengah di Indonesia memasuki tengah tahun ini masih pontang-panting. Daya beli mereka masih lesu, dan cenderung habis untuk sekadar urusan sandang dan operasional harian.
Narasi pemerintah yang menyebut perekonomian Indonesia terus melejit, seolah sama dengan menyebut kelas menengah kita macam menjadi bonsai. Terus tumbuh, namun tak mampu berkembang lebih dari itu.
Aris (31), asal Kota Bandung, merasa keadaan keuangannya terus megap-megap sejak pandemi Covid-19 mereda. Untuk menghidupi istri dan satu anak perempuannya, ia bahkan sudah berganti pekerjaan dua kali sejak 2021.
Menurutnya, pengeluaran paling banyak masih untuk rumah tangga harian dan cicilan tempat tinggal. Biaya pendidikan anak menyusul menjadi pengeluaran yang paling menguras kantongnya.
"Seringnya mah belum tanggal gajian uang kadang udah habis juga, untungnya istri punya sampingan jadi bisa dipakai dulu sebelum cair (gajian)," ceritanya kepada wartawan Tirto, Rabu (6/8/2025).
Senasib Helen (28), perempuan asal Kota Bekasi, merasa sudah jarang sekali berbelanja ke mall atau sekadar menghabiskan uang berwisata ke tempat-tempat viral. Kondisi ini menurutnya mulai terasa dua tahun ke belakang, karena uang bulanannya cenderung tergerus untuk keperluan makan dan ongkos harian untuk bekerja.
Pekerja swasta di bidang kreatif ini mengaku, untuk menabung saja kini nominalnya tak lagi konsisten. Ia menilai sudah semakin selektif untuk berbelanja agar tidak memperparah kondisi keuangannya.
"Meskipun kita menghemat nih, kadang emang di hariannya udah gede gitu, apa-apa mahal rasanya. Di satu sisi, pendapatan kan sulit naik," ujar dia kepada wartawan Tirto, Rabu (6/8).

Sementara Caca (33), asal Jakarta Barat, merasa kondisi perekonomiannya relatif masih stabil. Justru perempuan yang bekerja di sektor finansial ini menilai usai Pandemi Covid-19, penghasilannya ada perbaikan.
Kantor, kata dia, mulai mampu memberikan kenaikan gaji setelah perekonomian dirasa mulai stabil. Meskipun, Caca turut merasa untuk daya beli saat ini memang terjadi penurunan untuk hal-hal yang bersifat hiburan dan leisure.
"Kayak konser aja itu kan makin menjamur, tapi rasanya festival terus mahal gitu loh harganya. Semakin ke sini untuk urusan hiburan pribadi ngerasanya selektif aja gitu," terang Caca kepada wartawan Tirto, Rabu (6/8).
Kelas Menengah Rawan Turun Kelas
Potret kelas menengah Indonesia yang terus bertahan dengan kaki bergetar memang seyogianya tak dianggap remeh pemerintah. Kelompok ini merupakan penyumbang perekonomian yang cukup besar, namun justru minim intervensi kebijakan sebagai jaring pengaman.
Senjakala kelas menengah akan terus terjadi apabila mereka terus dibiarkan berada di ambang kejatuhan. Tren penurunan kelas menengah dalam lima tahun ke belakang sebaiknya menjadi alarm bagi pemerintah untuk bertindak.
Jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam kurun waktu lima tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta pada 2024. Situasi itu berarti ada 9,48 juta orang yang turun kasta dari kelompok kelas menengah.
Pada tahun 2019, proporsi kelas menengah mencapai 21,45 persen dari total penduduk. Namun, tahun 2024, kelompok ini terkikis turun menjadi 17,13 persen dari total penduduk, menunjukkan penurunan sebanyak 4,32 persen. Secara absolut, jumlah kelas menengah Indonesia dalam lima tahun terakhir turun sebesar 16,5 persen.
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menduga kondisi kelas menengah Indonesia masih belum rebound pada semester pertama–atau setidaknya sampai triwulan awal 2025. Hal itu ditandai dengan fenomena berjalan-jalan tanpa belanja atau disebut rombongan jarang beli (rojali).
Dari pola konsumsi, Huda menilai, kelas menengah masih menahan berbelanja dan lebih banyak mengonsumsi kebutuhan harian. Penjualan rumah dan properti juga dinilai belum terangkat pada kondisi yang stabil.
“Sebelum [pameran otomotif] GIIAS, penjualan mobil baru juga masih lesu. Indikator tersebut sebenarnya cukup menggambarkan kelesuan ekonomi kelas menengah,” kata Huda kepada wartawan Tirto, Rabu (6/8).
Selain itu, proporsi menabung kelas menengah semakin tergerus. Salah satu faktor adalah daya beli masyarakat secara umum yang masih melemah. Akibatnya kelas menengah yang berusaha sendiri mengalami kelesuan akibat permintaan turun.
Kelas menengah pekerja juga mengalami gencetan risiko PHK yang semakin tinggi. Ini yang membuat kelas menengah menahan konsumsinya hingga tengah tahun 2025.
“Saya berharap ada rebound di triwulan 4 karena ada bonus akhir tahun dan sebagainya,” kata Huda.
Peran kelas menengah bagi penerimaan negara
Pengolahan data BPS menunjukkan bahwa proporsi dan jumlah kelas menengah dari tahun 2019 hingga 2024 konsisten menurun setiap tahun. Padahal, angka dan proporsi kelompok rentan miskin selalu naik, sedangkan angka dan proporsi kelompok menuju kelas menengah terus fluktuatif namun menunjukkan kenaikan pada 2024 dibanding 2019.
LPEM FEB UI dalam laporan "Indonesia Economic Outlook Q3-2024" menilai kelas menengah memegang peran penting bagi penerimaan negara, dengan andil 50,7 persen dari penerimaan pajak dan calon kelas menengah menyumbang 34,5 persen. Jika daya beli mereka menurun, kontribusi pajak mereka akan berkurang yang berpotensi memperburuk rasio pajak terhadap PDB yang sudah rendah. Kondisi ini bakal mengganggu kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dan membiayai proyek pembangunan.
Sementara teranyar, laporan LPEM FEB UI bertajuk “Indonesia Economic Outlook Kuartal II-2025” mengungkap kelompok kelas menengah dengan proporsi penduduk mencapai 60 persen, memang tertekan dari sisi porsi konsumsi dengan penurunan sebesar 49,80 persen menjadi 47,50 persen selama tiga dekade terakhir (1993-2023).
Pertumbuhan konsumsi cenderung lebih menguntungkan kelompok berpendapatan tinggi yang hanya 20 persen dari total kelompok masyarakat Indonesia. Tren penurunan konsumsi yang dialami kelas menengah Indonesia ini merupakan efek dari krisis besar, salah satunya pandemi Covid-19 pada tahun 2020-2022.
Dalam kerangka kerja Bank Dunia, kelas menengah didefinisikan sebagai individu-individu yang telah mencapai tingkat kemapanan ekonomi tertentu dengan risiko yang rendah untuk jatuh kembali ke dalam kemiskinan atau kerentanan.
Sejak pandemi Covid-19, ungkap laporan LPEM UI, proporsi penduduk miskin naik dari 9,4 persen pada 2019 menjadi 10,1 persen pada 2021. Sementara kelompok rentan dan calon kelas menengah agak meningkat, masing-masing dari 21,3 persen ke 21,5 persen serta dari 47,8 persen ke 48,2 persen.
Sebaliknya, kelas menengah sendiri turun dari puncaknya di 2018, menjadi 19,8 persen pada 2021. Kelas atas, di sisi lain, naik tipis dari 0,3 persen ke 0,4 persen.
Data terbaru tahun 2024 menunjukkan bahwa tren meningkatnya kerentanan terus berlanjut. Meskipun proporsi penduduk miskin menurun menjadi 9,0 persen, kelompok rentan justru meningkat menjadi 24,2 persen. Kelas menengah juga ikut menyusut, kini setara dengan level tahun 2017, yaitu sekitar 17,1 persen.
Pelemahan ini dinilai bukan semata-mata akibat disrupsi struktural dari pandemi Covid-19 karena kontraksi sudah mulai terjadi sejak 2018. Lima tahun terakhir menunjukkan bahwa Indonesia mulai kehabisan sumber pertumbuhan.
Kelas Menengah Bukan Cuma Objek Pajak
Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, memandang kelompok masyarakat kelas menengah sering kali digambarkan sebagai tokoh protagonis utama perekonomian di Indonesia. Merekalah mesin penggerak konsumsi, penyumbang pajak yang taat, dan simbol dari impian kemajuan bangsa.
Namun, di balik fasad kemapanan yang rapuh itu, tersembunyi sebuah kecemasan kolektif. Yakni ketakutan konstan ancaman "turun kelas" yang menghantui kelompok masyarakat ini.
“Analisis saya, yang diperkuat oleh rilis data ekonomi BPS Triwulan II-2025, menunjukkan tanpa perubahan kebijakan fundamental, kondisi kelas menengah hingga pertengahan tahun depan tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan signifikan,” kata Achmad kepada wartawan Tirto, Rabu (6/8).
Rilis BPS pada Agustus 2025 mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12 persen (yoy). Namun, angka yang terlihat solid itu menyembunyikan kerapuhan sebab ditopang konsumsi rumah tangga yang tumbuh lebih lambat, yakni 4,97 persen. Hal ini menjadi sinyal bahwa daya beli masyarakat tidak sekokoh angka pertumbuhan utama.
Erosi daya beli dan ketidakpastian ekonomi yang mereka hadapi justru akan berpotensi memburuk. Faktor terbesar yang melemahkan daya tahan ekonomi kelas menengah adalah jurang yang semakin menganga antara laju kenaikan biaya hidup riil dengan pertumbuhan pendapatan mereka.
Berdasarkan data BPS, Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Juli 2025 tercatat inflasi tahunan sebesar 2,37 persen (yoy). Namun, angka rerata yang tampak rendah ini menutupi lonjakan inflasi yang jauh lebih tinggi pada pos-pos pengeluaran krusial kelas menengah, seperti pendidikan (5,8 persen) dan kesehatan (4,9 persen).
Di saat yang sama, pertumbuhan upah di sektor formal terasa seperti jalan di tempat. Hal ini tampak dari data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS per Februari 2025 yang menunjukkan rata-rata upah nominal buruh/karyawan hanya tumbuh sebesar 3,8 persen.
Jika disandingkan dengan inflasi umum 2,37 persen, kenaikan upah riil hanya sekitar 1,43 persen, bahkan menjadi negatif jika dibandingkan dengan inflasi pendidikan dan kesehatan.
“Data PDB Triwulan II-2025 mengonfirmasi tekanan ini, di mana komponen konsumsi untuk pakaian, alas kaki, dan jasa perawatan tercatat tumbuh melambat. Ini adalah indikator klasik bahwa kelas menengah mulai menahan pengeluaran non-esensial mereka,” ujar Achmad.

Diperlukan pergeseran paradigma kebijakan yang tidak lagi memandang kelas menengah hanya sebagai objek pajak, melainkan sebagai aset strategis yang harus dirawat. Menurut Achmad perlu ada reformasi kebijakan fiskal yang berpihak pada mereka.
Ini bukan sekadar menaikkan batas pendapatan tidak kena pajak, tetapi merancang insentif yang relevan, seperti potongan pajak (tax deduction) yang lebih besar untuk pengeluaran di sektor pendidikan dan kesehatan.
Langkah kedua, dan yang paling fundamental adalah investasi masif meningkatkan kualitas layanan publik dasar. Ketika sekolah dan rumah sakit negeri mempunyai kualitas setara atau bahkan lebih baik dari swasta, beban finansial kelas menengah akan berkurang drastis.
“Terakhir, pemerintah harus fokus pada penciptaan ekosistem yang mendorong lahirnya lapangan kerja berkualitas tinggi,” tutur Achmad.
Kelas menengah terus tertekan dan mulai turun kelas
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai kelas menengah semakin tertekan dan mulai turun kelas. Ini menunjukkan pertumbuhan perekonomian yang terjadi belum inklusif dan tak sepenuhnya mencerminkan kesejahteraan masyarakat luas.Tekanan utama yang dialami kelas menengah datang dari meningkatnya biaya hidup yang tidak diimbangi pertumbuhan pendapatan riil. Kelompok ini terjepit di antara dua kutub: terlalu “mampu” untuk menerima bantuan sosial, tetapi belum cukup kuat untuk naik kelas secara ekonomi.
Akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang berkualitas masih mahal. Sementara proteksi terhadap risiko ekonomi seperti kehilangan pekerjaan atau krisis kesehatan cenderung minim.
Sayangnya, kebijakan pemerintah sejauh ini tidak cukup menyentuh dari kebutuhan spesifik kelompok kelas menengah. Misalnya, dari insentif Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang sudah diluncurkan beberapa waktu lalu, hanya menjangkau sekitar 18 persen dari target penerima, sebagian di antaranya kelas menengah.
“Untuk mencegah kelas menengah makin terpuruk, pemerintah perlu mengubah pendekatan. Dorongan mobilitas pendapatan bisa dilakukan dengan menciptakan lapangan kerja reguler dengan upah layak. Kedua, bantuan sosial yang lebih tematik perlu diarahkan secara lebih strategis ke kelas menengah,” jelas Yusuf.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































