Menuju konten utama

Biaya Bergaya Kelas Menengah Indonesia

Indonesia adalah salah satu negara yang pasarnya tumbuh dengan kelas menengah potensial terbaik untuk 2015-2020.

Biaya Bergaya Kelas Menengah Indonesia
Seorang wanita berjalan melewati sebuah butik fashion di kawasan perbelanjaan di Tokyo, Jepang 29 Juni 2016. [REUTERS/Toru Hanai]

tirto.id - "Don't let the price of your clothes define your self value." Kalimat ini terpacak sebagai bio di sebuah akun Instagram. Nuniek Tirta, si empu akun itu adalah seseorang yang populer dengan sebutan influencer. Sebelumnya ia adalah seleb blog, tapi sekarang ia bisa dibilang juga sebagai seleb Instagram.

Di hari-hari ini, namanya terekam dalam media dan percakapan online sebagai istri direktur yang memakai baju seharga Rp50 ribu. Nuniek memang kerap memasang foto dirinya dengan baju berharga relatif murah untuk ukuran seorang influencer blogger—selain banyak yang merujuk ia sebagai istri seorang direktur perusahaan startup.

Pendapatan influencer tentu tak kecil. Pendapatan para pesohor kanal-kanal online dari mempromosikan barang—istilah yang dipakai; endorsement—bahkan dibidik oleh direktorat sebagai sumber pemasukan pajak.

Jadi mengapa Nuniek mempromosikan gaya hidup sederhana? Nuniek yang kerap dibayar untuk mempromosikan suatu barang atau jasa—pendeknya mendorong followernya agar mengkonsumsi produk yang ia promosikan—merasa punya tanggung jawab pribadi juga untuk mengedukasi para follower supaya tidak bergaya melampaui kemampuan.

“Buat apalah pakai brand keren kalau tagihan cc nunggak, gaji selalu habis di akhir bulan, malah ngutang, atau pakai uang orang?” tulisnya.

Kekhawatiran dan hasrat Nuniek untuk “mendidik” itu cukup beralasan. Menurut Euromonitor, Indonesia adalah salah satu negara yang pasarnya tumbuh dengan kelas menengah potensial terbaik untuk 2015-2020.

Indonesia punya jumlah kelas menengah nomor empat terbesar di dunia dengan 17,3 juta rumah tangga pada 2014, hanya kalah oleh Amerika Serikat, India, dan yang terbesar tentu Cina. Selain besarnya jumlah keluarga kelas menengah, Indonesia potensinya besar karena kekuatan membelinya menguat, yang memungkinkan mereka berbelanja lebih leluasa.

Perkiraan Euromonitor International menyebutkan rata-rata pendapatan bersih orang Indonesia per rumah tangga mencapai $11.300 (sekitar Rp150 juta per tahun), naik dari sekitar $6.300 dibandingkan pada 2014.

Kalangan bisnis tentu menjadikan pertumbuhan kelas menengah yang pesat ini sebagai target, entah dalam layanan kesehatan, rekreasi, juga hotel. Urusan fashion apalagi. Bagi keluarga yang tidak dalam keadaan finansial yang longgar pun, sandang adalah salah satu kebutuhan utama yang pasti menjadi objek belanja.

Maka bagi kelas menengah yang bertumbuh terus, pakaian tak hanya sekadar kebutuhan sandang, tapi juga cara berekspresi. Bahkan, berbelanja produk fashion sendiri bisa masuk kategori kegiatan “leisure”.

Meski beberapa pusat perbelanjaan melesu, ada peningkatan bisnis online secara pesat. Startup e-commerce bermunculan, meski ada beberapa yang tak bertahan. Tapi bahkan pemodal luar negeri pun ikut bermain di pasar-pasar online ini. Ada Lazada, Zalora, Berrybenka, Hijup, dan seterusnya.

Jadi berapa jumlah uang yang dibelanjakan kelas menengah?

Sebelumnya, mari lihat dulu berapa banyak kelas menengah yang ada di Indonesia. Boston Consulting Group (BCG) mengkategorikan kelas-kelas ekonomi di Indonesia, dan untuk kategori kelas menengah dapat dilihat dari kategori “Upper Middle” ditambah dengan Middle. Untuk 2012 ada 64,8 juta penduduk termasuk kategori kelas menengah.

Kategori kelas menengah versi BCG adalah dari pengeluaran bulanan. Kelas menengah-atas adalah mereka yang berpengeluaran Rp3-5 juta per orang setiap bulannya. Sedikit di bawahnya adalah kelas menengah, yang pengeluaran bulanan Rp2-3 juta setiap bulan. Pada 2020, lembaga ini memproyeksikan akan ada sebanyak 117,5 juta penduduk Indonesia yang masuk dua kategori dengan pengeluaran sebesar ini.

Dari kedua kelompok itu bisa dicari berapa jumlah pengeluaran untuk pakaian berdasar survei dari Deloitte. Ada tiga kategori obyek belanja teratas rumah tangga, yakni makanan, rumah dan peralatan, lalu pakaian.

Belanja pakaian masuk dalam prioritas ke-3 untuk masyarakat yang punya pengeluaran Rp2-3 juta, yakni sebesar 11 persen dan 9 persen untuk masyarakat yang pengeluarannya Rp3-5 juta. Artinya, individu yang masuk kelompok Rp2-3 juta akan membelanjakan uangnya sebesar Rp220-330 ribu per bulan untuk pakaian. Sedangkan masyarakat dengan kelompok Rp3-5 juta akan membelanjakan uang sebanyak Rp270-450 ribu per bulan.

Apakah itu jumlah yang terlalu besar? Disodorkan angka-angka itu, Nuniek Tirta menjawab “not bad.” Sebab ia mengkhawatirkan banyak kasus menunjukkan persentase yang lebih besar dari itu.

“Yang aku tahu malah ada rata-rata karyawan bergaji lima juta yang membeli motor seharga Rp20 juta dengan nyicil, tas Rp5 juta nyicil juga, baju bermerek yang harganya Rp500 ribu,” katanya kepada tirto.id.

Porsi belanja baju kelas menengah Indonesia (11 persen dan 9 persen) ternyata terhitung royal jika dibandingkan dengan kebiasaan belanja baju orang Amerika Serikat. Pada akhir 2011, data pemerintah Amerika Serikat seperti dikutip NPR menunjukkan proporsi belanja pakaian di sana hanya sebesar 3,6 persen dari penghasilan.

Ada perubahan pola konsumsi di negara Paman Sam. Sebab pada 1949, proporsi belanja pakaian mencapai 11,7 persen.

Orang Indonesia juga kalah hemat dari orang India. Menurut data Goldman Sachs, mereka hanya membelanjakan sekitar 5 persen penghasilannya untuk pakaian.

Tapi jangan khawatir. Jika dibandingkan orang Cina, ternyata kita tak boros-boros amat. Orang Cina membelanjakan hampir separuh dari seluruh penghasilannya untuk belanja konsumtif: makanan dan pakaian. Menurut Goldman Sachs, peningkatan konsumsi didorong berkembangnya kebiasaan berbelanja online.

Agak mirip dengan antusiasme terhadap bisnis online di sini, bukan?

Baca juga artikel terkait FASHION atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Maulida Sri Handayani