tirto.id - Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,12 persen pada triwulan II 2025 menuai keraguan. Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, menilai banyak data yang dirilis tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan dan tak sejalan dengan data-data lain yang dikeluarkan pemerintah.
“Kalau kita melihat dari apa yang disampaikan oleh BPS, begitu ya, terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi ini, salah satu yang perlu kita lihat kembali apakah pertumbuhan tersebut memang terproyeksikan di lapangan,” kata Andry dalam Diskusi Publik: Tanggapan Atas Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2025, Rabu (6/9/2025).
Ia menyebut, berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari asosiasi dan pelaku industri, kinerja ekonomi pada bulan kedua tahun ini belum terlihat kuat dan belum sejalan dengan data BPS. Terutama jika melihat sektor-sektor utama penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB), seperti industri pengolahan, pertanian, perdagangan, konstruksi, serta pertambangan.
Lapangan usaha perdagangan yang tumbuh 5,37 persen versi BPS, misalnya, berbeda dengan pernyataan para asosiasi ritel yang menyebut permintaan justru melemah. Terlebih, ada fenomena yang mengindikasikan pelemahan daya beli, yakni Rojali atau rombongan jarang beli.
Selain itu, data sektor akomodasi dan makanan juga dinilai tidak sesuai. Andry mempertanyakan lonjakan pertumbuhan sektor ini di tengah kebijakan efisiensi perjalanan dinas oleh pemerintah pusat dan daerah.
“Kita tahu bahwa efisiensi yang dilakukan pemerintah seharusnya pertumbuhan dari penyediaan akomodasi dan makanan itu menurun, tetapi sangat mencengangkan meskipun pertumbuhannya tidak sebesar pertumbuhan di tahun lalu tapi jauh di atas pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Kritik juga diarahkan pada perbedaan tajam antara data Purchasing Managers’ Index (PMI) dan PDB industri pengolahan nonmigas. PMI menunjukkan kontraksi selama dua bulan terakhir, namun versi BPS menyebut industri ini tumbuh 5,68 persen.
“Jadi dari sisi dua indikatornya aja tidak saling berkaitan yang satu dengan yang lain. Oke lagi kita patut bertanya dan BPS perlu menjelaskan terkait dengan apakah itu mekanisme ataupun pengambilan data begitu, karena tidak cukup mencerminkan kondisi riil di lapangan,” tegas Andry.
Kejanggalan lain ditemukan pada pertumbuhan subsektor mesin dan perlengkapan yang melonjak 18,75 persen pada triwulan II 2025. Padahal, Indonesia bukanlah produsen utama mesin, dan sebagian besar alat berat maupun peralatan listrik berasal dari impor. Data ekspor-impor menunjukkan lonjakan impor produk HS 84 dan HS 85, namun tidak cukup untuk menjelaskan lonjakan pertumbuhan sebesar itu.
Di sisi investasi, komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebagai kontributor PDB tercatat tumbuh hampir 7 persen (6,99 persen). Sementara jika dibedah, angka yang paling mencolok berasal dari pertumbuhan mesin dan perlengkapan yang melonjak 25,3 persen.
Padahal, jika merujuk pada data realisasi dari Kementerian Investasi (BKPM), bahwa pertumbuhan investasi pada triwulan II 2025 hanya 12 persen, lebih rendah dari pertumbuhan 22 persen pada periode yang sama tahun lalu. “Makanya ada pertanyaan apakah memang betul di triwulan 2 itu terjadi ekspansi investasi sehingga mesin perlengkapan sampai 25,3 persen,” tuturnya.
Belum lagi subsektor lain seperti bahan galian bukan logam, seperti semen, juga tercatat tumbuh 10 persen menurut BPS. Sementara, menurut Andry, data penjualan semen menunjukkan tren penurunan sejak triwulan IV 2024 dan tidak mengalami lonjakan berarti di triwulan II tahun ini.
“Maka kita pertanyakan kembali apakah sebetulnya dari data BPS ini terkait dengan barang galian bukan logam 10 persen itu tidak mencerminkan kondisi lapangan karena kondisi lapangannya tidak seindah itu,” katanya.
Ia menilai inkonsistensi berbagai indikator ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap data resmi pemerintah.
“Nah beberapa data yang tidak match ini tentu saja menjadi pertanyaan publik bahwa apakah pertumbuhan ekonomi 5,12 persen itu cukup menggambarkan kondisi real ekonomi Indonesia saat ini. Karena kalau tidak bisa menggambarkan kondisi di lapangan maka bersiaplah ketidakpercayaan publik itu pasti akan tinggi terhadap data-data yang dikeluarkan oleh pemerintah,” pungkasnya
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































