Menuju konten utama
Warga Batasi Belanja Online

Fenomena Rojali Merambah ke E-Commerce

Temuan Jakpat menunjukkan pengeluaran masyarakat di platform e-commerce mengalami penurunan oada semester pertama tahun 2025.

Fenomena Rojali Merambah ke E-Commerce
Warga mencari barang di lokapasar atau marketplace, Depok, Jawa Barat, Jumat (5/1/2023). ANTARA FOTO/Mecca Yumna/sgd/YU

tirto.id - Jumlah masyarakat yang melakukan aktivitas belanja daring (online) tercatat mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Namun demikian, rata-rata pengeluaran bulanan untuk belanja daring justru menunjukkan penurunan.

Temuan ini merupakan salah satu sorotan dalam survei terbaru Jakpat, yang rilis 31 Juli 2025. Laporan itu menyoroti adanya indikasi penurunan daya beli masyarakat di platform digital.

Survei yang dilakukan Jakpat pada 23–27 Mei 2025 terhadap 2.283 responden menunjukkan, tren pembelian online masyarakat masih mencatatkan angka yang cukup positif. Sebanyak 95 persen responden menyatakan telah melakukan pembelian secara daring pada paruh pertama tahun 2025, meningkat 4 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Namun demikian, meski jumlah konsumen yang berbelanja online mengalami kenaikan, rata-rata pengeluaran bulanan justru menunjukkan penurunan. Rata-rata belanja konsumen di platform e-commerce tercatat sebesar Rp470.516 per bulan, turun sekitar 13 persen dibandingkan semester pertama tahun 2024, Rp543.250.

“Hal ini menunjukkan bahwa meskipun lebih banyak orang yang berbelanja online, nilai transaksi per orang atau per pembelian menjadi lebih kecil, terutama untuk produk sekunder seperti fesyen dan elektronik,” ujar Kepala Riset Jakpat, Aska Primardi dalam keterangan resmi, Kamis (31/7/2025).

Belanja Online Fokus untuk Kebutuhan Pokok

Aska, yang mengepalai survei menyebut temuan ini mengindikasikan bahwa pola konsumsi masyarakat saat ini tengah berhemat. Ia menyebut bahwa masyarakat saat ini memfokuskan anggaran mereka untuk barang-barang kebutuhan pokok, sementara pengeluaran untuk produk sekunder mulai dikurangi.

Hal ini juga terekam dengan meningkatnya pengeluaran masyarakat di platform quick commerce yang menunjukan peningkatan hingga 36 persen secara tahunan.

Adapun quick commerce didefinisikan sebagai platform perdagangan cepat yang berfokus dalam penyediaan opsi pengiriman cepat dan efisien bagi pelanggan. Aplikasi seperti GrabMart, Gomart, Alfagift, Klik Indomaret, jadi contohnya.

Header Astro

Kegiatan konvoi bersama driver Astro. foto/Dok. Astro

Berdasar survei Jakpat belanja masyarakat di platform pasar swalayan itu naik, dari Rp215.816 per bulan menjadi Rp293.922 per bulan, antara 2024 ke 2025. Penggunaan aplikasinya juga mencatatkan peningkatan.

Alfagift misalnya, mengalami peningkatan penetrasi lebih dari dua kali lipat dari 31 persen menjadi 66 persen. Sementara Klik Indomaret dan GrabMart juga mencatat kenaikan masing-masing; 17 persen dan 16 persen.

“Platform-platform ini terutama digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari seperti makanan, minuman, dan barang rumah tangga yang dibeli secara rutin namun dengan nilai transaksi yang lebih rendah,” jelas Aska.

Masyarakat Ngerem Belanja

Fenomena masyarakat yang mengurangi pengeluaran atau berhemat juga dirasakan langsung oleh Putri (30), salah satu pelaku UMKM yang menjual produk pakaian dan perlengkapan perempuan secara daring. Ia bercerita, saat ini memang terjadi penurunan omzet penjualan produknya jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.

“Kalo kemarin pengusaha ritel dan mall bilang ada “rojali” dan “rohana” sebenernya kita yang jualan online ikut ngerasain juga. Konsumen sebenarnya masih relatif stabil, tapi memang dari sisi spending konsumen terasa banget penurunannya jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (5/8/2025).

Putri menuturkan bahwa perubahan perilaku konsumen yang paling terasa saat ini bukan terletak pada saluran belanja (dari fisik ke digital), melainkan pada pola pengeluaran. Ia mengamati bahwa sejumlah pelanggan setianya kini menjadi jauh lebih selektif dan berhemat dalam berbelanja.

Target pertumbuhan ekonomi digital Tahun 2024

Warga menggunakan perangkat elektronik untuk berbelanja secara daring di salah satu situs belanja di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (6/2/2024).ANTARA FOTO/Auliya Rahman/nym.

Kepada Tirto, ia mencontohkan rata-rata omzet penjualan tokonya sekitar Rp40 juta per bulan, pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, dalam setahun belakangan omzetnya menurun hingga maksimal hanya mencapai di angka Rp20 juta per bulannya.

“Lebih parah dibanding pas pandemi [Covid-19]. Untuk baju-baju perempuan misal yang lagi trend dan harganya agak mahal itu mulai berkurang banget. Sekarang yang masih laku lebih ke seragam anak-anak sekolah atau bahan seragam buat ngantor itu yang masih laku sekarang,” ujarnya.

Kombinasi Faktor Ekonomi dan Regulasi

Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menyebut bahwa pola konsumsi di sektor e-commerce saat ini menunjukkan kecenderungan yang tidak jauh berbeda dengan konsumsi di sektor offline.

Ia menjelaskan bahwa perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga terjadi secara umum baik di ranah daring maupun luring. Kondisi ini disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat.

“Belanja masyarakat saat ini lebih banyak untuk barang kebutuhan sehari-hari. Bukan hanya makanan tapi barang kebutuhan sehari-hari banyak dibeli masyarakat ketimbang belanja baju atau gadget di e-commerce atau toko offline,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (5/8/2025).

Huda juga menyinggung fenomena “rojali” (rombongan jarang beli) atau “rohana” (rombongan hanya nanya) yang sebelumnya populer untuk menggambarkan lemahnya daya beli di sektor offline. Menurutnya, pola serupa juga terjadi di sektor ekonomi digital saat ini, khususnya di platform e-commerce.

“Munculnya rojali atau rohana, di mana orang yang jalan-jalan doang, namun tidak membeli barang menunjukkan ada yang salah dengan daya beli kita. Kemungkinan fenomena rohana dan rojali juga terjadi di e-commerce. Kemungkinan ada “rochaja”, (rombongan chat aja),” ujarnya.

Penurunan daya beli masyarakat

Terpisah, Peneliti Ekonomi Digital CELIOS, Rani Septya, menyebut penurunan rata-rata pengeluaran masyarakat di platform e-commerce dapat menjadi indikator melemahnya daya beli, sekaligus mencerminkan adanya perubahan dalam perilaku konsumsi.

Menurut Rani, pelemahan daya beli masyarakat kemungkinan besar disebabkan oleh sejumlah faktor struktural. Salah satunya adalah meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) pada paruh pertama tahun 2025. Selain itu, menyusutnya kelompok kelas menengah—yang selama ini menjadi tulang punggung konsumsi domestik—juga turut berkontribusi.

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia memang terus menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat bahwa sepanjang periode Januari hingga Juli 2025, terdapat 42.385 pekerja yang menjadi korban PHK. Angka tersebut mengalami peningkatan sebesar 32,19 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

“Penurunan rata-rata pengeluaran e-commerce bisa menjadi sinyal lemahnya daya beli dan sekaligus bisa jadi ada perubahan perilaku konsumsi masyarakat. Melemahnya daya beli yang dikarenakan PHK di paruh awal 2025 misalnya, kemudian kelas menengah yang menyusut. Tapi di lain sisi, bisa jadi ada perubahan perilaku konsumsi,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (5/8/2025).

Rani juga mencermati adanya perubahan pola konsumsi masyarakat. Ia merujuk pada data Indeks Ekspektasi Pengeluaran yang dirilis oleh Bank Indonesia, yang menunjukkan penurunan pada hampir seluruh kelompok pengeluaran. Meskipun penurunannya relatif kecil, tren tersebut dapat menjadi sinyal bahwa masyarakat mulai menahan konsumsi mereka.

Nah, makanya terlihat bahwa yang diprioritaskan masyarakat saat ini adalah kebutuhan pokok harian. Artinya, ada penundaan untuk konsumsi produk sekunder. Bisa jadi, masyarakat sedang memilah mana konsumsi yang lebih penting di kondisi ekonomi yang sedang sulit,” ujarnya.

Optimalisasi platform digital untuk memperkuat pasar UMKM

Seorang pedagang melakukan siaran langsung untuk menawarkan produk di platform digital dan sosial media saat kegiatan Visit Seller Shoope di Studio Live Shopping Mr Epple, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Kamis (13/3/2025). ANTARA FOTO/Maulana Surya/tom.

Sementara itu, dari sisi asosiasi, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, menilai penurunan rata-rata pengeluaran e-commerce sebesar 13 persen pada semester pertama 2025 terjadi karena kombinasi faktor ekonomi dan regulasi. Menurutnya, tekanan inflasi dan melemahnya daya beli membuat konsumen lebih fokus pada produk esensial atau promosi bernilai tinggi.

“Di saat yang sama, perhatian pemerintah terhadap e-commerce semakin besar melalui beragam regulasi yang meskipun bertujuan baik, membuat ruang inovasi pelaku usaha menjadi lebih berliku dan ikut memengaruhi pola belanja konsumen,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (5/8/2025).

Quick Commerce Semakin Diminati?

Huda dari CELIOS juga menyoroti pertumbuhan layanan quick commerce yang dinilai mencerminkan pergeseran pola konsumsi masyarakat.

Ia menjelaskan bahwa saat ini konsumen lebih banyak membelanjakan pendapatannya untuk kebutuhan harian. Dalam konteks ini, tak mengherankan jika layanan quick commerce muncul sebagai pilihan yang menarik karena menawarkan berbagai kemudahan, seperti bebas biaya administrasi, gratis ongkos kirim, serta jaringan distribusi yang luas.

“Hal ini yang menyebabkan transaksi platform quick commerce seperti Alfagift dan Klik Indomaret bisa meningkat. Jadi ada perubahan komposisi yang dibelanjakan antara barang kebutuhan harian yang makin besar dan belanja barang tahan lama di e-commerce yang semakin sedikit proporsinya dari pendapatan masyarakat,” ujarnya.

Budi dari IdEA, menganggapi positif keberadaan quick commerce. Baginya platform itu bukan sebagai ancaman bagi e-commerce. Sebaliknya, ia melihat keduanya sebagai bagian dari ekosistem digital yang saling melengkapi.

Quick commerce tumbuh pesat karena mampu memenuhi kebutuhan harian dengan pengiriman cepat, sedangkan e-commerce tradisional tetap menjadi pilihan utama untuk pembelian produk sekunder, kebutuhan rumah tangga dalam jumlah besar, atau kategori non-esensial. Keduanya justru membuka peluang baru bagi UMKM untuk memperluas jangkauan pasar,” ujarnya.

JAWA BARAT PERINGKAT PERTAMA TRANSAKSI DIGITAL

Calon konsumen melihat produk fesyen di ponsel melalui sebuah aplikasi jual beli daring di Bandung, Jawa Barat, Jumat (3/12/2021). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/tom.

Pertumbuhan Ekonomi Digital Diprediksi Stagnan, Asosiasi Tetap Optimis

CELIOS dalam laporan bertajuk Digital Economy Outlook 2025 menyebut bahwa sektor perdagangan daring atau e-commerce mengalami pertumbuhan sebesar 3 persen pada tahun 2024, dengan nilai transaksi mencapai Rp468,6 triliun. Angka ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sebesar Rp453,7 triliun pada 2023.

Namun demikian, Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, mengungkapkan proyeksi pertumbuhan untuk tahun 2025 cenderung melambat. Ia memperkirakan nilai transaksi e-commerce pada tahun ini hanya akan meningkat sebesar 0,5 persen, atau mencapai sekitar Rp471 triliun.

“Keadaan ini disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat dan potensi kenaikan tarif PPN yang membuat masyarakat menahan daya beli,” ujarnya dalam laporan Digital Economy Outlook 2025 CELIOS, akhir tahun 2024 lalu.

Sementara itu, Rani dari CELIOS menilai bahwa proyeksi yang mereka buat juga mulai tak pasti. Hal tersebut disebabkan oleh tekanan terhadap daya beli masyarakat yang belum menunjukkan perbaikan signifikan, serta tren konsumsi yang cenderung melemah.

“Tahun kemarin, kita memproyeksikan transaksi perdagangan daring atau e-commerce akan mencapai 471 triliun di tahun 2025 ini. Kita masih belum tahu apakah hal ini akan terus berlanjut hingga akhir tahun atau tidak. Namun apabila daya beli masyarakat terus melemah dan ekspektasinya semakin rendah, ini bisa saja akan berlanjut,” ujarnya.

Di sisi industri, menurut Rani, berbagai upaya telah dilakukan untuk menjaga minat konsumen. Hal ini antara lain melalui pemberian diskon, cashback di hari-hari biasa maupun saat momen khusus seperti Harbolnas, serta penawaran ongkos kirim yang terjangkau.

Promosi potongan harga Harbolnas

Warga menunjukan promosi potongan harga Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) di aplikasi belanja daring di Jakarta, Selasa (12/12/2023). ANTARA FOTO/ Erlangga Bregas Prakoso/sgd/YU

Sementara dari sisi kebijakan, Rani menilai peran pemerintah tetap krusial dalam menjaga daya beli masyarakat. “Misalnya dengan stimulus yang lebih menyentuh kelas menengah, kemudian mendorong kenaikkan upah riil,” ujarnya.

Sedangkan Budi dari idEA, menyatakan bahwa hingga akhir 2025, asosiasi tetap optimistis terhadap pertumbuhan positif ekosistem e-commerce di Indonesia. Momentum belanja besar seperti Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2025 diperkirakan akan menjadi pendorong signifikan bagi lonjakan transaksi.

“Fokus utama adalah mendorong adaptasi dan efisiensi pelaku usaha, mendukung sinergi antara e-commerce tradisional dan quick commerce, serta menjaga dialog intensif dengan pemerintah agar regulasi yang ada mendukung pertumbuhan industri digital jangka panjang,” ujarnya mewakili asosiasi.

Baca juga artikel terkait E-COMMERCE atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto