Menuju konten utama
Decode

Separah Apa Kondisi Tabungan Masyarakat Kini?

Nilai rata-rata tabungan sebesar Rp4,16 juta pada November 2024 menjadi yang paling rendah dalam dua tahun terakhir.

Separah Apa Kondisi Tabungan Masyarakat Kini?
Header PERIKSA DATA DECODE Fenomena Makan Tabungan Bikin Simpanan Makin Menyusut. tirto.id/Fuad

tirto.id - Tri (bukan nama sebenarnya), mengeluhkan beratnya beban finansial yang dia rasakan belakangan ini. Apalagi, pria ini baru 1,5 tahun terakhir berkeluarga. Penghasilan bulanan sudah tidak menutup pengeluaran per bulan. Alhasil, tabungan dikorbankan.

“Sempat harus makan tabungan, khususnya di bulan Desember kemarin,” begitu cerita Tri (bukan nama sebenarnya) kepada Tirto, Kamis (2/1/2025). “Sebenarnya banyak keluar (biaya) untuk kebutuhan yang muncul tiba-tiba sih, seperti perbaikan rumah atau anak tiba-tiba sakit. Tapi untuk belanja kebutuhan sehari-hari, kalau gue sih, beras, telur, dan ayam, itu juga belakangan terasa kenaikannya,” tambah dia lagi.

Sekitar bulan Oktober dan November 2024, dia merasa, alokasi dana untuk bahan makanan pokok di rumahnya, naik sekitar Rp200 ribu-Rp300 ribu.

“Jadi sekarang kalau mau beli ke warung, cek-cek dulu ke aplikasi Indomaret, Alfamart. Kadang bisa lebih murah itu daripada kalau ke pasar dan mereka (gerai minimarket) kan cenderung lebih stabil harganya. Di pasar tuh bisa tiba-tiba naik, tiba-tiba turun,” ujar Tri lagi.

Beruntung, membuka tahun 2025, dia dan istrinya mendapat pekerjaan baru yang diharapkan dapat menopang keuangan keluarga mereka. Meski tidak pernah benar-benar menganggur, namun upah yang tidak naik bersama dengan kenaikan harga barang kebutuhan membuatnya sempat kesulitan memenuhi kebutuhan harian.

Kondisi serupa juga dirasakan Hengky (juga bukan nama sebenarnya). Buruh di sebuah perusahaan di Cikarang ini merasakan beban biaya belanja bulanan yang meningkat, terutama pada sekitar September dan Oktober 2024.

“Kebutuhan rumah tangga in general sih yang berasa. Harga barang (terasa) naik, jadi pas belanja bulanan makin berasa berat bayarnya,” ujar Hengky di kesempatan terpisah, Kamis (2/1/2025). Dia pun mengeluhkan kenaikan harga kebutuhan yang tidak sejalan dengan kenaikan upah sebagai biang keladi dari keputusannya untuk mengambil uang tabungan untuk konsumsi.

Dia sekarang bersiasat untuk mengurangi pengeluaran, dengan memotong agenda nongkrong di kafe dan konsumsi rokoknya. “Sekarang jadi main game saja di rumah,” ujar Hengky soal alternatif aktivitas hariannya untuk melepas penat.

Proporsi Tabungan Masyarakat Menyusut?

Kasus yang dirasakan Tri dan Hengky menunjukkan fenomena makan tabungan alias ‘mantab’, yang sempat ramai menjadi bahasan pada awal Semester II tahun 2024, dan masih terus berlanjut sampai tutup tahun.

Fenomena makan tabungan merujuk pada keadaan seseorang membelanjakan uang tabungannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka terpaksa melakukan hal ini lantaran muncul tekanan mendesak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sedangkan alokasi dana reguler tak lagi mencukupi.

Praktik penurunan alokasi pemasukan untuk tabungan nyatanya juga menjadi tren yang umum di masyarakat. Berdasar Laporan Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) periode November 2024, secara umum, di semua kelompok masyarakat, alokasi pendapatan yang menjadi tabungan berada di kisaran 15,1 persen.

Nilai ini turun dibanding Januari 2024, saat masyarakat mengalokasikan 16,2 persen pendapatannya untuk tabungan, dan bahkan mencapai 17 persen pada Maret 2024.

Proporsi pengeluaran responden untuk konsumsi terlihat semakin besar di kelompok pengeluaran bawah (nilai pengeluaran Rp1 juta-Rp2 juta), menengah ke bawah (nilai pengeluaran Rp2,1 juta-Rp3 juta), dan menengah (Rp3,1 juta-Rp4 juta). Kebanyakan di atas 73 persen.

Konsumen atas (nilai pengeluaran >Rp5 juta) justru proporsi pengeluaran untuk konsumsinya paling kecil, 68,6 persen dan proporsi untuk tabungannya paling besar, 15,8 persen. Hal ini bisa menjadi indikator kecenderungan makan tabungan karena tekanan ekonomi, lebih rentan ke kelompok masyarakat menengah ke bawah.

Sementara itu, jika merujuk ke Statistik Sistem Keuangan Indonesia (SSKI), juga dari BI, bisa terlihat tren rata-rata nilai tabungan masyarakat di bank.

Menurut data terbaru pada November 2024, rata-rata tabungan nasabah rumah tangga di Indonesia diketahui sebesar Rp4,16 juta. Nilai tersebut didapat dari total nilai simpanan nasabah rumah tangga di bank, Rp2.456,69 triliun dibagikan dengan jumlah rekening tabungan sebanyak 590 juta.

Secara keseluruhan, nilai rata-rata tabungan Rp4,16 juta itu menjadi yang paling rendah dalam dua tahun terakhir. Pada Februari 2022 misalnya, nilai rata-rata tabungan rumah tangga di Indonesia sempat ada di angka Rp5,05 juta. Setelahnya, tren rata-rata tabungan masyarakat cenderung menurun sampai hampir Rp1 juta pada akhir tahun 2024. Meski perlu dicatat juga, pertumbuhan jumlah rekening juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dari tahun 2022 sekitar 430 juta, menjadi hampir 600 juta rekening pada tahun 2024.

Di lain pihak, Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) menyebut terjadinya penurunan tren menabung di masyarakat. Hal ini berdasar dari hasil Survei Perekonomian (SKP) yang mereka lakukan secara berkala setiap bulannya.

Indeks Menabung Konsumen (IMK) pada November 2024 menunjukkan penurunan menjadi 77,0 dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 77,6.

“Memang (IMK) ini menurun ya, tapi yang terakhir itu Indeks Intensitas Menabung (IIM) naik dari bulan Oktober, naik ke 72,4. Nah, penurunan (IMK) ini jangan disalahartikan 100 persen karena makan tabungan, karena kalau menurut kami melihatnya adalah menabung itu sendiri kan adalah interaksi antara penghasilan konsumen dengan konsumsinya, atau dengan belanjanya. Nah, belanja itu ada yang untuk konsumsi, ada juga untuk membayar cicilan, ada juga untuk investasi,” kata Direktur Group Riset LPS Seto Wardono, dikutip Antara, Kamis (19/12/2024).

Menariknya, jika melihat rilisan terbaru dari LPS soal perkembangan IMK pada Desember 2024, terlihat kenaikan. IMK pada Desember 2024 mencapai 79,1 sedangkan IIM menunjukkan penurunan menjadi 72,2.

Namun, jika ditarik mundur, dalam satu tahun belakangan, terjadi penurunan IIM dan IMK. Pada Januari 2024 IIM mencapai angka 81,8, sedangkan IMK ada di angka 89,7. Hal ini bisa menjadi indikasi niat dan kemampuan, serta intensitas menabung masyarakat yang cenderung melemah secara keseluruhan dalam hitungan 12 bulan terakhir.

Tak Meningkatnya Upah Riil Jadi Faktor?

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, mengungkap, beberapa poin yang melatarbelakangi fenomena “mantab” ini, di antaranya kemampuan finansial dan kapasitas finansial masyarakat.

Misal dari segi pendapatan, menurut Faisal, besaran upah riil alias upah nominal yang dikoreksi dengan inflasi, tidak menunjukkan kenaikan, meski inflasi selama pandemi dan pascapandemi COVID-19 cukup rendah.

“Nah tapi tetap saja upah riil itu kalau kita upah nominal yang kita terima dikurangi dengan inflasi yang rendah sekali itu, tetap saja ternyata nilai upahnya itu tidak mengalami peningkatan, tetap saja mengalami pengurangan. Jadi kita ambil dari 5 sektor yang penyedia lapangan kerja paling banyak, itu di pertanian, perdagangan, industri pengolahan, jasa akomodasi, dan juga konstruksi,” katanya lewat perbincangan Zoom, Kamis (2/1/2024).

Faisal mencontohkan, di sektor pertanian, yang disebut menyediakan sekitar 28 persen dari total lapangan kerja di Indonesia. Pada 2022, pertumbuhan upah riil di sektor itu mencapai 7,8 persen, kemudian merosot ke sekitar 3 persen setahun setelahnya. Lalu pada 2024 angkanya justru berada di level minus 0,6 persen.

“Jadi terus sampai 2024, yang artinya ini bukan hanya masalah pandemi lagi, tapi banyak bergantung pada kondisi setelah pandeminya gitu,” lanjut Faisal.

Laporan Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) bertajuk "World Employment and Social Outlook: Trends 2024" pun menangkap adanya tren penurunan upah riil di sebagian besar negara G20, lantaran kenaikan upah gagal mengimbangi inflasi.

Masih dari laporan tersebut, Indonesia bahkan tercatat dalam negara dengan penurunan upah riil yang cukup signifikan pada 2023, di samping Brasil dan Italia.

Selain upah riil, variabel lain yang bisa dilihat dalam fenomena makan tabungan ini yakni Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Faisal menyebut bahwa IKK kelas menengah mengalami pelemahan, bahkan terus terkikis.

“Nah (IKK) ini semuanya sebetulnya sejak 2021 setelah lewat pandemi masuk ke akhir 2021 itu sudah mulai (bergerak) dari pesimis ke optimis lagi. Nah tapi optimisnya itu terutama yang kelas tengah itu mengalami, justru mengalami pelemahan setelah rebound di 2022. Nah, ini lemah lagi. Ini beda dengan kelas atas dan bahkan beda dengan kelas bawah yang kelas miskin. Kelas miskin itu stabil begitu saja, kelas atas juga stabil begitu saja,” kata Faisal.

Jika menengok hasil survei konsumen yang dikeluarkan BI, pada November 2024, IKK secara umum diketahui berada di tingkat 125,9. Angka ini sebenarnya naik dari sebelumnya pada Oktober 2024, yang berada pada level 121,1. Tapi, kecenderungan IKK pada tahun 2024 memang fluktuatif, dengan tren relatif turun, terutama dibanding April 2024.

Berdasarkan kelompok pengeluaran, baik kategori pengeluaran Rp1-2 juta, Rp2,1-3 juta, Rp3,1-4 juta, Rp4,1-5 juta, dan di atas Rp5 juta, keseluruhannya mengalami peningkatan IKK. Dari kelima kelompok pengeluaran itu, kenaikan terbesar berada pada kelompok pengeluaran di atas Rp5 juta, yakni sebesar 10,2 poin, dari 127,9 pada Oktober 2024 menjadi 138,1 sebulan setelahnya.

Kondisi pada November ini menunjukkan perbaikan setelah sebelumnya pada Oktober IKK tampak menurun atau lebih pesimis di hampir semua kategori pengeluaran, kecuali responden dengan pengeluaran Rp1-2 juta.

Hal yang sama terjadi pada IKK per kelompok usia, di mana semua kategori umur mengalami kenaikan. Pada kelompok usia 20 - 30 tahun misalnya, IKK tampak merangkak naik, dari 126,4 pada Oktober 2024 menjadi 128,7 pada November 2024.

Meningkatnya keyakinan konsumen secara umum pada November 2024 ini didukung oleh Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang masing-masing tercatat sebesar 113,5 dan 138,3, lebih tinggi dibandingkan dengan indeks bulan sebelumnya yang tercatat di level 109,9 dan 132,4.

Bukan Hanya Berdampak pada Capaian Pertumbuhan Ekonomi

Faisal dari CORE membeberkan dampak fenomena mantab terhadap ekonomi secara lebih luas. Pertama, menurutnya, hal ini bisa berpengaruh terhadap capaian pertumbuhan ekonomi.

“Yang paling makro kita bisa lihat dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga, konsumsi domestik di Indonesia. Kami melihat misalkan di 2019 pertumbuhan konsumsi rumah tangga itu 5,07 persen. Di 2023, setelah pandemi ini turun ke bawah 5 persen, jadi 4,94 persen. Di 2024 melemah lagi, terus melambat terus, jadi 4,92 persen. Jadi artinya yang menyumbangkan ekonomi kita paling besar dari sisi konsumsi itu terus mengalami pelemahan pertumbuhannya dan akan memengaruhi juga terhadap capaian pertumbuhan ekonomi, itu satu,” kata Faisal kepada Tirto, Kamis (2/1/2024).

Kedua, kata Faisal, fenomena ini pada akhirnya juga bukan hanya permasalahan di konsumsi saja, tapi bisa melebar sampai kemana-mana, termasuk ke Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

“Kenapa? Karena konsumsi ini kan yang menggerakkan sektor produksi. Kalau konsumsi dan banyak sektor produksi di Indonesia itu kan orientasi pasar adalah pasar domestik, bukan pasar ekspor. Sebagian besar itu domestik, bukan ekspor. Sehingga kalau konsumsi domestiknya lemah, maka ini akan mengurangi permintaan terhadap produk-produk barang dan jasa yang diproduksi oleh para pelaku usaha dan industri yang ada di Indonesia,” lanjut Faisal.

Akibatnya, perusahaan-perusahaan bakal melakukan efisiensi, lantaran permintaan produknya kian berkurang. Bentuk efisiensi yang dilakukan bisa beragam, termasuk di antaranya pengurangan karyawan.

“Ini yang terjadi terutama pada industri padat karya. Industri-industri pakaian, industri-industri tekstil, sepatu, dan lain-lain. Itu mereka sudah sampai pada tahap harus mengurangi jumlah karyawannya. Karena permintaan terhadap produk-produknya juga berkurang. Walaupun sebetulnya masalahnya lebih kompleks. Selain karena permintaan produk yang dalam negeri yang berkurang, juga karena persaingan yang makin ketat dengan barang-barang impor,” kata Faisal.

Lebih jauh Faisal menyatakan bahwa pemerintah perlu lebih serius memahami permasalahan di kelas menengah ini dan melakukan kebijakan-kebijakan yang membantu mengatasi permasalahan penurunan daya belinya.

“Apakah lantas kemudian dengan memberikan bahan sosial? Tidak lantas begitu, dan tidak bisa disamakan misalkan insentif untuk kelas tengah sama kelas bawah. Jadi kalau kelas bawah misalkan dikasih bansos, kelas menengah bukan berarti dikasih bahan sosial juga, karena bansos itu juga ada efek yang tidak mendidiknya sebetulnya bagi masyarakat,” terang Faisal.

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait UANG TABUNGAN atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah & Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Fina Nailur Rohmah & Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty