tirto.id - Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) resmi dibuka pada Kamis (24/7/2025). Ajang yang diklaim sebagai pameran otomotif terbesar di dunia ini dihelat di tengah iklim penjualan kendaraan domestik yang nisbi lunglai.
Berdasarkan data Gaikindo, penjualan mobil di Indonesia turun 22,6 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi 57.760 unit pada Juni 2025, menyusul penurunan 15,1 persen pada bulan sebelumnya. Penjualan wholesales mobil pada April 2025 sebanyak 51.205 unit merupakan yang terendah sejak Mei 2024.
Dikutip dari situs resmi Gaikindo, penjualan mobil secara retail (dari dealer langsung ke konsumen) mengalami penurunan sebesar 12,3 persen secara tahunan pada Juni 2025. Jumlah unit yang terjual tercatat sebanyak 61.647 unit, menurun dibandingkan dengan periode yang sama pada 2024 yang mencapai 70.290 unit.
Sementara itu, secara bulanan (month-to-month/mtm), penjualan mobil secara wholesale juga menunjukkan penurunan sebesar 4,7 persen dibandingkan Mei 2025, yang saat itu mencatatkan penjualan sebanyak 60.612 unit.
Lalu, bagaimana antusiasme pengunjung GIIAS 2025 untuk membeli kendaraan?
Berdasarkan pantauan Tirto pada Kamis (25/7/2025), suasana ICE BSD—tempat diselenggarakannya event GIIAS 2025—tampak cukup ramai. Di hall 5-11 yang memamerkan sejumlah booth pabrikan otomotif asal Cina, Jepang, Eropa, hingga Amerika, kepadatan pengunjung telah terlihat sejak siang hari dan bertambah banyak menjelang sore dan malam hari.
Di tengah hiruk pikuk pameran otomotif GIIAS 2025, sebagian pengunjung datang memang bukan dengan niat membeli mobil, melainkan sekadar melihat-lihat mobil yang dipamerkan. Salah satunya adalah Aulia Bintang, wanita berusia 30 tahun yang mengaku datang dari Pamulang, Tangerang Selatan.
“Di sini belum ada niatan untuk beli mobil sih. Cuma lihat-lihat aja. kebetulan belum ada bujet saat ini buat beli mobil baru. Tahun lalu, saya juga baru beli mobil sih, tapi bekas. Ini lihat-lihat dulu sekalian survei, siapa tahu nanti ada rezeki bisa kebeli,” ujar Bintang saat ditemui Tirto di salah satu booth merek mobil asal Cina di GIIAS 2025, Kamis (24/7/2025)
Bintang menyebut bahwa baginya, melihat mobil-mobil baru di pameran seperti ini bisa jadi bentuk hiburan tersendiri. Menurutnya, kondisi ekonomi yang tidak menentu membuat masyarakat kelas menengah seperti dirinya lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang.
“Menurut saya, harga mobil baru juga makin gak terjangkau buat saya. Kemarin, saya mau beli mobil LCGC agak kaget harganya sekarang udah Rp200 juta-an, akhirnya gak jadi beli. Jauh banget ya naiknya, padahal dulu cuma Rp 100 juta-an. Terus, kondisi ekonomi sekarang juga lebih membuat saya buat hemat dulu aja,” ujar Bintang.
Meski demikian, dia mengaku sangat tertarik dengan salah satu mobil yang dipamerkan di GIIAS 2025. Mobil tersebut adalah mobil listrik (EV) rakitan pabrikan asal Tiongkok yang belum lama ini meluncur di Indonesia. Walau tak dalam waktu dekat, dia bercita-cita untuk meminang mobil tersebut di kemudian hari.
“Tertarik banget sama Wuling Cloud EV. Modelnya lucu, mobil listrik lagi. Denger-denger, jauh lebih hemat, pajaknya lebih murah, dan gak perlu isi bensin lagi. Harganya juga menurut saya gak overpriced. Cita-cita pengen beli sih nanti kalo ada rezeki,” ujarnya.
Meski begitu, ada juga pengunjung yang memang berniat untuk membeli mobil di GIIAS 2025 ini. Wisnu Prasetyo, seorang pria asal Semarang, Jawa Tengah, mengaku jauh-jauh datang untuk membeli mobil pada GIIAS 2025 ini. Saat ditemui Tirto, dia baru saja menandatangani Surat Pemesanan Kendaraan (SPK) di salah satu booth pabrikan mobil asal Jepang.
“Iya, hari pertama GIIAS langsung SPK. Sengaja beli pas GIIAS soalnya ada diskon khusus dan tadi bisa dapet undian berhadiah. Rencana mau beli sih udah lama, tapi baru di-launching pas GIIAS ini. Kalau beli langsung di sini, janjinya unit ready gak perlu indent lagi seperti di kota saya,” ujarnya saat diwawancara, Kamis (24/7/2025).
Lantas, bagaimana pandangan pakar terhadap industri otomotif saat ini?
Daya Beli Masyarakat Sedang Menurun
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menyebut ada beberapa faktor yang kemungkinan besar berkontribusi terhadap lesunya penjualan mobil baru dalam beberapa waktu terakhir. Faktor pertama adalah fenomena meningkatnya preferensi masyarakat terhadap mobil bekas ketimbang mobil baru.
“Masyarakat sekarang dapat membeli mobil bekas dengan mengandalkan layanan cek kendaraan ataupun fasilitas kredit yang sama dengan penjualan mobil baru. Jadi, dengan harga yang lebih murah, masyarakat bisa mendapatkan mobil berkualitas,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (24/7/2025).
Faktor kedua adalah penurunan daya beli yang pada akhirnya menyebabkan masyarakat cenderung memilih mobil bekas yang lebih murah. Huda mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengungkap pertumbuhan rata-rata pendapatan masyarakat hanya mencapai 1,5 persen per tahun. Di sisi lain, laju inflasi, khususnya pada 2022 hingga 2023, tercatat melebihi 5 persen.

Menurutnya, kondisi ini sebagian besar dipicu oleh kenaikan harga BBM jenis Pertalite serta peningkatan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen.
“Akhirnya menyebabkan disposible income masyarakat terus menyusut dikarenakan kenaikan dari pajak/iuran. Tekanan terhadap daya beli masyarakat kelas menengah cukup terasa. Makanya kelas menengah kita banyak bergeser ke rentan miskin,” ujarnya.
Selain itu, Huda menilai bahwa kebijakan pemerintah dalam mendorong penjualan mobil baru masih minim. Dia membandingkan kondisi saat ini dengan kebijakan pada awal dekade 2010-an, ketika pemerintah meluncurkan program low cost green car (LCGC) yang cukup efektif mendorong pertumbuhan industri otomotif.
Jumlah Kelas Menengah Makin Menyusut
Pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menilai bahwa penurunan penjualan mobil di Indonesia saat ini mencerminkan adanya perlambatan struktural dalam sektor otomotif nasional. Dia mengidentifikasi setidaknya tiga faktor utama yang menjadi akar dari masalah tersebut, yaitu kontraksi daya beli masyarakat, kebijakan fiskal yang dinilai kontraproduktif, serta tingginya suku bunga.
Yannes menyoroti kelas menengah yang selama ini menjadi motor utama permintaan mobil, terutama di segmen LCGC, mengalami penyusutan signifikan. Di sisi lain, harga mobil LCGC mengalami kenaikan tajam hingga 200 persen sejak 2013—jauh melampaui kenaikan upah real yang hanya sekitar 40 persen.
“Segmentasi middle income class yang menjadi target utama penjualan mobil di Indonesia, yakni LCGC, terus menyusut dari 57,3 juta orang pada 2019 menjadi 47,8 juta orang pada 2024 yang berarti turun sekitar 16,6 persen,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (24/7/2025).
Ketimpangan ini menyebabkan cicilan mobil tak lagi terjangkau. Dari sisi fiskal, kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen serta tingginya pajak kendaraan daerah menambah beban finansial konsumen.
“Ketidakpastian harga akhir kendaraan juga menjadi tantangan tersendiri karena adanya variasi tarif pajak antardaerah yang membingungkan konsumen dan mengganggu kepastian transaksi,” ujarnya.

Situasi ini diperparah oleh sejumlah faktor eksternal, seperti pelemahan daya beli, kenaikan harga energi, dan penguatan nilai tukar dolar Amerika Serikat yang dinilai turut mendorong kenaikan harga mobil—dalam beberapa kasus hingga 10 persen.
Imbasnya paling terasa di segmen kendaraan mid-range dengan kisaran harga Rp200-400 juta yang selama ini menjadi tulang punggung pasar otomotif nasional.
“Jadi, penurunan 16,6 persen jumlah kelas menengah dari 2019–2024 berkorelasi kuat dengan 25 persen penurunan penjualan mobil karena segmen inilah yang mendominasi pasar otomotif kita,” ujarnya.
Yannes menilai kondisi ini menunjukkan bahwa industri otomotif Indonesia sedang menghadapi perlambatan struktural yang cukup serius dan yang tampaknya sulit untuk bisa dibenahi dalam waktu singkat.
“Intinya, daya beli masyarakat harus ditingkatkan dulu oleh pemerintah. Ini PR yang menantang,” pungkasnya.
Industri & Pemerintah Tetap Optimis
Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Yohannes Nangoi, menyebut industri otomotif Indonesia masih bergeliat di tengah tantangan global. Meski pasar domestik tengah menghadapi tekanan, ekspor kendaraan pada paruh pertama 2025 tumbuh 7 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
“Kinerja ekspor kendaraan Indonesia terus mencatat pertumbuhan yang positif pada tahun 2024. Ekspor hampir mencapai 500 ribu unit dan hingga pertengahan tahun 2025 telah meningkat sebesar 7 persen,” ujarnya dalam dalam pembukaan GIIAS 2025, di ICE BSD, Kamis (24/7/2025).
Yohannes mengakui bahwa industri otomotif nasional memang mengalami pasang surut. Namun, optimisme tetap tinggi, terlihat dari realisasi investasi sektor otomotif yang mencapai lebih dari Rp150 triliun pada periode 2020-2024.

“Catatan ini menunjukkan kepercayaan yang besar dari pelaku industri global terhadap potensi pasar Indonesia serta kesejahteraan ekosistem otomotif nasional untuk terus berkembang,” ujarnya.
Menurutnya, pameran GIIAS 2025, yang digelar dengan tema "Empowering the Future", menjadi bukti ketahanan industri otomotif nasional. Sebanyak 44 merek otomotif global dan 17 merek sepeda motor turut serta, termasuk dari Jepang, Korea, Tiongkok, AS, dan Eropa.
Sementara itu, Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, yang hadir membuka acara menyampaikan apresiasi atas capaian tersebut. Pemerintah berkomitmen mendukung iklim investasi yang stabil agar industri otomotif tetap menjadi penopang ekonomi nasional.
Dengan pertumbuhan ekspor yang terjaga dan inovasi terus dikembangkan, industri otomotif Indonesia berpeluang mencatatkan kinerja lebih baik di sisa 2025.
“Tentu GIIAS kali ini akan memegang peranan penting sebagai platform strategis dalam membentuk ekosistem mobilitas masa depan yang berkelanjutan, terkoneksi, bertenaga listrik, dan juga yang cerdas, smart mobility,” ucap Agus.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































