tirto.id - Keluarga Djajadiningrat adalah salah satu garis keturunan Banten yang paling tersohor di Nusantara. Setidaknya ada tiga orang dari keluarga ini yang tenar dan berpengaruh, yaitu Achmad, Hoesein, dan Hilman.
Achmad Djajadiningrat merupakan Bupati Serang (1901-1924) dan Bupati Batavia yang pertama sekaligus terakhir (1924-1929). Menurut Iim Imadudin dalam “Pendidikan Kolonial dan Politik Asosiasi: Kajian Atas Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1877-1943)” di Jurnal Patanjala Vol.7 No.3, September 2015, Achmad merupakan bupati yang maju lantaran ikut serta secara aktif dalam meyuarakan kesejahteraan rakyat Banten di Volksraad dan mendukung Sarekat Islam.
Ia bersama Bupati Wiranatakusumah V (Dalem Haji) dari Bandung menjadi pendukung pemberlakukan otonomi politik di Hindia Belanda. Seperti sang kakak, belakangan adiknya, Hilman Djajadiningrat, juga aktif dalam percaturan politik pada masa Republik Indonesia Serikat.
Agus Mulyana dalam tesisnya Negara Pasundan 1947-1950: Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional (1996), menyebut bahwa Hilman Djajadiningrat malah menjadi lawan politik Wiranatakusumah V dalam pergulatan Negara Pasundan yang problematis di Jawa Barat.
Sementara itu, Hoesein Djajadiningrat merupakan salah satu akademisi pribumi Nusantara paling awal. Ia dalam berbagai literatur sejarah sering dipandang sebagai lulusan doktor pertama di Indonesia, yakni setelah menempuh studi sejarah di Universitas Leiden dengan judul disertasi Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (1913) atau Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten.
M.R.O. Ar Razy dkk. dalam “Visi Orientalisme Hoesein Djajadiningrat dalam Ilmu Pengetahuan dan Pemajuan Identitas Kebudayaan (1911-1960)” di Jurnal Historia Vol.5 No.2 Tahun 2022, menyebut bahwa Hoesein membawa pengaruh besar bagi perkembangan ilmu sejarah di Indonesia.
Ia merupakan penyusun historiografi Indonesia pertama yang taat dengan metode sejarah ala Barat, kontras dengan tradisi penulisan tradisional seperti babad yang kandungannya penuh dengan aspek mitologi dan simbolik.
Sebagai seorang sejarawan sekaligus orientalis asli Indonesia, Hoesein dikenal pula atas prakarsanya dalam pendirian Java Instituut yang digawangi oleh mertuanya, Mangkunegara VII. Di masa akhir kehidupannya, Hoesein diangkat menjadi Guru Besar Sejarah di Universitas Indonesia.
Di luar ketiga Djajadiningrat bersaudara ini, beberapa orang pesohor lain yang juga berasal dari klan ini antara lain Maria Ulfah Santoso—keponakan tiga Djajadiningrat bersaudara dari garis ibu, yakni putri Chadidjah Djajadiningrat—yang menjadi Menteri Sosial (1946-1947), seperti disinggung oleh Y.B. Tangkilisan dalam “Srikandi Pendiri Bangsa: Perjuangan dan Sumbangsih Maria Ulfah untuk Kemerdekaan Indonesia” di Jurnal Multikultura Vol.1 No.3 Juli 2022.
Karier politik Maria Ulfah dimulai dengan menjadi anggota BPUPKI pada masa akhir Jepang, sampai kemudian bergabung dalam Kabinet Sjahrir di mana ia integral dalam keanggotaan Partai Sosialis Indonesia. Ia juga yang mengusulkan Linggarjati di Kuningan sebagai tempat perundingan pada November 1946.
Naseuni dan “Umat Hindu”
Serangkaian cerita kebesaran keluarga Djajadiningrat menimbulkan pertanyaan besar, berkaitan dengan apa yang orang Jawa sebut sebabai “bibit, bobot, bebet”. Siapa sebenarnya keluarga Djajadiningrat? Bagaimana asal-usul kemunculan mereka? Mengapa mereka bisa begitu berpengaruh?
Sejumlah pertanyaan itu barangkali bisa dijawab lewat catatan memoar Achmad Djajadiningrat yang berjudul Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1936) atau Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat.
Suatu kali di tahun 1907 muncul laporan Koloniaal Verslag yang menyebut bahwa di Lebak terdapat 40 keluarga yang beragama “Hindu”. Laporan ini awalnya tidak dipercayai oleh anggota sidang majelis Menteri Jajahan, sehingga Achmad yang kala itu merupakan Bupati Serang diminta untuk menyelidiki hal tersebut.
Uniknya, kendati Achmad dipercaya untuk menyelidiki hal itu karena dipandang lebih berpendidikan daripada Bupati Lebak, namun dalam rangka menjaga perasaan Bupati Lebak, ia diminta tidak pergi ke Lebak langsung untuk mengamati kasus tersebut. Untuk menyiasati hal itu, Achmad kebetulan memiliki seorang sahabat (atau mungkin guru spiritual) dari kalangan Baduy yang bernama Naseuni, seorang puun (tetua adat) dari Cikeusik.
Rupanya “umat Hindu” yang dimaksud dalam Koloniaal Verslag merujuk pada orang Baduy yang berdiam di Desa Kanekes. Berdasarkan wawancaranya dengan Naseuni, Achmad menegaskan bahwa orang Baduy bukanlah orang Hindu—dalam hal ini yang memuja Dewa Siwa, Wisnu dan Brahma—sebagaimana dipahami oleh orang Belanda. Menurut Achmad, mereka merupakan sisa-sisa kepercayaan Sunda lama yang lebih tepat dianggap memuja dan menghormati leluhur.
Berita Silsilah
Tidak hanya itu, masih dalam Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat, Naseuni juga menyampaikan informasi tak terduga pada Achmad. Dikisahkan oleh Naseuni bahwa ayahanda Achmad, Bupati Pandeglang Raden Bagus Jayawinata adalah keturunan Pangeran Wirasuta yang hidup di zaman Sultan Ageng Tirtayasa yang berkuasa pada 1651-1683.
Dan Wirasuta menurut Naseuni bukan orang dari sekitar Banten Lama yang berbahasa Jawa Serang, melainkan seorang Baduy. Diceritakan oleh puun Cikeusik itu bahwa Wirasuta ialah anak dari seorang puun dari Cibeo, yang pada satu hari di masa mudanya mendapatkan wangsit untuk keluar dari Baduy. Atas izin dari ayahnya, Wirasuta kemudian diminta menyusuri Sungai Ciujung sampai ke hilir (keraton Banten).
Bermodalkan keris “Kebo Gandar”—saat cerita ini dituturkan keris tersebut ada pada Achmad selaku anak sulung—Wirasuta berjalan sampai ke Keraton Surosowan. Ia kemudian menghadap Sultan Banten dan diangkat sebagai punakawan (asisten pribadi). Berkat kecakapan serta kelihaiannya dalam bertempur, karier Wirasuta perlahan menanjak.
Puncaknya, atas jasanya dalam mengalahkan pemberontakan di Lampung pada tahun 1663, Wirasuta diangkat menjadi patih (perdana menteri) Kesultanan Banten. Bersama dengan pejabat Banten lain yang juga mumpuni seperti Syahbandar Cakradana dan Kaytsu, Wirasuta membantu Sultan Ageng Tirtayasa membawa Banten menuju puncak kejayaannya.
Namun, justru pada puncak kariernya Wirasuta mengalami cedera akibat perang. Tangannya yang terluka parah menyebabkan ia wafat lalu diberi gelar Pangeran Astapati (tangan mati) oleh Sultan Banten. Panglima dari Baduy itu dimakamkan di Desa Odel, 5 km dari Masjid Agung di Kawasan Banten Lama, Serang.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































