tirto.id - Berkat Pendidikan modern ala Belanda, anak-anak dari Raden Bagus Djajawinata dan Ratu Salehah memperoleh pekerjaan dan status sosial yang tinggi dalam masyarakat kolonial.
Ada Hilman Djajadiningrat, yang pernah jadi bupati Serang (1935-1945); Lukman Djajadiningrat, pejabat kolonial Hindia Belanda yang ikut mengungsi ke Australia; Hasan Djajadiningrat, tokoh Sarekat Islam di Banten; Hoesein Djajadingrat, doktor lulusan Leiden yang belakangan menjadi pengajar di perguruan tinggi, dan akhirnya dan si sulung Achmad Djajadiningrat yang pernah menjadi bupati Jakarta dan Serang.
Achmad Djajadiningrat adalah anak Djajawinata pertama yang bisa sekolah di Sekolah menengah elit macam Hoogere Burgerschool (HBS) Koning Willem (KW) III, yang gedungnya kini menjadi bagian dari kompleks Perpusnas Salemba. Semasa sekolah, ia indekos di rumah orang Belanda terhormat, seperti kebanyakan anak bangsawan di Jawa. Anak didik Snouck Hurgronje ini pernah memakai nama Willem van Banten. Meski sempat tidak naik kelas, Achmad lulus pada 1898 dari HBS yang pada abad ke-19, HBS sudah jadi sekolah elite.
"Saya anaknya yang sulung, lulus ujian akhir HBS, adikku Moehamad lulus ujian akhir Sekolah Menak (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren/OSVIA, alias Pendidikan untuk penjabat pemerintah dalam Negeri) di Bandung, adikku Hasan naik kelas dua di HBS dan adikku Hoesein diterima di HBS," aku Achmad Djajadiningrat dalam Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1996, hlm. 103).
Sebelum masuk HBS, adik-adik Achmad yang selisih usianya jauh, sempat diajar bahasa Belanda pada seorang Sersan KNIL pemegang diploma guru Eropa (Hulp-Acte) bernama Ruseler di Menes. "Yang pertama kali mengatakan kepada ayah bahwa adikku Hoesein adalah luar biasa encer otaknya adalah Tuan Ruseler," tulis Achmad (hlm. 90). Belakangan Hoesein menjadi orang pertama yang meraih gelar doktor dengan disertasi tentang sejarah Banten.
Hoesein sempat mengajar di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta dan menjadi Direktur Pengajaran di zaman kolonial sebelum Jepang datang. Pada zaman pendudukan Jepang, ia sempat kerja di kantor Departemen Urusan Agama. Ketika Sjahrir jadi perdana menteri, sepengakuan Soebadio Sastrotomo dalam Perjuangan Revolusi (1987, 99-100), Hoesein pernah hendak ditarik dalam kabinet Sjahrir. Namun tawaran itu ditolaknya. Setelah revolusi berlalu, Hoesein diangkat menjadi guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Achmad sendiri tak masuk universitas. Sejak 1898, ia langsung bekerja sebagai juru tulis di kantor kontrolir Serang. Di usia 24 tahun, ia diangkat menjadi bupati Serang pada 1901. Panggilan lengkapnya bertambah menjadi Raden Adipati Ario Achmad Djajadiningrat.
Pada 1924, Achmad tak lagi duduk di kursi bupati Serang. Ia dipindah ke Jakarta dan lagi-lagi jadi bupati. Ia sudah jadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad) sejak 1918 dan mundur dari jabatan bupati setelah ada aturan anggota Dewan Rakyat tak boleh merangkap jabatan bupati. Sejak 1929 ia menjadi anggota Dewan Hindia Belanda (Raad van Nederlandsch Indie). Achmad baru mundur dari jabatan di pemerintahan pada 1932, ketika sakit keras. Achmad yang lahir 16 Agustus 1877 di Pandeglang tutup usia pada 25 Desember 1943.
Anak-anak dari Achmad dan saudara-saudara adalah generasi baru. Anak-anak mereka lahir lalu tumbuh dewasa di zaman kolonial. Jika Achmad dan saudara-saudara hidup pada zaman di mana bekerja kepada pemerintah kolonial adalah hal lumrah, maka anak-anak mereka bekerja di sektor swasta dan pemerintah Indonesia. Setidaknya, ada dua yang menjadi perwira TNI.
Raden Bagus Nasis Djajadiningrat, kelahiran Serang 21 Mei 1919, adalah anak kelima Achmad dari perkawinannya dengan Raden Ajeng Suwitadiningrat. Ia memegang ijazah sekolah menengah elite, bekal bagus untuk mencari kerja di zaman kolonial. Soerabaijasch Handelsblad (27/07/1940) menyebutkan bahwa Nasis adalah Adelborst (taruna laut) di Koninklijk Instituut voor de Marine (Institut Angkatan Laut Kerajaan Belanda) di Surabaya sejak 6 Agustus 1940. Ia bekerja di bagian administrasi.
Tahun berikutnya, seperti diberitakan Bataviaasch nieuwsblad (01/11/1941), ia naik pangkat pada 31 Oktober 1941 dari pangkat kopral ke sersan Taruna Laut. Di jurusan administrasi, kawan Indonesia adalah Raden Moehamad Siddik Moeljono dan Raden Mas Hadjiwibowo.
Ketika Hindia Belanda dikalahkan balatentara Jepang, seperti diakuinya dalam buku Bunga Rampai Perjuangan & Pengorbanan Jilid VI (1997, hlm. 116-117) Nasis ditawan ketika menjadi anggota Batalyon Marine di Malang Selatan. Setelahnya ia bekerja sebagai kepala keuangan di Kantor Pekerjaan Umum Jawa Timur.
Nasis terlibat dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Ketika hendak ke Jakarta untuk melapor pindahnya Kantor Pekerjaan Umum ke Mojokerto, ia singgah di Yogyakarta dan melapor ke markas Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Maka masuklah Nasis ke ALRI sejak awal 1946, lagi-lagi sebagai kepala keuangan Markas Besar Angkatan Laut (MBAL).
Pangkatnya di ALRI pada zaman revolusi adalah letnan kolonel. Nasis ikut serta dalam panitia pemulangan tawanan Jepang (POPDA). Setelahnya, Nasis ikut memimpin Special Operation (SO) dalam badan intel Kementerian Pertahanan V (KPV) bersama Kolonel Soebijakto. Ketika Soebijakto menjadi Kepala Staf ALRI pada zaman revolusi, Nasis sempat jadi wakilnya. Pangkat terakhir Nasis di ALRI adalah laksamana muda.
Perwira TNI selain Nasis adalah Hidayat Djajadiningrat. Anak Hoesein dengan Raden Partini ini lahir pada 21 April 1928. Setelah revolusi kemerdekaan, TNI mengirim Hidayat untuk belajar ke Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda pada awal 1950-an. Setelah lulus ia jadi perwira TNI dan bergabung dengan baret merah sejak 1956.
Ken Conboy dalam Kopassus: Inside Indonesia's Special Forces (2003, hlm. 56), menyebutkan bahwa Hidayat dan Gunawan Wibisono, ketika berpangkat letnan pada 1959, pernah latihan jumpmaster di sekolah penerjun Inggris di Abingdon. Keduanya lalu memimpin Sekolah Para Komando Angkatan Darat (SPKAD). Buku Cahaya chandraca Kopassus (2005, hlm. 74-75) menyebutkan bahwa Hidayat adalah perancang wing terjun bagi lulusan kursus penerjun milik SPKAD dan juga brevet kualifikasi komando.
Ayah dari sutradara Dimas Djajadiningrat ini kemudian mentok di pangkat kolonel.
Ketika mengurus tawanan perang, Nasis berhubungan dengan adiknya, Raden Bagus Idrus Nasir Djajadiningrat alias Didi Djajadiningrat, anak keenam Achmad dengan Suwitadiningrat. Didi yang kelahiran 4 Juni 1920 dan tutup usia pada 1980 ini sejak awal berkarir di Departemen Luar Negeri. Belakangan ia menjadi diplomat dan anggota DPR fraksi ABRI. Ia juga dianugerahi Bintang Gerilya.
Ada juga kakak Didi dan Nasis yang mendapat Bintang Gerilya, yakni Fushat Erna Djajadiningrat, seorang pegiat dapur umum pada masa revolusi.
Editor: Windu Jusuf