tirto.id - Pada zaman Belanda, jadi pegawai kolonial atau tentara angkatan laut adalah hal yang biasa bagi sebagian orang Indonesia. Raden Soebijakto (1917-1999) sudah bergabung dengan Angkatan Laut Kerajaan Belanda alias Koninklijk Marine (KM) waktu Perang Dunia II berkecamuk.
Menurut buku Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (Periode Perang Kemerdekaan) 1945-1950, (2012: 773), dari 1942 hingga 1943, Soebijakto menjadi Aspirant Adjudant Vissering Consulat (Pembantu Ajudan Konsulat Perikanan) di Ambarawa. Lalu Aspirant Reserve Officier(Calon Pembantu Perwira) di Koninklijk Marine. Ia kemudian menjadi letnan laut III dari 1943 hingga 1947. Soebijakto bertempur di pihak Sekutu dalam perang besar itu.
Pada 1947, Soebijakto mengundurkan diri secara baik-baik sebagai perwira KM. Pengunduran dirinya diterima dan dia kemudian menetap beberapa lama di Singapura. Di negeri pulau itu, Soebijakto kenal beberapa pemuda Republiken dan dari mereka lah dia bisa tahu perkembangan politik Indonesia, yang baru dua tahun merdeka. Tak ikut revolusi sejak 1945 membuat ayah dari koreografer Jay Soebijakto ini agak dimusuhi sebagian golongan di Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).
Di antara pemuda-pemuda itu memang terdapat unsur dari ALRI. Ketika di Singapura itu, menurut Abubakar Lubis dalam Kilas Balik Revolusi: Kenangan, Pelaku dan Saksi (1992: 239), Soebijakto adalah wakil ALRI di Singapura dan terlibat dalam usaha pembelian kapal. Dia di Singapura setidaknya hingga akhir 1947.
Badan Intel Kiri
Nun jauh di Yogyakarta, sesama bekas didikan Angkatan Laut Belanda bernama Abdoelrachman sudah jadi orang penting. Sejak pertengahan 1947, Abdoelrachman jadi pembesar di Kementerian Pertahanan.
Kala itu, Menteri Pertahanan dijabat Mr. Amir Sjarifoeddin (1907-1948) sambil merangkap perdana menteri. Amir, perdana menteri yang dalam sejarah Indonesia Indonesia dicap komunis tapi dilupakan perjuangannya itu, dikenal menyukai bekas perwira didikan Belanda ketimbang didikan Jepang untuk memimpin armada militer Republik (baik darat maupun laut).
Menurut Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948 (1997: 85) dan Sudyono Djojoprajitno dalam P. K. I. Sibar Contra Tan Malaka: Pemberontakan 1926 & Kambing Hitam Tan Malaka (1962: 79), Abdoelrachman punya kecenderungan kiri yang membuatnya dipercaya Amir. Selain itu, Abdoelrachman juga dituduh sebagai agen NEFIS. Lengkap sudah alasan bagi banyak orang Indonesia di belakang hari untuk membencinya.
Jabatan Abdoelrachman di Kementerian Pertahanan adalah Kepala Kementerian Pertahanan Bagian V (disingkat KP-V) dan biasa disebut Bagian V.
Ada alasan untuk menyebut Bagian V itu milik sayap kiri. Jika merujuk "Arsip Kementerian Pertahanan RI nomor 374: Surat Keterangan Kementerian Pertahanan Bagian V No. B 1449/A VI tanggal 1 Agustus 1947", di dalam Bagian V terdapat Tjoegito (tokoh PKI) yang diberi kedudukan sebagai Penasehat Istimewa.
Belum lagi "Arsip Kementerian Pertahanan RI nomor 883: Laporan dari kementerian Pertahanan tanggal 5 Maret 1948" yang menyebut bahwa Bagian V condong ke kiri (maksudnya ke kubu Amir Sjarifuddin).
Soebijakto Memimpin Opsus
Pada pertengahan November 1947, sebuah telegram dari Abdoelrachman untuk Soebijakto tiba. Telegram itu bukan tanpa maksud. Ada jabatan yang harus segera diisi Soebijakto di Bagian V. Telegram tersebut tersimpan dalam bundelan "Arsip Kementerian Pertahanan RI nomor 275: Telegram (kawat) dari Abdoel Rachman kepada Subiakto di Singapura tanggal 14 November 1948". Isinya: ”Saudara [Soebijakto] diangkat menjadi Komandan Special Operation dengan pangkat Letnan Kolonel I dengan gaji Rp 400.”
Kala itu, Special Operation (SO) alias Operasi Khusus baru saja dibentuk. Seperti halnya badan intel yang sudah ada sebelumnya, seperti BRANI, SO juga akan melatih banyak personel. Lewat telegram itu dijelaskan siapa saja leerkrachten (para pengajar) yang diperlukan. Terdapat nama Iskak, Kusmanadi, Martadinata, Bambang Sutedjo, Mochtar, dan Idrus Nasir Djajadiningrat (anak mantan Bupati Serang, Pangeran Ahmad Djajadiningrat, yang juga pernah menjadi tentara Angkatan Laut Belanda). Sementara pengajar lain masih diusahakan.
Selain masalah SO, Abdoelrachman memberi kabar soal sepeda dan buku milik Soebijakto. Abdoelrachman mengatakan, “Sepeda saudara telah kami kembalikan ke rumah saudara […] Dari rumah saudara kami telah meminjam buku untuk keperluan jawatan. Harap diperkenankan meminjam buku lainnya untuk keperluan latihan.”
Sebelum Soebijakto datang, sebuah panitia kecil dibentuk. Menurut "Arsip Kementerian Pertahanan RI nomor 853: Surat Anggota Bagian SO Kementerian Pertahanan Kepada kepala Kementerian Pertahanan bagian V di Yogyakarta No. J/AD//I/47 tanggal 4 November 1947", di dalam kepanitiaan itu terdapat Djajadiningrat (yang mengurusi administrasi); Poerbodipoero (methodishce opbouw); dan K. Rachman Masjhoer (teknis militer).
Sementara itu, "Arsip Kementerian Pertahanan RI nomor 268: Surat Nomor B39/OIV dari Kepala Bagian V Kementerian Pertahanan Kepada Kementerian Pertahanan Pusat Pendidikan Ketentaraan tanggal 25 September 1947" menyebutkan bahwa Letnan Kolonel Nasir Djajadiningrat dari Bagian V diangkat sebagai wakil komandan SO dan bertugas menyusun pelatihan SO di Sarang Garoeda Complex, Sarangan, perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Nasir Djajadiningrat juga ditugaskan mengurus tempat pelatihan dan penerimaan siswa. Latihan ini diikuti pula oleh pegawai kementerian pertahanan.
Mereka yang mengikuti pelatihan itu di antaranya bekas pelajar Latihan Opsir Kalibakung dan siswa sekolah pelayaran tinggi yang punya pengalaman di laut, bahkan pernah memimpin pasukan. Selain itu, menurut "Arsip Kementerian Pertahanan RI nomor 269: Surat Kementerian Pertahanan bagian V Special Operation tanggal 23 dan 27 Oktober 1947",komandan dari sekolah opsir Kalibakung itu adalah Mayor R.E. Martadinata.Abdoelrachman mengusulkan agar Martadinata ditarik saja ke SO Bagian V karena punya pengalaman melatih anggota Angkatan Laut.
Di antara mantan perwira didikan Kalibakung yang ikut SO adalah Moeljadi. Selain Moeljadi yang terdapat dalam nomor 54, ada pula tercantum atas nama J.S. Darmoprawiro di nomor 55 (terakhir). Darmoprawiro adalah nama ayah Pahlawan Nasional Jos Soedarso. Kesimpulan saya, kadet yang dimaksud adalah Jos Soedarso. Saat itu, Moeljadi dan Jos berstatus calon letnan.
Sementara itu, Sudomo yang bernomor urut 12 adalah calon kapten. Sudomo yang dimaksud tentu saja Sudomo yang pernah jadi Pangkopkamtib zaman Orde Baru. Menurut buku Asal-usul nama-nama kapal perang TNI-AL (1975: 108), Sudomo pernah ikut pendidikan SO.
Nasib Para Alumni Opsus
Setelah kabinet Amir Sjarifoeddin jatuh, Bagian V pun bubar. Badan rahasia ini dituduh tidak objektif dan telah membocorkan dokumen ke kawan yang berhaluan politik sama. Namun, SO yang dipegang oleh orang-orang Angkatan Laut tidak langsung bubar. SO masih ada ketika Hatta menjadi perdana menteri.
Sementara itu, Kolonel Soebijakto ditunjuk menjadi Ketua Komisi Reorganisasi Angkatan Laut (KRAL), yang dibentuk pada 17 Maret 1948. Dari awal tahun itu hingga 1959, Soebijakto, yang belum lama di ALRI, menjadi orang nomor satu di angkatan tersebut. Orang yang pertama jadi wakilnya adalah Nasir Djajadiningrat. Setelah Soebijakto, KSAL dipimpin R.E. Martadinata.
Sementara itu, mantan perdana menteri Amir kemudian terlibat dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang terkait dengan Peristiwa Madiun 1948. Menurut catatan Kapten F. Purwono dalam buku Laksamana Moeljadi (1989), “[...] pecahnya Peristiwa Madiun, memaksa siswa-siswa dan guru SO Sarangan untuk turut menumpas Pemberontakan tersebut. Seluruh siswa dikerahkan ke front pertempuran langsung di bawah komando Markas Besar ALRI Yogyakarta.”
Menurut Purwono pula, Moeljadi lulus dari Basic Special Operation (BSO) pada Oktober 1948, setelah delapan bulan pendidikan. Ternyata Moeljadi, bersama Yos Sudarso, termasuk dalam pemuda di Angkatan Laut yang pernah direkrut sebagai perwira Penjelidik Militer Choesoes(PMC) pimpinan Zulkifli Lubis (hlm. 38).
Belakangan hari, Moeljadi menggantikan Martadinata yang meninggal karena kecelakaan helikopter di Puncak, Bogor. Mantan anggota jaringan Opsus bikinan Amir Sjarifoeddin ini menjadi Kepala Staf Angkatan Laut dari 1966 hingga 1969. Pengganti Moeljadi juga mantan anggota Opsus bikinan Amir, yaitu Laksamana Sudomo, yang menjabat dari 1969 hingga 1973. Sementara itu, Jos Soedarso yang meninggal sangat dini dikenal sebagai Pahlawan Nasional.
Editor: Ivan Aulia Ahsan