tirto.id - Era kekuasaan Dinasti Ming di Tiongkok (1368-1644) merupakan periode penting dalam historiografi panjang monarki di Bumi Tirai Bambu. Seperti disinggung oleh Charles O. Hucker dalam The Ming Dynasty: Its Origins and Evolving Institutions, rajakula Ming hadir sebagai momok terakhir bagi kekuasaan asing Dinasti Yuan.
Sepeninggal Kubilai Khan pada 1294, organ-organ dalam rezim Yuan-Mongol di Tiongkok terus mengalami kemerosotan. Seorang petani sekaligus biarawan bernama Zhu Yuanzhang, yang menggagas pemberontakan “Serban Merah”, merongrong Dinasti Yuan di sepanjang medio abad ke-14. Puncaknya, Zhu berhasil naik takhta menjadi kaisar pada 1368 dan mendirikan Dinasti Ming.
Namun, kisah heroisme Dinasti Ming, yang membebaskan Tanah Tiongkok dari penjajahan bangsa asing (Mongol), rupanya cukup bertahan selama tiga abad. John W. Dardess, dalam Ming China, 1368–1644: A Concise History of a Resilient Empire (2012), menyebut bahwa kemegahan negeri Ming belakangan disetir oleh para pejabat korup dan nirkompeten sehingga akhirnya Tiongkok kembali dijajah “bangsa asing”.
Kali ini bukan Mongol yang datang dari utara, melainkan orang Manchu yang datang dari wilayah timur laut (berbatasan dengan wilayah Korea). Orang-orang berkepang yang hobi berkuda itu perlahan-lahan menggerus kedaulatan Bangsa Han di Tiongkok hingga punah sama sekali. Mereka kemudian melahirkan rezim baru Manchu bernama Dinasti Qing. Sejak saat itu, Tiongkok mengalami pendudukan bertahun-tahun sampai periode menjelang Perang Dunia I.
Kendatipun Dinasti Ming berakhir di pertengahan abad ke-17, orang-orang Tionghoa yang enggan tunduk pada rezim Manchu dan memilih setia pada Dinasti Ming tidak begitu saja sirna. Mereka tetap eksis di bawah tanah, walau eksistensinya tidak lagi diakui oleh rezim Qing yang mengklaim sebagai eksponen politik tunggal di Tiongkok.
Kehidupan mereka sebagai loyalis Ming tidaklah mudah. Mereka bahkan terpaksa eksodus ke negeri-negeri asing yang sebelumnya dianggap wilayah “barbar”.
Para loyalis Dinasti Ming itu menyebar ke berbagai penjuru, termasuk Nusantara yang sebenarnya telah mereka kenali sejak ekspedisi Cheng Ho. Satu di antara banyak daerah di Nusantara yang menarik bagi mereka adalah Banten.
Ketibaan di Negeri Banten
Eksistensi loyalis Dinasti Ming di Banten paling awal disinggung oleh Tome Pires dalam Suma Oriental sebagaimana diterjemahkan oleh Armando Cortesao (1944). Banten, yang ketika itu masih merupakan pelabuhan Kerajaan Sunda, telah didatangi oleh orang-orang Tionghoa dari Dinasti Ming. Hal itu dibuktikan oleh penggunaan mata uang zaman Dinasti Ming di sana.
Selain itu, menurut penggambaran peta yang diterbitkan oleh G.P. Rouffaer dan J.W. Ijzerman dalam De Eerste Schipvaart der Nederlanders naar Indie onder C. de Houtman (1915), ketika rombongan VOC pertama mendarat di Banten pada tahun 1596, pecinan telah ada di barat laut pelabuhan.
Claudine Salmon, dalam Loyalis Dinasti Ming di Asia Tenggara (2020), juga menyinggung kesaksian dari Dinasti Ming sendiri mengenai kehadiran warganya di Banten. Kronik dari Dinasti Ming yang dikutip oleh Claudine itu berjudul Dong xi yang kao, ditulis oleh Zhang Xie pada 1618.
Banten kala itu disebut sebagai Xia Gang (Pelabuhan Bawah). Zhang Xie mengatakan bahwa empat orang dari Dinasti Ming telah dijadikan sebagai panitera oleh Sultan Banten bersama dua orang pribumi. Orang-orang dari Dinasti Ming yang lain dipercaya oleh sultan menjadi juru bahasa untuk tiap-tiap kapal asing di pelabuhan.
Guillot dkk., dalam “Les sucriers chinois de Kelapadua, Banten” (1990) mengungkapkan, sepanjang awal abad ke-17, para pelarian Ming yang telah resmi meninggalkan negerinya telah ikut serta dalam pengembangan produksi komoditas di Banten.
Beberapa sektor yang menjadi perhatian para loyalis Dinasti Ming adalah perkebunan, pertanian, kerajinan tangan, pembuatan gula dan garam, pembuatan bata dan lain sebagainya. Namun, sektor paling menguntungkan bagi Banten yang diproduksi oleh loyalis Dinasti Ming adalah gula tebu, tercatat sejak 1620-an.
Bahkan, para loyalis Dinasti Ming mendapatkan kuasa dagang penuh dari Sultan Banten untuk memperdagangkan komoditas anyar tersebut, perlahan menggeser orang Koromandel di pemerintahan Kesultanan Banten. Sejak saat itu, syahbandar Kesultanan Banten senantiasa dijabat oleh para loyalis Dinasti Ming.
Kaytsu: Penasihat Sultan Ageng Tirtayasa
Salah satu dari sekian banyak tokoh dalam pemerintahan Kesultanan Banten yang berlatar belakang Dinasti Ming adalah Kaytsu. Sosok yang juga digelari Kyai Ngabehi oleh sultan Banten tersebut meniti karir sejak ia didelegasikan untuk misi diplomasi dengan VOC di Batavia pada 1656. Orang yang mengatur tugas itu adalah Syahbandar Banten bernama Abdul Wakil (juga seorang Tionghoa), demikian dikisahkan oleh Claudine Salmon dalam Loyalis Dinasti Ming di Asia Tenggara (2020).
Berkat kelihaiannya dalam berkomunikasi, Kaytsu mampu menjalin hubungan dekat dengan Kapitan Tionghoa Batavia bernama Bingam. Atas dasar hubungan erat itu, jalinan hubungan damai Banten-VOC bisa tercapai pada 1659, tepatnya ketika Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa.
Pada 1661, berkat jasanya, Kaytsu dihadiahi rumah mewah yang terbuat dari bata di sebelah loji dagang Inggris di Banten.

Setelah menikmati kemewahan dari sultan, Kaytsu tidak lantas menjadi pasif. Di satu sisi, Kaytsu berusaha membina hubungan baik dengan kaum Inggris, sebagai tanggapan dari berkurangnya kapal-kapal jung Tiongkok yang datang ke Banten lantaran perang tengah berkecamuk di negerinya.
Dengan menghilangnya sekutu dari Tionghoa daratan, Kaytsu sadar bahwa ia harus membangun armada kapal sendiri demi melindungi para loyalis Dinasti Ming di Banten serta sultan yang telah menjadi juragannya. Oleh karena itu, Kaytsu membeli banyak kapal Inggris yang dirakit di Rembang, untuk kemudian dipersenjatai dan diisi dengan awak kapal kompeten. Anak buah kapal itu terdiri atas orang Banten, Tionghoa, dan biasanya dinahkodai oleh tentara bayaran Inggris.
Dengan armada kapal yang kuat, Kaytsu berhasil meningkatkan kewibawaan Banten di hadapan VOC serta mempertahankan jalur dagang di pesisir barat Sumatra tanpa gangguan dari pihak Kompeni.
Lebih jauh lagi, bermodal pengetahuannya yang luas soal dunia Asia Timur, Kaytsu berhasil mengantarkan armada Banten sampai ke wilayah Makau dan Nagasaki di Jepang.
Di sisi yang lain, Kaytsu yang bijak juga menjadi sangat dekat dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Ia, sebagaimana dicatat oleh VOC, dianggap sebagai eminence grise (penasihat pribadi) Sultan Ageng Tirtayasa.
Kaytsu wafat sebagai pahlawan Banten pada 1674. Itu semua berkat jasanya sebagai motor penggerak puncak kejayaan Kesultanan Banten pada masa Sultan Ageng Tirtayasa.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































