tirto.id - Banten sepanjang abad ke-19 merupakan gelanggang pemberontakan. Tak ada sama sekali distrik di Banten Utara yang bebas dari kerusuhan sosial. Demikian menurut catatan E. S. de Klerck dalam History of the Netherlands East Indies (Vol. II, 1938—1939: 547).
Namun sesungguhnya, pemberontakan tak sekonyong-konyong meletus sporadis. Gejalanya muncul endemik dan simtomatik. Catatan sejarah sering menulis, hulu ledak meletus silih berganti, yang mengerucut pada spekulasi-spekulasi umum. Tentang ketidakpuasan terhadap modernisasi birokrasi, gonjang-ganjing politik, dan kebencian mendarah daging terhadap penguasa asing.
Jalan keluar dari spekulasi itulah yang dikenal dengan milenarianisme, sebuah istilah yang diperkenalkan Sartono Kartodirdjo melalui disertasi bertajuk The Peasants’ Revolt of Banten in 1888: Its Condition, Course and Sequel (1966). Akar bahasa diksi ini adalah milenium yang berarti seribu tahun, tetapi diterjemahkan dengan bahasa utopis sebab istilah ini diyakini memberikan harapan tentang tahun-tahun penuh makmur di masa depan.
Sartono masih menggunakan milenarianisme dalam karyanya selanjutnya, Ratu Adil (1984). Baginya, asas tersebut meronce gagasan tentang imajinasi tatanan dunia baru yang adil, setara, dan “seharusnya”. Pemberontakan Petani Banten 1888 sedia kalanya adalah kulminasi dari pemberontakan selama bertahun-tahun yang dilancarkan tanpa tedeng aling-aling dan/atau memilih senyap. Meski begitu, pemberontakan-pemberontakan ini memiliki musuh bersama yang tunggal: kolonialisme.
Dalam hal milenari, ide pemberontakan yang berlandaskan pada eskatologi Islam mengejawantah dalam harapan datangnya Imam Mahdi. Rakyat lebih mudah bersatu apabila gerakan diselubungi mitos yang berkenaan dengan tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, yang didasari oleh kebencian mendalam terhadap “pemerintah kafir”.
Tak ayal apabila dalam sudut pandang kolonialis, milenarianisme disejajarkan dengan anarkisme. Kebencian berpolitik, cita-cita pembebasan, dan kenyamanan hidup adalah dongkrak paling manjur untuk mendongkel kolonialisme. Tetapi lagi-lagi, pemberontakan tidak terjadi sekali waktu, melainkan berangsur-angsur dan mencapai puncaknya pada 1888.
Milenarianisme Di Pangkal Nadir
Milenarianisme memiliki keterhubungannya dengan gerakan kelas sosial priayi yang berstatus tinggi, pemuka agama, yang kondang disebut kiai dan haji. Mereka dikenal konservatif dan menolak berkompromi dengan asing. Ketika para elite sekuler (bangsawan, pamong praja) merapat sebagai kroni kolonialis, para kiai dan haji justru menghindari persekongkolan dengan politik kolonial.
Di Banten, kiai dan haji adalah simbol prestise sosial. Mereka dianggap merupakan pemimpin ideal, yang dapat menuntun umat menuju zaman pencerahan. Sangat mudah memengaruhi rakyat untuk mengorganisasikan revolusi sosial lewat konservatisme agama yang tradisional, kebalikan dari dinamika politik modern.
Ada harga diri yang dilecehkan ketika penetrasi kolonialisme mengobrak-abrik kultur tradisional. Elite agama yang sebelumnya mendapat rekognisi penuh dalam lingkaran kesultanan, lambat laun disingkirkan akibat modernisasi administrasi. Hampir semua birokrasi administrasi negara diambil alih oleh pamong praja, pejabat dan bangsawan lokal yang mengantongi surat kuasa kolonial dan bukan lewat tata cara tradisional. Ini juga mengindikasikan, terjadi keretakan hubungan (dualisme) antara elite sekuler dan elite agama.
Cerdiknya, para elite agama mampu memanfaatkan privilese sosial untuk menggaet barisan pemberontak militan. Mereka merangkul petani tertindas, yang merupakan kekuatan massa utama dan unsur mutlak dalam pemberontakan.
Tubagus Jayakusuma, misalnya, dipersepsikan pernah melakukan revolusi lewat agama dan milenarianisme. Dia mengajarkan kebatinan Ilmu Tarik—dianggap bernilai sufistik tinggi—serta menanamkan gagasan "perang sabil" kepada petani-petani di desa. Para petani yang tergabung sebagai anggota tarekat tersebut kemudian dibaiat agar bersedia mengabdi dan loyal kepadanya.
Ada pula seorang sakti bernama Mas Jakaria, yang karismanya di mata rakyat sudah diselubungi mitos. Kesohorannya memelopori Peristiwa Cikandi 1845, “merasuki” pemberontak sehingga berhasil merebut sebuah rumah dan membunuh pemiliknya yang seorang Eropa bernama Kamphuys, termasuk istri dan lima anaknya.
Pemberontakan Wakhia 1850 juga sama: disponsori oleh ide dan sumber daya Raden Bagus Jayakarta, patih Serang yang gagal naik pangkat dan melampiaskannya kepada Demang Cilegon.
Dengan sedikit propaganda dan indoktrinasi sistemik, tarekat pemberontak pimpinan elite agama sudah mampu menghimpun kekuatan masif. Kampanye bergelora bertajuk jihad bertujuan menawarkan fanatisme kepada umat: penghapusan pajak dan restorasi kejayaan negara Islam.
Meski petani adalah barisan dominan dalam pemberontakan puncak di Banten 1888, konseptor pemberontakan kebanyakan berasal dari elite agama. Salah satunya adalah Haji Abdul Karim yang bereputasi “keramat”, lantaran dianggap orang suci (Wali Allah) dan berlimpah anugerah barakat. Khotbah-khotbah revolusi jihadnya serupa nubuat yang diwahyukan kepada umat, sehingga membangkitkan romantisisme terhadap kedigdayaan Kesultanan Banten.
Murid didik Haji Abdul Karim juga merupakan pentolan berpengaruh selama pemberontakan. Di antaranya yakni Haji Tubagus Ismail dan Haji Marjuki. Selain itu, tersohor pula nama Haji Wasid, anak dari Abas—sosok yang berada di garda terdepan Pemberontakan Wakhia 1850. Dia tidak hanya agamawan prominen, melainkan bertalian pula dengan keluarga pemberontak.
Persiapan Mengangkat Senjata
Sudah sejak 1884 gagasan mengenai pemberontakan digodok cukup intensif. Para pemimpinnya pun tak sabar lagi mengangkat senjata. Guru-guru tarekat dimandatkan untuk menyebarkan gagasan perang sabil dan terus menggalang pengikut. Beberapa juga menggunakan kedok pesta perkawinan, zikir akbar di masjid-masjid, sebagai basis pematangan klandestin perencanaan pemberontakan.
Salah satu informasi penting mengenai persiapan pemberontakan itu bisa dilihat dalam laporan Snouck Hurgronje kepada Gubernur Jenderal tertanggal 7 Juni 1889. Pada 29 September, terjadi pertemuan di Beji, dengan tuan rumah Haji Wasid. Topik yang dibicarakan adalah pengumpulan senjata api.
Akan tetapi, gagasan penggunaan senjata api banyak ditolak lantaran para petani belum terbiasa menggunakan bedil dan mesiu. Hal itu juga dianggap meningkatkan risiko penangkapan. Karenanya, mereka memilih mengandalkan kelewang, pedang pendek mirip golok dan merupakan senjata andalan Pangeran Dipanegara. Senjata kelewang didapat dari pandai besi setempat serta pasar gelap Batavia dan Lampung. Adalah Haji Abdulsalam yang bertugas memboyong pasokan senjata dan berhasil membawa 75 golok.
Selama tiga bulan terakhir 1887 sampai April 1888, latihan pencak silat makin giat diadakan. Propaganda di luar Banten juga terus digalakkan menggunakan khotbah revolusi, ramalan pembebasan, serta bumbu-bumbu keadiluhungan perang sabil sebagai azimat gerakan.
Ketika ditanya perintah Tuhan mana yang paling penting, dengan tangkas Waji Wasid menjawab, “Sabil hati atawa Sabil perang.” Demikian dikutip dari Surat resmi Residen Batavia, 24 Juli 1889.
Menjelang masa-masa puncak persiapan, diadakanlah jamuan makan malam di kediaman Haji Wasid pada 12 Syakban atau 22 April 1888. Setidaknya ada sekitar 300 jemaat menjubeli masjid, tempat tarekat menyatakan sumpah. Pertama, mereka akan ambil bagian dalam perang sabil. Kedua, yang melanggar janji akan dianggap kafir. Ketiga, mengusahakan rencana pemberontakan tidak sampai bocor ke pihak luar.
Laporan Bupati Serang, tanpa tanggal, dalam Exh. 24 Juli 1889, No. 77 menyatakan, mereka yang bersumpah wajib menandatangani pengukuhan secara tertulis.
Namun, terjadi sedikit perselisihan terkait penentuan tanggal pemberontakan. Kendati mufakat pertemuan 15 Juni 1888 telah menyatakan bahwa tanggal 9 Juli atau hari ke-29 Syawal adalah keputusan yang ditetapkan, Haji Marjuki merasa keberatan. Dia menolak penetapan tanggal tersebut karena menganggapnya “terlalu dini”. Walhasil, dia mundur dan memutuskan keluar dari pemberontakan, meninggalkan Banten untuk kembali ke Mekah sebelum pemberontakan pecah.
Meletus sampai Menyusut
1. Serangan Pertama
Sebelum melancarkan serangan, para pemberontak membuat peta serangan dan daftar sasaran yang hendak digasak. Mereka memperoleh nama beserta tempat tinggal pamong praja dan kolonial Cilegon dari salinan Javansche Almanak (1888: 18).Dalam daftar target utama serangan itu itu termuat nama-nama pejabat, seperti Asisten Residen (AR) J. H. H. Gubbels, Patih Raden Penna, Jaksa Mas Sastradiwirja, Wedana Raden Cakraningrat, Ajun Kolektor Raden Purwadiningrat, dan Penghulu Haji Tubagus Kusen. Ada juga kontrolir muda C. W. A. van Rinsum, kepala penjualan garam U. Bachet, juru tulis kantor AR H.F. Dumas, serta kepala pemboran J. Grondhout.
Haji Tubagus Ismail memimpin rombongan pasukan menuju tempat tinggal pejabat-pejabat yang ada di kompleks rumah dinas sekitar alun-alun. Pukul 2 dini hari 9 Juli, rumah pertama yang diserang adalah H. F. Dumas. Sambil meneriakkan “sabil Allah!” seketika Dumas yang baru bangun tidur langsung disabet kelewang, tetapi mampu menghindar. Dia menyelinap ke rumah jaksa, sedangkan istrinya lari sembunyi di rumah ajun kolektor. Tetapi babu Minah yang disangka istrinya lantaran menggendong anak Dumas menjadi korban pembacokan.
Lepas itu, para pemberontak segera menyabotase lalu lintas dan jalan raya. Akses menuju Serang dan Anyer dihalang rintang kawat telegraf. Gardu pos dan pasar diduduki. Pejabat pemerintah di Cilegon terkurung.
2. Serangan Umum
Tidak kurang dari 1.700 orang mengenakan pakaian serba putih sambil menenteng kelewang. Mereka berkumpul di Pasar Jombang Wetan sambil terus memekik, “sabil Allah!” Di antaranya ada Haji Tubagus Ismail, Haji Usman dari Arjawinangun, serta pemimpin mereka: Haji Wasid.Pecah tak terhindarkan, 9 Juli 1888 menjadi ajang pembantaian berdarah-darah. Dumas tumbang di tangan Haji Tubagus Ismail, setelah persembunyiannya di rumah seorang Cina, Tan Keng Hok, terbongkar.
Di lokasi lain, pemberontak yang mengepung rumah AR Gubbels terkecoh. Dia tak ada di sana karena telah kabur ke Afdeling Anyer. Hanya ada dua babu, seorang jongos, istri tukang masak, istri penjaga kandang kuda, juga dua anak perempuan Gubbels, Elly dan Dora. Saat ketahuan, kedua anak Gubbels dicincang tanpa ampun. Sementara itu, istri tukang masak dibebaskan lantaran bersedia bersaksi sebagai muslim dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Gubbels yang tahu bahwa anak-anaknya dibunuh menyatakan kesudiannya untuk mati. Tanpa ragu-ragu, dia putar balik menuju rumahnya di Cilegon, dengan amarah menggebu-gebu membulatkan tekad misi bunuh diri. Ia datang tanpa persiapan dan pengawalan, hanya bersama kusir dan tak menyanggul senjata.
Persis setengah tiga sore, sejumlah pemberontak pimpinan Rapenye, jaro Ciora, menyergap Gubbels di rumahnya. Ia pun dibunuh dan mayatnya diseret ke luar rumah, disambut pekik kemenangan gemuruh. Adapun Asisten Residen, yang dianggap sebagai alat utama pemerintah kolonial, sudah mati.
Di serangan umum ini, hampir semua pejabat pemerintah lari tunggang langgang. Rumah-rumah mereka dijarah, keluarganya ditangkap, dan dipaksa untuk bersumpah serta menyatakan diri masuk Islam. Menurut kesaksian Opas Wedana Mian, jika bersungguh-sungguh bertauhid, Haji Wasid bersedia membebaskan mereka secara cuma-cuma. Saat periode genting itu, Haji Wasid adalah puncak otoritas tertinggi, dinobatkan sebagai “raja”, penentu keputusan soal hidup dan mati.
3. Ekspedisi Militer Menumpas Pemberontakan
Setelah Cilegon diduduki dan dijarah hanya dalam hitungan jam, konvoi pemberontak bergerak dari markas Pasar Jombang Wetan menuju Serang. Petang hari itu juga, Haji Wasid berencana merebut ibukota karesidenan dan membantai seluruh pamong praja tanpa pandang bulu, pribumi maupun Eropa.Di kubu sebaliknya, pemerintah kolonial menyadari bahwa pemberontakan ini bukan sekadar perampokan dan penjarahan, melainkan anarkisme. Mereka pun mengerahkan sepasukan tentara berbekal 28 senjata api menuju Cilegon. Berangkatlah ke sana Bupati dan Kontrolir Serang, bersama Letnan van der Star, sang komandan pasukan.
Konvoi keduanya bertumbuk di Toyomerto. Puluhan konvoi bupati berhadapan dengan sekitar 200-300-an pemberontak yang menutup jalan. Namun, konvoi itu menenteng senjata api, yang sudah cukup menewaskan sembilan orang dan beberapa lainnya mengalami luka-luka. Hal itu terjadi karena peringatan Letnan van der Star tak diindahkan, hanya dibalas teriakan “sabil Allah!” yang berapi-api.
Insiden tersebut cukup memukul mental para pemberontak. Mereka tak menyangka harus berhadapan dengan senapan repetir jenis baru, bukan lagi senapan achterladar yang sempat digunakan oleh tentara saat Pemberontakan Wakhia 1850. Moril pemberontak merosot, bercampur kekecewaan, dan menilai pertempuran di Toyomerto sebagai serangan balik yang ampuh. Banyak dari mereka memilih bedol dan minggat meninggalkan medan pertempuran.
Melihat celah ini, konvoi yang telah tiba di Cilegon segera mengutus detasemen militer dengan tujuan menangkap pimpinan pemberontak yang melarikan diri. Pasukan pimpinan Kapten de Brauw bergerak menyisir hampir seluruh desa di Cilegon. Namun, hampir di seluruh distrik, napak tilas para pemimpin pemberontakan raib.
Saking pusingnya menyisir tanpa hasil selama sepekan, Bupati Serang dalam pidatonya menandaskan kepada seluruh rakyat Banten untuk membantu pemerintah mengejar dan menangkap pemimpin mereka. Pemerintah bahkan menawarkan hadiah sebesar 500 gulden kepada siapa pun yang dapat menyerahkan Haji Wasid, Haji Tubagus Ismail, dan tokoh terkemuka lainnya, dalam keadaan hidup atau mati. Akan tetapi, rakyat yang mendengar pidato itu hanya serentak menjawab inggih, tanpa menunjukkan sikap bersungguh-sungguh.
Nyatanya, para pimpinan pemberontakan telah meninggalkan Cilegon. Haji Wasid menyingkir ke utara, berpindah-pindah ke rumah-rumah simpatisan, ke hutan-hutan, hanya dibersamai beberapa pemberontak yang masih loyal terhadap jihad ini.
Pasukan-pasukan yang tercerai-berai menemui ajalnya masing-masing. Hampir-hampir tak ada perlawanan berarti. Masing-masing ditangkapi, sedangkan yang melawan bisa dipastikan terbunuh di tempat.
Riwayat pemberontak berakhir ketika kampanye militer makin galak. Pemerintah mengirim ekspedisi pimpinan Kapten Veenhuyzen menuju Citeureup, tempat yang disinyalisasi sebagai gembong terakhir pemberontak. Sempat terjadi baku tembak antara lima orang bersenjata kelewang dan para tentara. Mereka nekat berjuang sampai akhir, tetapi toh musnah jua semua. Di pasukan pemerintah, jatuh beberapa korban, termasuk empat orang luka-luka, dan salah satunya cukup parah.
Esok paginya, tanggal 30 Juli, beberapa tentara yang menyisir daerah Sumur membawa 11 mayat. Di antaranya teridentifikasi sebagai Haji Wasid, Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani, dan Haji Usman. Pemberontakan itu pun nyaris sirna, dan hanya menyisakan beberapa perkumpulan yang memilih mengalienasikan diri.
Proto-nasionalisme dan Historiografi Indonesia-sentris
Seperti kebanyakan gerakan pemberontakan di Jawa pada periode itu, kekuatan yang disusun untuk menentang dominasi kolonial disebut Sartono sebagai “gerakan proto-nasionalis”. Gerakan ini adalah miniatur perlawanan klasik, jauh sebelum perjuangan mencapai kemerdekaan nasional. Pemberontakan Petani di Banten 1888 hanyalah secuil dari rentetan pemberontakan lain yang sifatnya kedaerahan.
Akan tetapi, sudah tentu perjuangan yang sifatnya kedaerahan memiliki integrasi peran yang masih sangat subjektif. Karakteristiknya belum dapat bersanding dengan gerakan-gerakan nasionalis modern macam Budi Utomo. Selain itu, tidak terlihat pula adanya organisasi, taktik, dan strategi modern, dalam gerakan-gerakan sosial abad ke-19. Oleh karena itu, Pemberontakan Petani di Banten 1888 pada pokoknya hanya diidentifikasikan sebagai gerakan tradisional, keagamaan, dan milenari.
Kendati begitu, disertasi yang ditulis Sartono Kartodirdjo mampu menjembatani penelitian dalam kacamata bumiputra, rakyat dan petani, dan bukan pembesar atau kolonial.
“Kita harus meninggalkan pendekatan historiografi kolonial, yang mengikuti kecenderungan umum studi sejarah konvensional dengan hanya menyerap fakta-fakta mengenai peristiwa-peristiwa dan episode-episode politik yang besar. Kita harus menembus sampai ke tingkat faktor-faktor yang mengondisikan peristiwa-peristiwa itu,” tulis Sartono dalam disertasinya.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































