tirto.id - Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memang sudah disahkan pada 5 Desember 2023. Namun, pasal-pasal karet yang ada di dalamnya masih saja dipakai untuk menjerat lawan politik jelang Pilpres 2024.
Salah satunya dapat dilihat dalam kasus Co-Captain Timnas Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Thomas Lembong. Eks menteri perdagangan ini diancam akan dilaporkan ke polisi oleh pengacara Advokat Lingkar Nusantara (Advokat Lisan), Hendarsam Marantoko. Tom akan dilaporkan ke polisi terkait unggahan story di akun @tomlembong.
Hendarsam menyampaikan Tom Lembong diduga membagikan unggahan terkait kutipan Pasal 299 ayat (1) Undang-Undang Pemilu 2017 yang saat ini masing disidang di Mahkamah Konstitusi.
“Pasal 299 ayat (1) menjadi berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye sepanjang tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pasangan calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/…”
Hendarsam menyebut Tom sengaja mengunggah pasal yang belum disahkan tersebut untuk menebar hoaks dan menjadi sanggahan atas pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyatakan presiden boleh kampanye.
“Bunyinya kurang lebih meng-counter presiden boleh kampanye, sepanjang tidak punya hubungan sedarah semarga dengan paslon. Artinya dia meng-counter dengan pasal palsu,” kata Hendarsam saat dihubungi Tirto, Selasa (30/1/2024).
Saat ini dia sudah mengadukan kasus tersebut ke Bawaslu. Ia menuntut agar Tom mau meminta maaf ke publik karena unggahan mantan Kepala BKPM itu sudah menjadi perbincangan dunia maya. Namun, Hendarsam mengaku akan melapor ke polisi jika Tom tidak meminta maaf dalam jangka waktu dua hari ke depan.
“Ada wacana kami akan melaporkan ke Bareskrim soal penyebaran berita palsu atau bohong dengan menggunakan Undang-Undang ITE," kata dia.
Tom Lembong enggan menjawab soal ancaman pelaporan itu. Ia menyerahkan masalah pelaporan tersebut ditangani oleh pihak tim hukum. Namun, ia memastikan akan patuh proses hukum.
“Jadi nanti tolong kami minta kepada tim hukum, apakah ada perkara atau ada subtansi dan tentunya kami selalu akan menghormati proses hukum yang valid dan transparan dan sesuai peraturan yang berlaku ya,” kata Tom di acara CPI 2023 di Jakarta, Selasa (30/1/2024).
Pelaporan Polisi Menyasar Simpatisan hingga Timses
Kasus yang dialami Tom Lembong hanya satu dari beragam kejadian pelaporan di tengah memanasnya gelaran Pilpres 2024. Dalam catatan Tirto, tidak sedikit pendukung, simpatisan hingga tim sukses yang dilaporkan ke polisi.
Misalnya pelaporan terhadap Palti Hutabarat, relawan Ganjar-Mahfud. Palti ditangkap oleh Ditsiber Polri karena mengunggah rekaman suara mengenai arahan upaya aparat memenangkan Prabowo-Gibran. Konten tersebut diungah Palti lewat akun instagram @paltiwest pada 13 Januari 2024.
Unggahan tersebut, dalam caption tertulis "Wuih main kali bah..". Kemudian, dalam rekaman tersebut memperlihatkan gambar Kajari Batu Bara, Kapolres Batu Bara, Bupati, dan unsur Forkopimda lainnya tengah berkumpul.
Dari rekaman suara tersebut terdengar pengarahan Forkopimda Batu Bara untuk memenangkan Prabowo-Gibran dan akan dikeluarkan "pelurunya" sebelum hari pencoblosan. Dibahas juga mengenai pembagian anggaran untuk memenangkan paslon nomor dua itu.
Selain Palti, Juru Bicara TPN Ganjar-Mahfud, Aiman Witjaksono, juga dilaporkan ke polisi. Aiman dilaporkan karena pernyataan Polri tidak netral. Saat ini, proses hukum terhadap Aiman masih berjalan dengan posisi perkara sudah naik ke penyidikan.
Terkini, seniman Butet Kertaredjasa juga dilaporkan oleh Projo Yogyakarta ke polisi karena disebut menghina Jokowi. Sebelumnya, Butet sempat diduga diintimidasi saat menggelar pertunjukan seni di Taman Ismail Marzuki pada awal Desember 2023.
Mengancam Kebebasan Berekspresi
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menilai nuansa kecurangan pemilu sudah terjadi sejak Mahkamah Konstitusi membuka peluang anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming untuk maju pilpres. Situasi kecurangan semakin mengental setelah Jokowi menyatakan cawe-cawe, penggunaan aparat hingga kinerja Bawaslu dan KPU yang tidak jelas.
“Ini menyempurnakan rekayasa pemilu oleh kekuasaan tertinggi negara di tangan eksekutif, yaitu Presiden Joko Widodo sehingga kasus-kasus yang sifatnya teknis satu-persatu di berbagai macam wilayah itu harus dipandang sebagai kasus-kasus yang sistemik, sesuai dengan urutan persoalan yang fundamental tadi,” kata Julius, Rabu (31/1/2024).
Julius juga menilai, upaya pelaporan ke polisi yang dilakukan kubu yang berafiliasi dengan pasangan Prabowo-Gibran juga disebut sebagai upaya dugaan pembungkaman berekspresi. “Kelompok-kelompok kritis yang berada di luar kelompok paslon dan kelompok politik juga sama mengalami pembungkaman bahkan hingga masyarakat akar rumput yang berbeda pendapat, berekspresi lalu juga dikriminalisasi,” kata Julius.
Julius menambahkan, “Ini juga bagian dari kasus-kasus teknis yang sebetulnya berada di dalam runutan-runutan kecurangan secara struktural yang dilakukan oleh kekuasaan tertinggi di bawah pemerintahan Jokowi.”
Julius menyebut, fenomena kali ini berbeda dengan kejadian sebelumnya. Akan tetapi, segala fragmen kejadian pembungkaman yang terjadi saat ini sudah menjadi gambaran utuh bahwa pemilu berpotensi diisi kecurangan.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur, juga menilai bahwa rangkaian kejadian mulai pelarangan ekspresi relawan, kasus Tom Lembong dan Aiman sebagai bentuk pemerintahan Jokowi yang bergerak ke arah otoriter.
“Ini merupakan gejala yang terjadi dan terus mengkhawatirkan, meningkat di zaman pemerintahan Joko Widodo. Ini juga yang menyebabkan indeks demokrasi di Indonesia terus menurun. YLBHI mencatat bahwa pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan yang bergerak menuju otoritarian,” kata Isnur kepada reporter Tirto.
Isnur juga menilai, Jokowi semakin berpihak dan menimbulkan rasa ketidakadilan di pemilu. “Menuju Pemilu Presiden justru semakin menunjukkan keberpihakan dan ketidaknetralan. Ini akan memicu rasa ketidakadilan dari warga negara dan peserta pemilu,” kata Isnur.
Wakil Ketua Advokasi dan Jaringan YLBHI, Arif Maulana, menegaskan upaya pemerintahan Jokowi membungkam ekspresi semakin mengkhawatirkan. Ia menilai, tidak sedikit pelaporan seperti dugaan menebar hoaks, fitnah, pencemaran nama baik hingga kriminalisasi menyasar pada publik, terutama aktivis dan oposisi.
Ia mencontohkan kasus dua eks Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Kini, kejadian serupa juga dialami di masa Pemilu 2024.
“Sekarang di pemilu ini pola-pola pembungkaman suara-suara berbeda, suara-suara kritis masyarakat juga digunakan pola kriminalisasi ini kepada masyarakat yang kemudian punya pilihan berbeda dari pemerintah, dari negara. Saya melihat ini tidak lepas dari pilihan Presiden Jokowi yang menunjukkan keberpihakannya," kata Arif.
Arif mencontohkan sejumlah bentuk keberpihakan Jokowi lewat sikap politiknya. Ia melihat dari Jokowi yang berkampanye dengan tidak cuti, menunjukkan keberpihakan yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan negara hukum, dan dugaan upaya penyalahgunaan wewenang.
“Kalau itu kemudian dibiarkan, ya itu akan berdampak pada posisi dia sebagai kepala negara, kepala pemerintahan yang membawahi institusi penegakan hukum, yang bertanggung jawab terhadap proses pemilu. Itu bisa jadi mereka juga tidak netral,” kata Arif.
Arif mengambil contoh kasus pelarangan ekspresi relawan Ganjar. Hal itu bisa dikategorikan sebagai upaya melanggar kebebasan berekspresi publik. Ia juga meminta agar cara-cara orde baru yang mengkooptasi pemilu dengan pendekatan intimidasi dan semacamnya tidak digunakan di Pemilu 2024.
Ia mendorong agar aparat tetap bertugas netral, independen, dan lepas konflik kepentingan. Ia justru khawatir, upaya represif tidak lepas dari motif kepentingan tertentu.
“Kalau sekadar masyarakat kemudian menyampaikan pendapat, menyampaikan sikap, ya tidak perlu dilakukan tindakan-tindakan kekerasan,” kata dia.
Arif menilai, Jokowi harus kembali mematuhi aturan sebagai presiden. Ia harus netral dan memastikan pemilu berjalan jujur dan adil. Ia mengingatkan, ketidaknetralan dan penyalahgunaan wewenang akan mempengaruhi citra netralitas pemerintahan, merusak pemilu dan demokrasi Indonesia. Ia juga mendorong DPR dan partai politik untuk melakukan koreksi sikap Jokowi.
“DPR, wakil-wakil partai politik yang hari ini juga berkontestasi di dalam Pemilu 2024, itu harus koreksi Jokowi. Lakukan kewenangan kalian untuk melakukan interpelasi hak angket bahkan kemudian hak berpendapat terkait sikap Jokowi ini bahkan kalau memang terbukti, ya jangan segan-segan makzulkan Jokowi,” kata Arif.
Arif juga meminta agar Bawaslu berani bertindak. Bawaslu harus memastikan pemilu berjalan independen dan tidak ada kecurangan maupun penyalahgunaan wewenang.
Di sisi lain, peneliti ELSAM, Parasurama Pamungkas, menilai gejala kebebasan berekspresi di masa pemilu memicu kekhawatiran karena menimbulkan penyalahgunaan pasal bermasalah di UU ITE maupun KUHP yang sudah direvisi. Ia melihat dari beberapa, salah satunya kasus Aiman.
“Beberapa kasus menunjukkan ketidakpahaman penyidik bahwa UU ITE sudah direvisi dan terdapat beberapa safe guard bagi masyarakat sipil yang harus diperhatikan betul oleh kepolisian," kata Parasurama, Kamis (1/2/2024).
Parasurama menilai, kasus Tom Lembong dan relawan Ganjar di Gunungkidul juga sebagai upaya pelanggaran berekspresi. Ia mengingatkan, ekspresi politik apa pun pada dasarnya legitimate dan warga berhak atas perlindungan, termasuk dari persekusi aparat.
“Ada upaya yang bisa kita simak pola umumnya, bagaimana beberapa pihak menakut-nakuti kubu tertentu menggunakan laporan-laporan tidak jelas hingga bagaimana aparat menggunakan pasal-pasal bermasalah," kata Parasurama.
Parasurama menilai, solusi masalah ini adalah pemerintah bersikap netral. Kini, pemerintah akan diuji sejauh mana netralitasnya dalam pemilu. Ia berharap pemerintah bisa kembali ke jalan demokrasi karena selama ini sudah terlihat unsur upaya kecurangan sistematis.
“Netralitas pemerintah akan penting untuk menguji dugaan-dugaan soal pelanggaran yang terstruktur, masif, dan sistematis nanti di Mahkamah Konstitusi, sebelum terlambat, pemerintah harus dan segera kembali ke jalan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi untuk memastikan perangkat-perangkatnya, termasuk aparat penegak hukum tidak berada pada kepentingan politik manapun,” kata Parasurama.
Respons Istana Negara
Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, memastikan bahwa presiden tetap terbuka dalam penyampaian ekspresi. Ia mencontohkan, kasus Gunungkidul sudah dijelaskan sebagaimana para Paspampres maupun Kodim atau Korem setempat soal pengamanan presiden.
Ari menekankan, Jokowi terbuka dalam menerima keluhan dan tetap berinteraksi dengan rakyat selama kunjungan kerja. Ari menegaskan Jokowi tetap terbuka meski ada teriakan paslon.
“Intinya prinsip dasarnya tadi. Presiden terbuka terhadap interaksi, menyapa masyarakat. Dan bahkan ini juga menarik ada setingan juga sengaja ketika kunker presiden kiri kanannya, kan, ada juga materi paslon, presiden enggak terganggu,” kata Ari di Gedung Setneg, Jakarta Pusat, Rabu (31/1/2024).
Ari menambahkan, “Jadi sama sekali ini bagian dari apa namanya, cara presiden berinteraksi dengan masyarakat secara terbuka. Walaupun ada teriakan paslon atau upaya untuk memobilisasi di pinggir jalan, meneriakkan paslon dengan setingan tertentu, saya kira presiden sama sekali tidak terganggu.”
Dalam kasus Butet, Jokowi tidak akan mengintervensi karena hal itu adalah wewenang pelapor. Jokowi akan mengikuti proses hukum yang berjalan.
Ari juga meminta agar publik tidak sembarangan menuduh pemerintah melakukan intimidasi atau anti-demokrasi kepada presiden. Ia menilai biar proses hukum yang menilai.
“Kita harus buktikan ada fakta intimidasi atau tidak. Itu bagian dari proses hukum, kan? Intimidasi apakah betul ada intimidasi atau tidak. Ini, kan, klaim ada terjadi intimidasi. Tapi kita tidak akan pernah bisa membuktikan intimidasi terjadi kalau enggak ada proses hukum,” kata Ari.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz