Menuju konten utama

Gaji Kecil & Biaya Politik Bukan Pembenar Kepala Daerah Korupsi

Mayoritas pejabat yang korupsi justru didasari bukan karena kebutuhan sehari-hari, tapi karena perilaku rakus yang ada pada diri mereka.

Gaji Kecil & Biaya Politik Bukan Pembenar Kepala Daerah Korupsi
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (ketiga kanan) berbincang dengan sejumlah kepala daerah saat pembukaan Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda 2023 di SICC, Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (17/1/2023). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/hp.

tirto.id - Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, agaknya perlu membuka kembali daftar ratusan nama-nama kepala daerah di negeri ini yang pernah terjerat tindak pidana korupsi. Barangkali, dengan begitu dia bisa bicara lebih tegas di hadapan anak buahnya, para pimpinan pemerintah daerah (pemda), agar tak tergoda menilap duit negara.

Pasalnya, yang terjadi baru-baru ini Mendagri Tito seakan mewajarkan perilaku koruptif di lingkup pemda. Dalam gelaran rapat kerja Nasional XVI Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Tahun 2024 di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (10/7/2024), Tito menyampaikan di hadapan ratusan kepala daerah bahwa tidak akan terjadi korupsi di pemda jika kesejahteraan mereka cukup.

“Sebenarnya kita enggak ada yang mau korupsi kalau kesejahteraan cukup. Itu pendapat saya,” kata Tito yang disambut riuh sorak sorai kepala daerah.

Tito juga memandang, korupsi di level pemda terjadi karena biaya politik yang tinggi. Maka menurut dia, kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) misalnya, tidak bisa disalahkan sepenuhnya.

“Seperti apa? Mari dipikirkan ramai-ramai soal itu, kalau selagi biaya politiknya tinggi, sudahlah. Dia akan mengembalikan biaya politiknya segala macam. Memaksa mereka, sistem yang membuatnya menjadi koruptor,” jelas Tito.

Ia menegaskan, kesejahteraan pejabat akan mengurangi budaya korupsi. Meski demikian, Tito mengakui korupsi tidak sepenuhnya bisa hilang jika masyarakat dan pejabat sudah sejahtera.

“Menekan korupsi, kita harus tingkatkan kesejahteraan. Tapi, kalau sudah sejahtera bukan berarti itu [korupsi] hilang, tapi kalau yang pasti kalau sudah tidak sejahtera dia terdesak, dia pasti masih korupsi,” terang Tito.

RAKER KEMENDAGRI DENGAN KOMISI II DPR

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (tengah) mengikuti rapat kerja tentang penyelesaian segmen batas daerah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia dengan Komisi II di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (21/11/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.

Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, memandang, pernyataan Tito soal korupsi di level pemda disebabkan faktor kesejahteraan tampak kurang tepat. Tito seolah-olah menyederhanakan masalah korupsi yang berulang menjerat para pimpinan di daerah sebatas urusan gaji dan insentif.

“Kita tahu dari hampir 200-an kepala daerah yang ditangkap KPK dari 2004 hingga saat ini, gaji para pejabat ini pun lebih dari cukup,” ujar Alvin kepada reporter Tirto, Kamis (11/7/2024).

Alvin memandang gaji yang dikantongi kepala daerah sudah pasti lebih dari cukup. Belum tambahan insentif bulanan yang mereka terima karena menjabat sebagai bupati/walikota dan gubernur.

Namun, tetap saja kepala daerah terus-menerus korupsi. Artinya, kata Alvin, persoalan ini juga menyangkut soal kerakusan dan ekosistem pengawasan yang tak memadai di pemda.

“Mendagri lupa bahwa ada persoalan di hulu yang tak tertangani dengan baik hingga saat ini yaitu reformasi politik dan pemilu. Sebagai Mendagri dan juga anggota Tim Nasional Pencegahan Korupsi, seharusnya ada banyak hal yang bisa dia lakukan,” ungkap Alvin.

Alvin tak menampik bahwa biaya politik besar memang membebani calon kepala daerah dalam kontestasi pilkada langsung. Mendagri, kata dia, bisa mendorong adanya perbaikan sistem politik alih-alih membenarkan perilaku koruptif akibat masalah tersebut.

“Misalnya dengan mendorong akuntabilitas bantuan keuangan partai politik dan mendorong revisi paket UU Politik,” kata Alvin.

Kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri pada 2015 mencatat, biaya untuk pemenangan pilkada memang besar. Untuk mengikuti pemilihan bupati/wali kota, dibutuhkan sekitar Rp20 miliar hingga Rp30 miliar bagi seorang bakal calon. Sementara untuk gubernur, duit yang disiapkan sekitar Rp20 miliar hingga Rp100 miliar. Adapun gaji rata-rata kepala daerah dalam satu periode ditaksir mencapai sekitar Rp5 miliar.

Aktivis antikorupsi sekaligus mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo, menyatakan, kesejahteraan atau gaji pejabat cuma satu faktor untuk mencegah terjadinya korupsi. Hipotesanya, karena sudah tercukupi kebutuhan hidup kepala daerah, maka mereka bisa bisa fokus memikirkan persoalan wilayah yang dipimpinnya.

Yudi menilai, pernyataan Mendagri Tito soal ongkos politik besar bagi calon kepala daerah juga menjadi perhatian para pegiat antikorupsi. Dalam aspek pencegahan, menekan biaya politik dapat menekan potensi korupsi yang dilakukan para pejabat.

“Kepala daerah maju pun harusnya secara sadar ingin melakukan pengabdian bukan ingin melakukan perampokan, bukan ingin korupsi, atas potensi keuangan dan alam daerahnya,” tutur Yudi kepada reporter Tirto, Kamis (11/7/2024).

Menurut dia, ada beragam modus korupsi yang dilakukan para kepala daerah. Biasanya meliputi manipulasi anggaran belanja, menarik pungli atas proyek-proyek di wilayahnya, dan menarik upeti dari para pegawai di bawahnya.

“Seperti pemotongan anggaran yang besarnya tergantung dari dinas/satker masing-masing. Kemudian perizinan perizinan seperti pembangunan dan tambang. Kemudian memanfaatkan kewenangan sebagai kepala daerah untuk melakukan perlindungan pada orang lain,” jelas Yudi.

Di sisi lain, ada juga modus jual beli jabatan di level sekda hingga kepala dinas. Beberapa cara bisa dilakukan untuk mencegah korupsi di level pemda. Misalnya membangun sistem yang membatasi celah korupsi anggaran dalam suatu pengadaan.

“Supaya mereka tidak bisa korupsi [dibuat] seperti e-budgeting dan e-procurement. Tapi sistem jika diperbaiki, tapi orangnya tidak berintegritas tetap akan diakali. Terkahir, efek jera dengan penindakan,” ungkap Yudi.

Menurut catatan KPK, sejak 2004 hingga 2023, terdapat 601 kasus korupsi terjadi pada di pemerintah kabupaten/kota yang melibatkan wali kota, bupati dan jajarannya. Indonesia Corruption Watch (ICW) turut mencatat pada 2021-2023, sedikitnya terjadi korupsi yang melibatkan 61 kepala daerah. Jumlah ini tentu bisa lebih besar jika menambahkan catatan polisi dan kejaksaan.

Konpers KPK Penahanan Bupati Sidoarjo

Konferensi pers KPK terkait penahanan Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali, Selasa (7/5/24). (Tirto.id/Ayu Mumpuni)

Bukan Pembenaran

Ketua Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, justru menyayangkan pernyataan Mendagri Tito yang menyebut kepala daerah jangan disalahkan jika korupsi akibat sistem politik yang mahal. Menurut Orin, pernyataan itu tidak sepantasnya dilontarkan oleh pejabat selevel menteri di hadapan anak buahnya.

“Pernyataan itu keliru dan sangat disayangkan kenapa keluar pernyataan seperti itu. Jelas berbeda gaji kepala daerah kala dibandingkan dengan angka kemiskinan di Indonesia wah jauh sekali,” kata Orin kepada reporter Tirto.

Orin menjelaskan, ada grand corruption yakni korupsi skala besar yang biasanya dilakukan pemangku jabatan. Mayoritas pejabat yang korupsi justru didasari bukan karena kebutuhan sehari-hari, tapi karena perilaku rakus yang ada pada diri mereka.

“Motif korupsi ini bukan karena kebutuhan ekonomi ya tapi karena faktor keserakahan yang dibentuk oleh sistem. Menurut saya biaya politik tinggi tidak menjadi pembenaran perilaku koruptif,” ujar Orin.

Jabatan bupati/wali kota memang masuk dalam lima profesi terbanyak yang dilakoni pelaku korupsi tahun 2023. Profesi kepala daerah ada di urutan ketiga dengan 8 kasus, di bawah pihak swasta (57 kasus) dan pejabat eselon (61 kasus).

“Orang yang punya jabatan strategis di level menteri sangat disayangkan pernyataaan macam itu keluar. Harusnya mencari solusi atau memberikan pernyataan tegak lurus pada antikorupsi ini malah terkesan membenarkan,” kata Orin.

Orin mendorong pemerintah lebih banyak melakukan kajian dan perhatian terhadap sistem elektoral. Bukan mencari-cari alasan dan pembenaran sebagai faktor penyebab korupsi.

“Pemerintah pusat sendiri seharusnya menjadi teladan itu, termasuk dalam penegakan hukum. Harus equal dan tidak boleh tumpul penegakan hukumnya,” tegas dia.

Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Violla Reininda, menyatakan bahwa remunerasi rendah memang satu faktor yang harus dipikirkan pemerintah agar aparatur sipil negara mendapat upah yang layak. Namun, dalam kondisi apapun bahkan gaji yang dianggap kecil, praktik korupsi tidak boleh dijustifikasi.

“Menjustifikasi korupsi bukanlah logika berpikir negarawan dan melenceng jauh dari cita negara hukum. Problem utamanya bisa jadi karena tabiat defisit integritas, tidak akuntabel, dan mental maling,” jelas Vio kepada reporter Tirto, Kamis.

Biaya politik tinggi dan transaksional yang menjadi dorongan untuk korupsi supaya balik modal juga jangan dianggap lumrah. Dua hal bisa diupayakan: reformasi besar-besaran di partai politik lewat demokratisasi, peningkatan akuntabilitas, dan kaderisasi.

Selain itu, kata dia, penegakan hukum harus tegas, berintegritas, dan akuntabel agar memberikan pesan bahwa tindakan koruptif tidak mendapat tempat dan tidak sepatutnya ditoleransi.

“Namun problemnya saat ini, instansi penegak hukum Tipikor pun lemah integritas dan akuntabilitasnya. Seperti di KPK, pucuk pimpinannya yang ternyata merusak,” keluh Vio.

Baca juga artikel terkait KASUS KORUPSI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz