tirto.id - Jauh sebelum Greta Thunberg mengarungi samudra menumpang kapal Madleen untuk memberikan bantuan kepada penduduk Gaza, pendahulunya yang masyhur telah mengusahakan dukungan serupa. Dialah Folke Bernadotte, diplomat ulung yang beken sebagai mediator konflik setelah Perang Dunia II.
Greta dan Bernadotte berasal dari Swedia. Keduanya juga selaras dalam berjuang demi keadilan Palestina untuk lepas dari belenggu Zionis Israel.
Greta Thunberg muda bertepuk mesra dengan Palestina setelah poster kampanye "Stand With Gaza" pada Oktober 2023 disambut positif warganet. Di umurnya yang baru kepala dua, Greta sudah berani mengambil risiko. Dia mendukung keadilan untuk Palestina, sekaligus menolak seluruh kekerasan perang, termasuk menyandera sipil yang dilakukan Hamas.
Sedangkan Bernadotte mengusahakan dukungan kepada Palestina lewat diplomasi PBB. Sejarah mencatat, dia adalah mediator resmi PBB pertama dalam sejarah.
Mengembara sebagai Mediator Israel-Palestina
Folke Bernadotte (2 Januari 1895-17 September 1948) merupakan keturunan Jean-Bernadotte (Karl XIV Johan, Raja Swedia dan Norwegia 1818-1844). Sebagai ningrat, dia dipanggil Count af Wisborg. Karier politik internasionalnya dimulai pada 1933 ketika Swedia mengirimnya sebagai delegasi pada ajang Chicago Century of Progress Exposition. Lalu menjadi komisaris umum Swedia pada New York World’s Fair antara tahun 1939-1940.
Salah satu karier yang melejitkan nama Bernadotte adalah kepemimpinannya dalam International Red Cross Committe. Organisasi itu memainkan peran penting dalam misi "White Buses Operation" yang berhasil membebaskan 31.000 tawanan perang Nazi di kamp konsentrasi Jerman selama Perang Dunia II. Atas nama Swedia, Bernadotte yang bernegosiasi sukses menyelamatkan 423 orang Yahudi Denmark dari kamp konsentrasi Theresienstadt pada 14 April 1945.
Berkat pengalamannya sebagai negosiator konflik, warsa 20 Mei 1948, sebuah telegram bertanda tangan Sekretaris Jenderal PBB, Trygve Lie, mendarat di meja kerja Bernadotte. Berisi beberapa ajuan dan pertanyaan, tetapi yang paling mencolok adalah permohonan mengemban misi sebagai mediator PBB, khususnya kesanggupan mengawal konflik Israel-Palestina.
Hanya berselang 10 hari sejak kelima negara Dewan Keamanan PBB menahbiskan dirinya sebagai mediator, dia memprakarsai konferensi yang melibatkan para pemimpin antarnegara Timur Tengah. Waktu itu, Arab dan Yahudi adalah dua kubu berebut Palestina. Terlebih setelah resolusi partisi PBB pada 29 November 1947, Israel pra-negara mewacanakan sebagian tanah di Palestina. Itulah yang mendasari Zionis memproklamasikan kemerdekaan pada 14 Mei 1948.
Konferensi itu dihadiri delegasi Liga Arab dari Mesir, Yordania, dan Yahudi di Palestina. Dua minggu kemudian, gencatan senjata selama sebulan diumumkan, terhitung sejak 11 Juni 1948.
Meski begitu, agaknya bagi Bernadotte, hasil konferensi itu dirasa "kurang menguntungkan". Setelah dia berkunjung ke Kairo, Beirut, Amman, dan Tel Aviv dalam misi mediasi, dia sampai kepada kesimpulan bahwa resolusi partisi PBB justru semakin menambah kesenjangan diplomatik.
Karena itu kepada Dewan Keamanan PBB, Bernadotte mengajukan proposalnya yang masyhur dikenal sebagai "Bernadotte Plan". Tanggal 28 Juni 1948, saat gencatan senjata masih berlangsung, Bernadotte membikin proposal konsep rekonsiliasi di antara Liga Arab dan Yahudi yang saling berseteru.
Dalam proposal itu, alih-alih mendorong Yahudi Israel mengokohkan bendera di tanah Palestina, dia justru menyarankan agar Arab dan Yahudi mendirikan "persatuan" antara Transyordania (kini Yordania) dan Palestina Mandatori Inggris, beroperasi dengan daerah-daerah tertentu yang dialokasikan untuk Yahudi atau Palestina.
Bunyi proposalnya menyatakan, wilayah di Transyordania, Haifa, dan Bandara Lydda (kini Bandara Ben-Gurion) harus ditetapkan sebagai zona bebas. Sebagai kompensasi, Yahudi Israel akan menerima Galilea dengan hak istimewa imigrasi tak terbatas selama dua tahun. Selama itu, PBB akan mengatur 250.000-300.000 imigran Arab yang berada di wilayah itu untuk dideportasi ke negaranya. Sedangkan Palestina akan berhak atas Gurun Naqab (Negev), yang sebelumnya sama-sama tercatut sebagai administrasi Israel dan Yerusalem. Lalu Yerusalem, ibu kota Palestina akan diambil alih PBB sebagai kota internasional.
Bernadotte Plan jika ditinjau lebih kompleks, tepat disebut rekonsiliasi. Sebab bagaimanapun juga isinya, Israel akan tetap diakui dan di saat yang bersamaan dengan tegas mendukung hak Palestina kembali menduduki negaranya.
Bernadotte tak kuasa melihat anak-anak Palestina didepak dari tanahnya. Kekayaan properti mereka setelah Nakba harus beroleh izin kembali. Sementara mereka yang tidak kembali, katanya, harus pulang, dimukimkan ulang atau diberi kompensasi finansial sebagai korban perang.
Di sela-sela komitmennya sebagai mediator, Bernadotte juga menyempatkan misi kemanusiannya dengan terus mengusahakan kebebasan bagi pengungsi Palestina. Dia menginisiasi United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNWRA).
"Akan menjadi pelanggaran terhadap prinsip keadilan dasar jika para korban konflik yang tidak bersalah ini ditolak hak untuk kembali ke rumah mereka, sementara imigran Yahudi mengalir ke Palestina, dan memang, setidaknya menawarkan ancaman penggantian permanen para pengungsi Arab yang telah berakar di tanah itu selama berabad-abad,” sebagaimana dinukil dari proposalnya.
Kemarahan Liga Arab dan Zionis Israel
Rupa desas-desus Bernadotte Plan—ketika urung diserahkan ke Majelis Umum PBB—sudah mendapat sambutan cukup buruk di hampir seluruh pihak, kecuali Transyordania. Laksana memicu bom waktu, konflik berpotensi terus berkecamuk, terlebih setelah momen berakhirnya gencatan senjata.
Pihak Liga Arab menolak proposal itu dengan beralasan bahwa, "sebagian besar mediator ini adalah mata-mata bagi orang Yahudi," sebagaimana diungkapkan perwira Suriah, Muhammad Nimr al-Khatib.
Pemerintah Israel yang tak terima dan keras kepala, ngotot mencaplok Yerusalem dan bertekad memenangkan invasi militer. Usai gencatan senjata berakhir, pertempuran meletus pada 8 Juli 1948. Serangan militer Israel berhasil memukul mundur pasukan Arab.
Konfrontasi itu membuat PBB turun tangan dan memutuskan gencatan senjata pada 18 Juli 1948. Bedanya, kali ini gencatan senjata dimaklumatkan tanpa batas waktu, disertai ancaman sanksi ekonomi terhadap negara mana pun yang melanggar.
Hampir seluruh militan Zionis di dunia dan kelompok paramiliter khawatir proposal itu disahkan. Organisasi bawah tanah Yahudi yang terseret campur tangan dengan pembunuhan Bernadotte adalah Lohamei Herut Israel (LEHI) atau "Para Pejuang untuk Kebebasan Israel". Organisasi yang berdiri pada 1940 itu sebagian besar beranggotakan mantan pemberontak dan pembangkang Irgun Zvaï Leoumi (IZL). Mereka bertujuan agar zionisme dapat terus memerangi Inggris (Mandatori Palestina) selama Perang Dunia II.
Di Inggris, LEHI lebih familier disebut Geng Stern, sebab didirikan oleh Avraham "Yair" Stern. Karena militansinya, organisasi ini getol melakukan kekerasan dan tak segan membunuh siapa saja demi semboyan kemerdekaan Israel.
Kronik Bernadotte Dibunuh Zionis LEHI
Tanggal 17 September 1948, sehari usai proposal diserahkan ke Majelis Umum PBB, empat teroris LEHI menyergap iring-iringan mobil Bernadotte di lingkungan Katamon, Yerusalem. Enam timah panas menembus dada sang mediator.
Kemudian 18 peluru lainnya melesat ke tubuh Kolonel Andre Serot, seorang perwira militer Prancis yang duduk di sebelahnya. Serot tewas di tempat. Sedangkan Bernadotte sempat dilarikan ke Rumah Sakit Hadassah, tetapi nyawanya tak tertolong.
Tiga pemimpin LEHI harus bertanggung jawab terhadap insiden ini. Mereka adalah Yitzhak Shamir, Dr. Israel Scheib, dan Nathan Friedman-Yellin. Selain dicap sebagai dalang pembunuhan Bernadotte, mereka juga mengatai Bernadotte sebagai antek Nazi selama Perang Dunia II.
Di samping itu, komandan tempur LEHI cabang Yerusalem, Yehoshua Zeitler, memiliki peran signifikan dalam urusan siasat taktis pembunuhan Bernadotte. Dia sempat mengulik informasi pribadi sasarannya lewat perantara dua jurnalis yang dipaksa membocorkan agenda kerja sang mediator.
Yehoshua Zeitler menerima rincian jadwal tugas Bernadotte cukup lengkap. Tanggal 16 September, Bernadotte terbang ke Beirut dan menghabiskan waktu di sana. Esok paginya pukul 9.30, dia naik pesawat PBB Dakota dan terbang selama 45 menit menuju Yerusalem. Tak berlangsung lama setelah tiba di bandara, rombongan mobil lapis baja yang menjemput Bernadotte ditembaki oleh teroris tak dikenal saat hendak menuju Ramallah. Namun penyerangan itu tak menghasilkan korban berarti.
Dalam upaya penyerangan itu, Bernadotte dengan bangga menunjukkan bekas lubang peluru di mobil kepada Moshe Hillman, penghubung militer PBB. Hillman bersaksi bahwa Bernadotte sempat berkelakar dan percaya bahwa bendera PBB yang menancap di mobil konvoi telah menyelamatkan hidupnya.
Namun lantaran upaya penyerangan itu, janji temu Bernadotte dijadwalkan ulang pada pukul 18.30. Selama menunggu waktu, Bernadotte hanya menyibukkan diri di sekeliling zona netral PBB. Di sana, dia mengunjungi Sekolah Pertanian Yerusalem untuk menjemput Kolonel Serot dan mengajaknya bersama-sama menghadiri pertemuan dengan Dov Yusuf, Gubernur Militer Yerusalem di Ramallah.
Tiga mobil konvoi PBB berangkat. Bernadotte duduk di kursi tengah sebelah kanan, sedangkan Serot di sebelah kiri. Mereka hendak ke Ramallah menyerahkan salinan peraturan gencatan senjata kepada gubernur.
Saat iring-iringan konvoi itulah LEHI menyiapkan strategi taktis barunya. Sebuah jip militer milik Israel yang dikemudikan Meshulam Makover membonceng empat teroris LEHI yang menuju Jalan Palmeh, Katamon. Pukul 17.30, konvoi PBB yang melintas di jalan tersebut berhenti setelah mendapati sebuah jip menghalangi jalan mereka.
Sedangkan empat teroris telah turun dari kendaraannya dan membaur di antara penduduk. Mereka berkamuflase dengan menyamar seperti turis. Mengenakan celana pendek warna khaki dengan topi gunung yang menutupi wajah.
Lepas pembunuhan itu, mereka bersembunyi selama beberapa hari di kediaman simpatisan LEHI sebelum kabur ke Tel Aviv dengan menumpang sebuah truk furnitur.
Hukuman yang Tidak Adil
Setelah pembunuhan Bernadotte, apa yang terjadi selanjutnya? Pemerintah Israel baru akhirnya menyatakan LEHI sebagai organisasi teroris, melucuti pasokan senjata yang tersisa, meringkus 200 anggota, serta menghukum bui beberapa pemimpinnya.
Namun upaya itu terasa tak berarti, sebab kecaman apa pun yang diterima LEHI hanya berumur pendek. Pihak berwenang hanya memberikan amnesti umum, alih-alih kejahatan perang sebelum pemilihan umum pertama Israel pada Januari 1949. Bahkan lebih dongkol lagi, tak ada sama sekali anggota atau pemimpin yang didakwa atau dihukum berat.
Mereka memang sempat dipenjara, tetapi dalam waktu yang singkat. Laporan Israel pada Mei 1949 kepada PBB berisi keterangan sangkalan, bahwa pembunuhan Bernadotte diinisiasi oleh kepentingan individu dan bukan mengatasnamakan organisasi tertentu.
Sementara pihak lain seperti profesor Universitas Ibrani, Joseph Heller, dalam "Failure of a Mission: Bernadotte and Palestine, 1948" (1979) berpendapat bahwa pembunuhan Bernadotte hanyalah "martir". Dia menyebut terdapat spekulasi di balik pembunuhan, yakni agar menyulut dukungan dunia untuk Palestina. Namun spekulasi dan konspirasi yang diajukannya sama sekali tak terbukti.
Selama bertahun-tahun kejahatan LEHI ditutup-tutupi, sampai masa udang-undang pembunuhan itu kadaluwarsa pada 1968. Baru pada 1977, tercetus pengakuan publik yang menyebut bahwa pembunuhan Bernadotte oleh LEHI benar-benar direncanakan terstruktur.
Lebih miris lagi, para pemimpin bekas LEHI memperoleh jabatan politik di pemerintahan Israel. Pada tahun-tahun berikutnya, Yitzhak Shamir jadi Perdana Menteri Israel, Nathan Friedman-Yellin menjadi anggota Knesset Israel, dan Yehoshua Cohen—pembunuh Bernadotte—menjadi pengawal Perdana Menteri Israel, David Ben-Gurion.
Tak sampai di situ, Pemerintah Israel malah menghadiahi LEHI dengan pita penghargaan pada 1980. Tak tahu diri, menyebut organisasi ini sebagai inisiator "perjuangan untuk pendirian Israel". Sementara itu dari pihak Swedia, mereka mengutuk keras dan memaksa melakukan penyelidikan atas tewasnya Folke Bernadotte.
Sebagai penghargaan terhadap mediasi Bernadotte, warisannya senantiasa dielukan sebagai sebuah standar diplomasi selama masa konflik Israel-Palestina. Raja Karl XVI Gustav mengenang peringatan 50 tahun pembunuhan Bernadotte dengan meresmikan Patung Count Folke Bernadotte pada 13 Oktober 1998.
Di plakat patung itu tersemat moto seumur hidupnya, "Kami datang ke dunia ini bukan untuk bahagia, tetapi untuk membawa kebahagiaan bagi orang lain."
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi