tirto.id - Svante Thunberg dan Malena Emman, pasangan selebritas Swedia, tidak pernah menyangka bahwa mereka harus mengubah gaya hidup elite sebagai pesohor dan menggantinya dengan cara hidup aktivis lingkungan hidup garis keras.
Empat tahun lalu, puteri sulung mereka, Greta Thunberg, mendadak mogok makan dan mogok bicara karena kecewa usai menonton tayangan dokumenter tentang dampak perubahan iklim. Greta menonton sembari menangis karena tak tega melihat beruang kutub kelaparan. Ia juga marah melihat sampah yang memenuhi lautan dan kesal mendengar dampak pemanasan global. Ia tak habis pikir mengapa manusia tidak melakukan upaya berarti untuk membuat lingkungan hidup jadi lebih baik.
Perempuan yang kini berusia 16 tahun itu menganggap pemerintah masih egois dalam menerapkan berbagai aturan soal perubahan iklim. Baginya, segala kebijakan masih cenderung menguntungkan pihak yang merusak lingkungan hidup.
“Pikiranku selalu dibayangi hal-hal buruk yang kutonton dalam film. Aku nggak seperti teman-teman yang bisa melupakan hal-hal yang terjadi dalam film,” cerita Greta kepada Guardian.
Sepulang dari menonton film itu di kelas, ia memutuskan mencari tahu lebih banyak soal perubahan iklim. Greta membaca data, menyaksikan berbagai tayangan soal perubahan iklim, dan menyimak berbagai aksi yang dilakukan sejumlah individu dan kelompok guna mengatasi masalah tersebut.
Ia menolak pergi ke sekolah dan mengisi hari dengan belajar soal perubahan iklim. Ia menyampaikan seluruh informasi kepada kedua orangtuanya, sambil mendesak mereka untuk mengubah cara hidup.
Di sisi lain, orangtua Greta khawatir melihat perilaku anaknya yang berubah drastis. Mereka pergi ke dokter untuk memeriksa kondisi kesehatan mental dan fisik Greta. Sang puteri divonis mengidap depresi, sindrom asperger atau autisme, gangguan selective mutism--berbicara hanya ketika merasa perlu--, dan gangguan obsesif kompulsif.
“Aku autis. Aku mampu melakukan hal yang sama berkali-kali,” kata Greta.
Greta yang juga sadar tentang berbagai gangguan yang ia derita, tak pernah berhenti bicara soal buruknya penanganan perubahan iklim dan terus menerus bilang bahwa setiap orang perlu bertindak untuk mencegahnya.
“Kami kehabisan kata-kata. Setelah kami amati, kami merasa ia menyampaikan hal yang benar,” tutur Svante.
Kedua orangtua Greta kemudian menuruti ide anaknya. Mereka menjadi vegan, tidak bepergian menggunakan pesawat, dan membeli mobil elektrik yang hanya digunakan untuk keperluan mendesak.
Greta menganggap perubahan sikap orangtuanya sebagai pertanda bahwa ia bisa mempengaruhi massa untuk melakukan tindakan serupa.
Pada Agustus 2018 ia melakukan demonstrasi di depan gedung parlemen Swedia. Setiap Jumat, dengan membawa papan tuntutan untuk menanggulangi perubahan iklim, ia duduk dari pagi hingga sore. Greta bertekad melakukan aksi setiap hari Jumat sampai anggota parlemen Swedia menetapkan aturan baru terkait perubahan iklim.
Aksi demonstrasi Greta jadi sorotan media dan memotivasi remaja di negara lain dalam melakukan hal serupa. BBC melaporkan bahwa pertengahan Maret lalu, 1,6 juta siswa dari 125 negara melakukan hal serupa: demonstrasi menuntut tindakan nyata terkait perubahan iklim.
Di AS ada US Youth Climate Strike yang dibentuk oleh Haven Coleman (13), dan Irsa Hirsi (16) --anak senator AS Ilhan Omar. Komunitas tersebut menggagas Fridays For Future, kampanye yang menuntut pemerintah untuk segera merealisasikan kesepakatan konferensi perubahan iklim di Paris.
Di Belanda ada Lilly Platt (11). Setiap Jumat--atas izin pihak sekolah-- ia berdemo di depan gedung balai kota. Platt juga menggagas kampanye Lilly Plastic Pick Up untuk mengurangi sampah plastik di kawasan tempat tinggalnya.
Lalu di India ada Asheer Kandhari (15), yang menuntut perdana menteri Narendra Modi untuk menetapkan status bahaya perubahan iklim di India.
“Apa gunanya kita belajar tentang kemanusiaan bila manusia tidak bisa lagi hidup pada abad mendatang?” katanya.
Sebagai “pelopor” gerakan demo ini, Greta punya kesempatan untuk bicara dalam forum yang lebih besar. Ia telah menyampaikan idenya di hadapan para peserta sesi Cop 24, konferensi global yang diselenggarakan PBB guna membahas langkah konkret penanggulangan perubahan iklim. Ia juga sempat bicara di World Economic Forum dan forum diskusi TED.
Sosoknya semakin jadi pusat perhatian kala ia bicara di forum pertemuan anggota parlemen Inggris pada April lalu.
“Anda membohongi kami dan memberi kami harapan palsu soal masa depan yang layak dinanti. Sebagian besar anak-anak bahkan tidak menyadari masa depan seperti apa yang akan mereka hadapi,” kata Greta pedas.
Greta tidak segan berkata bahwa pemerintah terlambat menangani kasus perubahan iklim. Ia menyayangkan Inggris yang punya reputasi baik soal perubahan iklim, ternyata tetap mendanai proyek pengelolaan bahan bakar fosil di negara dunia ketiga. Ia pun menyindir pemerintah Inggris yang belum melirik industri penerbangan sebagai salah satu bidang usaha yang memperburuk perubahan iklim.
“Selama enam bulan saya keliling Eropa menggunakan kereta, mobil elektrik, dan bus. Terus bicara hal yang sama. Namun tidak ada orang yang membahas hal itu, dan tidak ada yang berubah. Emisi terus meningkat,” katanya lagi.
Pidato Greta disambut oleh aplaus para anggota parlemen yang menganggap Greta sebagai remaja pemberani.
“Saya mau Greta tahu bahwa kami mendengarkannya karena kami pun ingin dunia ini jadi tempat yang lebih baik,” kata Deidre Michie, presiden Oil and Gas UK.
Sampai saat ini belum ada anggota parlemen Inggris yang memberi pernyataan resmi terkait pidato Greta. Meski demikian, aksinya itu dianggap membawa terobosan dalam ranah aktivisme.
Katharine Hayhoe , ilmuwan studi iklim dari Texas Tech University, menyatakan Greta dan anak-anak lain yang terlibat dalam aktivisme perubahan iklim membuktikan bahwa mereka mampu jadi fasilitator yang baik bagi orangtua. Mereka juga bisa membuat para orangtua mau terlibat dalam gerakan pencegahan perubahan iklim.
“Andai kita bisa mempromosikan komunitas peduli perubahan iklim, kita bisa bekerjasama dalam menemukan solusinya,” kata Hayhoe.
Editor: Nuran Wibisono