tirto.id - “Kamu kenapa nggak bisa diem kayak gitu, sih? Kayak anak autis!”
“Liat deh, dia lagi autis. Asyik sendiri sama gadget-nya dan lupa kalau kita lagi ngumpul.”
Seberapa sering Anda mendengar ujaran-ujaran seperti ini? Banyak yang menganggap ujaran tersebut tak mengandung makna negatif dan wajar diutarakan antarteman dalam berbagai kesempatan. Namun sebenarnya, jauh dari yang disangkakan, dalam kalimat semacam itu justru termaktub peyorasi kata "autis". Stigma negatif terhadap pengidap autisme pun jamak ditemukan lantaran kurangnya pemahaman mengenai gangguan kejiwaan ini. Mereka sering kali dianggap terbelakang, bodoh, dan jadi bahan olok-olok akibat tingkah lakunya yang tak sejalan dengan orang-orang normal.
Dalam situs Autism Speak dijelaskan bahwa autisme merujuk pada kondisi yang dicirikan dengan adanya kesulitan bersosialisasi, kecenderungan berperilaku repetitif, serta kesulitan berkomunikasi secara verbal dan nonverbal. American Psychology Association mencantumkan gejala-gejala autisme yang lebih rinci dalam DSM-V. Pengidap gangguan psikologi ini bisa terlihat hiperaktif atau justru sangat pasif dalam kesehariannya, sangat terikat atau berfokus pada objek tertentu, bersikeras menyusun sesuatu berdasarkan kesamaan, atau terpaku pada rutinitas yang polanya tak boleh berubah sedikit pun.
Meski gejala-gejala ini membuat para pengidap autisme dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat, bukan berarti mereka tidak mengantongi sejumlah kelebihan dan keunikan. Autisme tidak berwujud tunggal, tetapi terdiri dari beberapa jenis karena adanya kombinasi genetik dan faktor lingkungan yang beragam.
Kerap Dianggap Bak Itik Buruk Rupa
Karena menunjukkan perilaku berbeda dan dianggap tak wajar, pengidap autisme sering dipandang seperti si Itik Buruk Rupa dalam dongeng Hans Christian Andersen. Gangguan-gangguan berupa cemoohan, pelecehan fisik, sampai stigmatisasi yang menghambat mereka mengakses beragam kesempatan bukanlah hal anyar yang terjadi dalam kehidupannya. Ini semua tergolong sebuah perundungan yang didefinisikan Dan Olweus (1994)— profesor psikologi yang berafiliasi dengan Research Center for Health promotion (HEMIL) University of Bergen, Norwegia—sebagai perilaku agresif yang dilakukan dengan sengaja untuk melukai seseorang secara berulang kali dan dari waktu ke waktu, dalam konteks hubungan interpersonal, di mana terdapat ketimpangan kekuatan.
Dengan kehadiran media sosial, ancaman perundungan kian meluas dan makin besar pula potensi menjatuhkan mental seseorang. Pengalaman pahit di dunia siber seperti ini pernah dirasakan oleh Kevin Healey, pengidap sindrom Asperger—bagian dari autisme—sekaligus aktivis antiperundungan terhadap pengidap pengidap autisme. Sejak 2001, Healey aktif membentuk yayasan-yayasan peduli autisme di Inggris. Ia juga sempat menjadi duta dan anggota dewan The National Autistic Society serta mempublikasikan autobiografi bertajuk Twin Brothers World Apart pada 2009 yang mengisahkan dirinya dan sang kembaran, Shaun, yang juga mengidap autisme.
Aktivisme yang dilakukannya melalui berbagai jalur baik daring maupun luring tak melulu berbuah manis. Dilansir BBC, Healey menerima banyak perlakuan diskriminatif dan merendahkan di Twitter selama beberapa tahun. Upaya penegakan hukum atas tindak kejahatan yang diterimanya pun sudah Healey lakukan, tetapi polisi mengaku kesulitan menemukan pelaku pertama impersonasi merendahkan Healey di dunia virtual.
Kepada Twitter, Healey juga telah mengadukan perundungan, kloning akun yang memuat tweet sarkastik, hate crime, bahkan ancaman pembunuhan yang menimpanya. Beberapa di antaranya dimuat dalam situs pribadi Healey seperti sejumlah mention yang tercantum di bawah ini.
@kevin_healey now, people have experienced a lot more shit during their life than you my little spastic but are they making a big fuss? No.
@kevin_healey you got bullied for 35 years? HAHAHAHAHA LOSER
@kevin_healey kev you ever had sexual experience that wasn’t with a family member i.e. your favourite uncle.
Healey berharap Twitter dapat melakukan tindakan untuk meminimalisasi perlakuan buruk yang diterimanya dari warganet lain, serta membubuhi logo terverifikasi bagi akunnya agar terhindar dari kasus pengkloningan akun lebih jauh.
Sebanyak 1.600 orang telah menandatangani petisi untuk mendukung permintaan Healey ini. Namun, tak banyak yang dilakukan Twitter untuk membantu pemuda 42 tahun ini. Pasalnya, dalam regulasi Twitter terkait akun terverifikasi, pihak yang dikatakan dapat memperoleh privilese ini sangat ambigu: terkait kepentingan publik dan umumnya mencakup pengguna yang menggeluti bidang musik, akting, fashion, pemerintahan, politik, agama, jurnalisme, media, olahraga, bisnis, dan lain sebagainya. Pada 2015, Healey pun akhirnya memilih hengkang dari Twitter yang tak kunjung memberikannya verifikasi akun sebagaimana telah diperolehnya dari Facebook.
Data dari penelitian Bancroft et. al. (2012) yang dimuat dalam laporan The National Autistic Society menunjukkan, lebih dari 80% anak dengan sindrom Asperger atau high functioning autism mengalami perundungan di sekolah. Angka ini tentu saja didapat dari para pengidap sindrom Asperger atau autisme yang melaporkan tindak diskriminatif yang dialaminya dan bisa jadi bervariasi antara satu studi dengan lainnya lantaran tidak semua pengidapnya sadar bahwa mereka sedang mengalami perundungan.
Lebih lanjut lagi, Anderson et. al. (2011) berargumen bahwa tidak hanya para pengidap autisme saja yang menerima perundungan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga orangtua dan saudaranya.
Mereka Sebenarnya adalah Angsa-angsa Cantik
Yang tidak banyak diketahui orang adalah sebagian pengidap autisme memiliki performa tak kalah prima dari anak-anak pandai. Dikutip dari Time, sebuah studi menunjukkan karakteristik anak-anak pintar dengan mengobservasi delapan orang. Pertama, anak-anak pintar ini dapat mengingat lebih dari tujuh digit angka serta membuat kalkulasi melampaui kemampuan anak-anak rata-rata. Keterampilan menyimpan dan memproses informasi verbal dan nonverbal juga menjadi ciri anak-anak pintar lainnya.
Orang menyangka anak-anak "ajaib" berkemampuan di atas rata-rata ini pasti memiliki skor IQ tinggi dan tak punya masalah kejiwaan. Tidak demikian rupanya. Studi tersebut menemukan, tidak semua anak yang diobservasi memiliki skor IQ tinggi. Satu anak bahkan hanya ber-IQ 108. Mengejutkannya lagi, tiga dari delapan anak itu adalah pengidap autisme. Saat dites, tingkatan gejala autisme yang mereka miliki bahkan melebihi orang-orang pengidap sindrom Asperger yang salah satu cirinya adalah obsesi terhadap detail.
Serangkaian dampak jangka pendek maupun panjang dari perundungan terhadap pengidap autisme tercatat dalam situs Deal with Autism. Dalam jangka pendek, mereka yang menerima perundungan dapat merasa depresi, marah, cemas jika sewaktu-waktu perundungan akan kembali menimpa, jatuh sakit, menerima rapor sekolah yang buruk, serta memiliki kecenderungan mengakhiri hidup.
Sedangkan dampak jangka panjangnya, pengidap autis yang menerima perundungan dapat kehilangan berbagai kesempatan kerja, pesimis dalam memandang masa depannya, memiliki masalah kepercayaan dan interpersonal, terbiasa menyendiri, menilai diri sendiri begitu rendah, hingga kecenderungan untuk pada akhirnya merundung diri sendiri.
Melihat betapa buruknya efek perundungan terhadap pengidap autisme, penting bagi orang-orang terdekatnya untuk mencari cara mereduksi hal ini karena tak melulu mereka bisa berdiri tegar menghadapi permasalahan yang menghampiri.
Dalam situs Autism Support Network, Rebekah Heinrichs M.S.N., M.S. Ed. memaparkan sejumlah langkah menghadapi pengidap autisme yang mengalami perundungan. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah mengenali sebaik mungkin pengidap autisme ini. Mencari tahu titik-titik lemah dan menggali informasi seputar kehidupan sosialnya menjadi PR berikutnya dari orang-orang terdekat pengidap autisme.
Jika perundungan telah terjadi, keluarga atau rekan pengidap autisme perlu menanyakan sedalam mungkin seputar pengalaman buruk yang pernah diterima pengidap autisme agar solusi atau gagasan pencegahan yang akan diimplementasikan nanti tepat guna. Terakhir, yang paling kerap terjadi adalah isolasi pengidap autisme yang memperburuk situasi mentalnya. Kedekatan dengan orang-orang sekitar akan membantu mereka belajar mempercayai sekitar dan pada akhirnya merasa dirinya cukup baik dan diterima masyarakat.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti