tirto.id - “Kalau anakmu menjadi korban perundungan, jangan panik. Dengarkan, tenangkan, dan yakinkan anak bahwa situasi akan lebih baik bila dilakukan tindakan yang tepat.”
Saran tersebut dikutip dari artikel How can I help my child if they are being bullied? dari Anti Bullying Alliance, persatuan organisasi dan individu untuk melawan perundungan.
Pertanyaannya, apabila kita adalah orang tua yang mendapati anak kita sebagai korban perundungan, mampukah kita bersikap tenang?
Coba bayangkan. Anak yang semula riang gembira, tiba-tiba menjadi penyendiri, tidak mau berteman, takut keluar dari kelas, dan setiap hari pulang sekolah dengan wajah murung.
Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk menumbuhkan berbagai skill termasuk kemampuan bersosialisasi, tiba-tiba menjadi ‘rumah hantu’.
Rina, 39 (bukan nama sebenarnya) mendapati Sinta (14) mengalami perubahan perilaku.
“Jadi pemurung baik pulang sekolah maupun berangkat sekolah. Tidak ada update tentang kejadian di sekolah, hanya mengurung diri di kamar,” kisah Rina.
Kecurigaan Rina kian meningkat ketika Sinta harus dilarikan ke UGD karena demam dan sakit perut. Kadar haemoglobin atau sel darah merahnya turun sampai angka sembilan. Sinta tidak kuat untuk berdiri, tidak selera makan, dan selalu hampir pingsan.
“Haid selama tiga minggu nonstop, selama tiga minggu tidak sekolah. Di minggu ke tiga dia tidak sekolah, saya dan suami minta izin melihat ponselnya karena selama ini dia sembunyikan. Padahal perjanjian awal kami boleh cek HP-nya kapan saja,” beber Rina.
Setelah memeriksa semua akun media sosial milik Sinta, terungkap bahwa ia menjadi korban perundungan.
“Dia tidak masuk dalam geng mana pun, sehingga dia tidak dibolehkan ngobrol dengan anggota geng lainnya, atau duduk di dekat mereka. Satu per satu sahabatnya masuk geng. Saat belajar di kelas dia diganggu, puncaknya disuruh bunuh diri lewat aplikasi NGL, itu aplikasi yang dapat mengirim message tanpa diketahui pengirimnya,” ujar Rina.
Perundungan membuat Sinta mengalami perubahan emosi dan gangguan kesehatan yang serius. Bagaiamana penjelasannya?
Tak bisa dimungkiri, kondisi fisik dan mental manusia saling berkaitan. Stres berkepanjangan dapat melemahkan fisik.
“Ada anak yang melihat pagar sekolahnya saja bisa muntah-muntah. Dia mengalami psikosomatis. Karena dalam stress neuron-neuron rusak. Korban gagal fokus pada sekolah dan mengalami kesulitan belajar,” ujar Hanlie Muliani, Psikolog Klinis, pendiri SOA, Sahabat Orangtua dan Anak, Pusat Dukungan Psikologis dan Pendidikan.
“Bullying itu dilakukan secara berulang. Orang yang menjadi target dan mendapat kekerasan verbal, fisik, sosial—secara berulang—di otaknya akan muncul pertanyaan, ‘Why me? Aku nggak jahat, kenapa aku diperlakukan seperti ini?’”
Hanlie melanjutkan, “Sedihnya, bila korban tidak mendapat dukungan, malah teman lainnya ikut mem-bully. Akhirnya si korban menjawab sendiri, ‘Something wrong with me, semua orang benci aku. Buat apa aku hidup? Sampai kapan aku mengalami ini?’”
“Terjadi eskalasi disfungsional thinking dalam pikiran korban,” papar Hanlie.
Menurut Hanlie, kemungkinan terburuk yang akan terjadi bila korban tidak ditangani dengan benar, ia mengalami depresi dan bunuh diri.
Stacee Reicherzer dalam artikel berjudul How to deal with bullying from your past yang dirilis di Aeon menyatakan, dampak perundungan dapat dirasakan dalam jangka waktu yang lama sampai beberapa dekade kemudian.
Reicherzer mengungkap sebuah riset tahun 2013 terhadap ratusan orang yang memiliki riwayat perundungan pada masa kanak-kanak. Mereka mengalami agoraphobia, yaitu gangguan kecemasan berupa ketakutan berlebih ketika berada di tempat yang membuat pengidapnya merasa sulit mendapat bantuan.
Selain agoraphobia, juga ditemukan depresi, merasa harga diri rendah, dan memiliki frekuensi keinginan bunuh diri lebih tinggi dibanding orang lain yang tidak pernah mengalami perundungan.
Untuk mengatasi masalah Sinta, Rina mencari bantuan ke psikolog, dokter, dan pelatih olahraga di tempat Sinta berlatih.
“Saya minta supaya Sinta diberi suplemen yang bisa membantunya tidur karena dia baru tidur jam 4 pagi, menangis histeris sejak jam 9 malam,” tutur Rina.
Yang kemudian menjadi terang bagi keluarga Rina, pada akhir sesi play therapy, Sinta diduga mengidap ADHD inattentive.
“Dirujuk ke psikiater, hasil tes membuktikan Sinta memang ADHD yang menyebabkan dia tidak mampu berdebat, tidak dapat membaca emosi teman. Dia akan happy dan peluk-peluk temannya meski temannya sudah bilang ‘stop’, serta alasan-alasan lainnya yang akhirnya menjadi jawaban mengapa Sinta menjadi korban perundungan,” kisah Rina.
Menurut Hanlie, anak ADHD mengalami kesulitan dalam hal regulasi emosi, moral judgment, mengambil sudut pandang, dan pengambilan keputusan. “Anak ADHD juga cenderung impulsif,” jelas Hanlie.
Karena tidak ada niat dari sekolah untuk membantu kasus yang dihadapi Rina, Rina memilih untuk memindahkan Sinta ke sekolah lain.
“Saya juga menambahkan aktifitas yang disukai Sinta seperti kursus modeling untuk meningkatkan rasa percaya dirinya,” kata Rina.
Seharusnya, orangtua dan guru mengedukasi pelaku perundungan. Anak-anak perlu dijelaskan bahwa kalau ada teman yang memiliki kelainan apakah itu fisik atau mental seperti spektrum autisme yang memunculkan perilaku aneh, tidak seharusnya dirundung.
Hanlie menyampaikan, “Anak itu tidak bisa memilih lahir dengan kondisi tertentu. Tumbuhkan empati, bagaimana kalau kondisi itu mereka alami.”
“Ada sebuah riset yang menyatakan, anak tipikal yang terbiasa berteman dengan anak-anak berkebutuhan khusus kelak akan menjadi leader yang hebat. Karena mereka pernah mendampingi teman-teman yang berkebutuhan khusus,” tutur Hanlie.
Hanlie mendambakan sekolah yang guru dan orang tuanya mau bekerja sama untuk mencegah terjadinya perundungan.
“Ya, harus ada edukasi pada anak-anak tentang perbedaan, supaya mereka menjadi social support system. Bukannya jadi pem-bully,” pungkas Hanlie.
======
Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Sekar Kinasih