tirto.id - “Vaksin Penyebab Autis. Buat pasangan muda, om, tante, yang punya keponakan, atau bahkan calon ibu. Perlu nih dibaca tentang autisme, bisa di-share kepada yang masih punya anak kecil supaya berhati-hati.”
Sebuah pesan berantai beredar. Prolognya provokatif. Kalimat itu kemudian dilanjutkan dengan cerita seorang anak bernama Joey yang mendapat dua vaksin, Hepatitis B dan HiB, selama enam bulan kehidupan pertamanya. Vaksin itu dianggap menjadi faktor Speech Delay pada Joey karena katanya mengandung zat "pengawet thimerosal yang terdiri dari etilmerkuri, penyebab utama sindrom Autisme Spectrum Disorder (ASD)."
Artinya, hoaks lama yang pernah ramai diperbincangkan kini merebak lagi.
“Sudah banyak penelitian yang mengungkapkan tidak ada hubungan antara vaksin dengan autisme,” ujar dokter spesialis anak, Arifianto.
Vaksin MMR Tak Terbukti Sebabkan Autisme
Desas-desus vaksin menjadi penyebab dari ASD ini sudah lama merebak pada dekade 1990-an. Dari laman BMJ, diketahui bahwa gerakan berawal dari gagasan seorang seorang mantan dokter bernama Andrew Wakefield.
Pada 1998, ia menyimpulkan hubungan antara vaksin campak, gondok, dan rubella (MMR) dengan autisme dan studinya diterbitkan di jurnal The Lancet. Penelitian Wakefield kemudian memicu krisis kepercayaan internasional dalam keamanan vaksin MMR.
“Kami tak mau memasukkan racun ke tubuh anak-anak kami,” begitu bunyi kampanye kelompok anti-vaksin.
Saat jurnal The Lancet menyadari adanya kesalahan, mereka langsung menarik kembali tulisan tersebut. General Medical Council, badan publik yang menyimpan daftar resmi praktisi medis di Inggris, menyatakan Wakefield melanggar protokol etika saat melakukan penelitian. Anak-anak yang menjadi sampel ternyata memiliki hubungan dengan peneliti karena merupakan anak-anak dari rekan Wakefield.
Padahal, idealnya, peneliti tak boleh memiliki kedekatan dengan sampel penelitiannya. Mirisnya, The Lancet baru mengetahui kecurangan setelah 12 tahun jurnal tersebut “mejeng” di situs mereka. Meski telah ditarik, Lancet jelas kecolongan, gerakan anti-vaksin terlanjur menyebar dipicu hasil penelitian bohong Wakefield.
Padahal, ada lebih dari 40 penelitian lain yang menyanggah temuan Wakefield. Salah satunya adalah yang dilakukan Hornig M, dkk. (2008) terhadap sampel jaringan usus besar untuk mencari RNA Virus Campak. Dari 25 anak dengan autisme dan 13 anak non-autisme sebagai kelompok kontrol, hanya ditemukan satu orang anak dari tiap kelompok dengan RNA Virus Campak. Kesimpulannya, tidak ada hubungan antara vaksin campak dengan autisme.
Penelitian yang dilakukan Kreesten Meldgaard Madsen, dkk berjudul "A Population-Based Study of Measles, Mumps, and Rubella Vaccination and Autism" (2002) juga merobohkan argumen Wakefield. Mereka memantau lebih dari 537 ribu anak selama lebih dari 7 tahun dan tidak menemukan hubungan antara usia pada saat vaksinasi, waktu sejak vaksinasi, atau tanggal vaksinasi dengan perkembangan gangguan autistik.
“Tidak ada hubungan antara regresi (kemunduran perkembangan anak) pada ASD dengan imunisasi MMR,” Richler J, dkk (2006) mencatat dalam penelitiannya terhadap 351 anak dengan ASD.
Merkuri dalam Vaksin Ada di Ambang Aman
Alasan lain yang menjadi tameng menolak vaksin seperti pada pesan yang diterima Arifianto adalah kandungan zat pengawet thimerosal terdiri dari etilmerkuri pada vaksin. Apa itu thimerosal?
Arifianto menjelaskan bahwa zat tersebut merupakan pengawet dalam vaksin yang bermanfaat untuk mencegah kontaminasi bakteri dan jamur, khususnya pada vaksin multidosis. Satu vial vaksin digunakan untuk menyuntik beberapa orang dengan jarum berbeda sekali pakai. Bahan pengawet ini mengandung merkuri (air raksa). Zat inilah yang dikhawatirkan kelompok anti-vaksin dapat meracuni tubuh dan membuat ASD.
Merkuri merupakan senyawa dari permukaan bumi yang dilepaskan ke lingkungan oleh pembakaran batubara, erosi batu, dan letusan gunung berapi. Merkuri yang lepas kemudian tersebar ke berbagai permukaan seperti danau, sungai, laut, dan diubah menjadi metilmerkuri oleh bakteri. Kandungan metilmerkuri bisa terdapat di ikan, air, ASI, bahkan dan susu formula.
“Bayi yang mengonsumsi ASI eksklusif menelan 400 mikrogram metilmerkuri selama enam bulan pertama kehidupannya. Jumlah ini lebih besar dua kali lipat dibanding kandungan merkuri vaksin,” papar pria yang akrab disapa dokter Apin ini.
Ada lagi studi yang meneliti hubungan timerosal dengan peluang kelainan ginjal, saraf, dan perkembangan otak, berjudul "Safety of Thimerosal-Containing Vaccines: A Two-Phased Study of Computerized Health Maintenance Organization Databases" (2003). Penelitian tahap pertama menemukan hubungan yang lemah terhadap kedua hal ini, sedangkan penelitian tahap kedua tidak menemukan adanya hubungan antara kedua hal tersebut.
Editor: Maulida Sri Handayani