tirto.id - Sebuah tangkapan layar pesan Whatsapp beredar di dunia maya, isinya memperlihatkan obrolan seorang bidan dan pasiennya.
“Bu Bidan, nanti kalau anak saya lahir, saya enggak mau [anak saya] divaksin ya,” tegas si pasien mengawali percakapan. Si bidan tak banyak membantah, ia pasrah karena pilihan pasien patut dihormati.
Gerakan anti-vaksin merajalela tak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia. Hanya saja ada perbedaan dasar penolakan di dunia dengan Indonesia. Khawatir akan komposisi bahaya bahan dasar vaksin dan efek samping ketika vaksin masuk ke tubuh menjadi dasar penolakan kelompok anti vaksin di dunia.
Dari laman BMJ, diketahui bahwa gerakan ini berpegang pada penelitian Andrew Wakefield pada 1998. Ia menyatakan hubungan antara vaksin dengan autisme dan diterbitkan di jurnal The Lancet. Penelitian Wakefield kemudian memicu krisis kepercayaan internasional dalam keamanan vaksin campak, gondok, dan rubella (MMR)
“Kami tak mau memasukkan racun ke tubuh anak-anak kami,” begitu kampanyenya.
Dua belas tahun kemudan, The Lancet menyadari adanya kesalahan dan menarik kembali jurnal tersebut. General Medical Council, badan publik yang menyimpan daftar resmi praktisi medis di Inggris menyatakan Wakefield melanggar protokol etika saat melakukan penelitian. Anak-anak yang menjadi sampel ternyata memiliki hubungan dengan peneliti karena merupakan anak-anak dari rekan Wakefield. Padahal, idealnya peneliti tak boleh memiliki kedekatan dengan sampel penelitiannya.
Mirisnya, TheLancet baru mengetahui kecurangan setelah 12 tahun jurnal tersebut “mejeng” di situs mereka. Meski telah ditarik, Lancet jelas kecolongan, gerakan anti vaksin terlanjur menyebar dipicu hasil penelitian jurnal tersebut.
Jauh berbeda dengan dasar penolakan anti-vaksin di dunia, di Indonesia, golongan ini lebih banyak menolak lantaran alasan non-medis, masalah kehalalannya. Seperti yang ditunjukkan oleh percakapan sang bidan dan pasien. Pada percakapan berikutnya, pasien beralasan penolakannya terhadap vaksin terkait kepercayaan agamanya.
“Haram. Menurut saya, ini bukan keadaan darurat," begitu biasanya dalil penolakan.
Padahal, NCBI menyebut vaksin sebagai salah satu terobosan terbaik di dunia kesehatan. Ia ditemukan Edward Jenner yang telah berhasil mengusir epidemi cacar di Inggris pada tahun 1790-an. Penemuannya bermula dari pengamatan terhadap para perempuan pemerah susu. Saat Inggris dilanda epidemi cacar dan banyak orang meninggal karena penyakit ini, terutama anak-anak. Jenner melihat anomali, para pemerah susu tak terdampak wabah.
Tangan mereka hanya memiliki tanda khusus berupa kemerahan. Para pemerah terpapar cacar sedikit demi sedikit dari sapi perahan sehingga tak menimbulkan risiko tinggi kesehatan. Pada tahun 1794 Janner akhirnya berinisiatif untuk menyuntikkan vaksin dari darah para pemerah kepada seorang anak berumur 8 tahun bernama James Phipps dan percobaannya berhasil.
“Sistem tubuh kita punya memori untuk melihat penyakit. Dalam dosis rendah tidak akan membuat tubuh sakit tapi justru membikin imun,” ungkap dr. Ahmad Faried, spesialis bedah saraf menjelaskan fenomena tersebut.
Menolong Lingkungan dengan Melakukan Vaksinasi
“Vaksin mengandung babi.”
Pernyataan tersebut tak sepenuhnya salah, tapi juga tak benar-benar tepat. Pembuatan vaksin dimulai dari tahap seed preparation, yakni proses mengumpulkan bibit dasar vaksin berupa bakteri, virus, organisme mati, rekombinan DNA, toksin, atau protein dalam media kultur dan disimpan dalam suhu -70 celcius. Tahap selanjutnya adalah cultivatin, proses mengembangbiakkan bibit, tripsin ditambahkan pada proses ini, tapi tidak pada semua vaksin.
“Bakteri dan virus tentu butuh jaringan untuk berkembang, tripsin punya fungsi itu,” terang Peneliti Utama Bio Farma, Neni Nuraini.
Babi diambil sebagai media karena struktur jaringannya paling mirip dengan manusia. Selain tripsin, saat ini Biofarma tengah mengembangkan media perkembangbiakan bibit dari jaringan lain, yakni sapi. Namun, lantaran pembuatan vaksin membutuhkan waktu lama, sekitar 15 tahun, Indonesia masih mengimpor vaksin. Sementara itu, salah satu produsen vaksin terbesar di dunia adalah India dan negara tersebut menganggap sapi sebagai hewan suci.
Setelah perkembangbiakan, langkah selanjutnya dari pembuatan vaksin adalah harvest, panen ketika bibit sudah memenuhi standar. Pada vaksin yang terbuat dari toksin, ada tahap tambahan inactivation menggunakan bahan kimia, yakni merubah vaksin dari toksin racun yang sudah tidak berbahaya, tapi masih bisa merangsang respons imun untuk melawan. Terakhir, vaksin akan melalui langkah purification, dicuci, dimurnikan sampai hanya tersisa komponen yang dibutuhkan. Pada tahap inilah tripsin akan meluruh. Baru kemudian mereka diawetkan dan dikemas.
“Tidak semua vaksin memakai babi dalam prosesnya, vaksin selain bakteri dan virus tidak butuh jaringan tripsin untuk berkembang biak,” tegas Neni. “Polio dan MR contoh yang memakai tripsin.”
Namun, dibanding masalah halal-haram, ada lebih banyak aspek sosial dan kesehatan yang perlu dipertimbangkan untuk melakukan vaksin. Selain membuat kekebalan pribadi, vaksin juga membentuk kekebalan kelompok. Misal, jika dalam satu komunitas hanya ada beberapa orang terinfeksi dan sisanya sehat tetapi tidak diimunisasi, penyakit bisa menyebar dengan bebas melalui populasi. Sebagian besar orang yang belum diimunisasi (sehat) akan terinfeksi.
Lalu, ketika dalam satu komunitas hanya ada sejumlah kecil populasi yang telah diimunisasi, mereka yang tidak diimunisasi menjadi terinfeksi, sementara mereka yang diimunisasi tidak. Hanya seperempat dari orang-orang yang tidak diimunisasi (sehat) yang terinfeksi.
Namun, ketika sebagian besar penduduk telah diimunisasi, penyakit dapat dicegah menyebar secara signifikan, termasuk kepada orang-orang yang tidak diimunisasi. Mereka akan menyumbang 5 persen kekebalan untuk populasi imunosupresif (mengonsumsi obat yang menekan imun) dan tak boleh divaksin, seperti individu dengan HIV/AIDS atau lupus.
“Berbaik hatilah kepada populasi ini, mereka jadi dapat sumbangan kekebalan dari sekitar meski tidak divaksin,” tutup Neni.
Percakapan kami akhirnya ditutup dengan kalimat pengingat dari anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) ini untuk melakukan pengecekan status vaksinasi di masa lalu. "Bisa ke Rumah sakit tipe A, atau ke Bio Farma."
Editor: Maulida Sri Handayani