tirto.id - Penolakan sebagian orangtua terhadap vaksinasi anak bukan hal yang baru dan tidak sebatas alasan religius seperti disebut-sebut dalam perbincangan mengenai pilihan imunisasi pesohor Oki Setiana Dewi bagi anak-anaknya.
Di pelbagai belahan dunia, vaksinasi pernah dan masih menjadi isu politik alih-alih kesehatan publik. Argumen para penolak vaksin pun beragam, dari yang mengatasnamakan kebebasan individu, perintah agama, maupun ketakutan atas apa yang mereka anggap sebagai bahaya vaksin.
Pada 1904, Oswaldo Cruz, seorang pejabat kesehatan publik di Brasil, mengerahkan pasukan untuk memaksa warga kota Rio de Janeiro agar mau melakukan imunisasi. Kebijakan ini sejalan program perbaikan kesehatan publik dan tingkat kebersihan kota di bawah Presiden Rodrigues Alvarez. Pada peralihan abad, ribuan orang meninggal karena wabah cacar, sakit kuning, dan beberapa penyakit lain. Upaya Cruz menemui penolakan keras. Rio de Janeiro dilanda kerusuhan besar pada awal November 1904. Tiga puluh orang tewas.
Robert M. Wolfe dalam makalah “Anti-vaccinationists Past and Present” yang terbit di British Medical Journal (2002) mencatat bahwa London pernah menjadi pusat gerakan anti-vaksin. Setelah kesuksesan eksperimen vaksin cacar, parlemen Inggris meloloskan Undang-Undang Vaksinasi 1840 yang mewajibkan vaksinasi gratis. Revisi UU berulangkali terjadi dan memperluas sasaran vaksin. UU Vaksinasi 1853 mewajibkan bayi usia 3 bulan diimunisasi, dan UU yang sama pada 1867 mewajibkan vaksinasi pada anak hingga usia 14.
Kebijakan vaksinasi publik ini mendapat tantangan yang keras di masyarakat. Pada 1867, Anti-Vaccination League didirikan dengan dalih melindungi kebebasan dan pilihan individu. Revisi UU vaksinasi pada 1853 disambut oleh protes yang berujung pada kerusuhan di Ipswich, Henley, dan Mitford. Pada 1885, 100.000 orang turun ke jalan memprotes UU vaksin.
Diaspora Gerakan Anti-Vaksin
Sebagaimana dicatat Wolfe dalam penolakannya, Anti-Vaccination League mengajukan argumen seperti “tindakan vaksinasi yang menginjak-injak hak orangtua untuk melindungi anak-anak mereka dari penyakit” dan “Parlemen telah gagal melindungi kebebasan warganegara dalam menyediakan layanan kesehatan yang baik.”
Gerakan anti-vaksin juga didukung oleh penerbitan buku, jurnal, dan pamflet sepanjang 1870 dan 1880-an, Anti-Vaccinator (1869), National Anti-Compulsory Vaccination Reporter (1874), dan Vaccination Inquirer (1879).
Dari Inggris, gerakan anti-vaksin menyebar ke sejumlah negara lain. Di Swedia, program vaksinasi pemerintah digagalkan oleh protes-protes anti-vaksin, sampai-sampai menyurutkan tingkat vaksinasi hingga di titik 90% di luar Stockholm dan 40% di ibukota Stockholm pada 1872. Dua tahun kemudian, gerakan ini lumpuh lantaran wabah cacar menyerbu Stockholm dan pemberlakuan program vaksinasi secara tegas diberlakukan.
Kunjungan tokoh anti-vaksin Inggris William Tebb ke New York menyuburkan gerakan anti-vaksin di Amerika Serikat sepanjang dekade 1880-an. Perkumpulan-perkumpulan anti-vaksin didirikan dan berhasil membatalkan UU wajib vaksin di negara bagian California, Illinois, Indiana, Minnesota, Utah, West Virginia, dan Wisconsin. Pada 1885, kerusuhan anti-vaksin meletus di Milwaukee.
Teori Konspirasi dan Kecerobohan Korporasi
Penolakan atas vaksinasi dewasa ini juga dilatarbelakangi oleh kecurigaan terhadap perusahaan-perusahaan farmasi yang memproduksi vaksin. Tiga faktor lain adalah lalu-lintas pelbagai macam informasi pseudo-sains di internet (misalnya tentang vaksinasi sebagai pemicu autisme), tren gaya hidup holistik dan pengobatan alternatif di Barat pasca 1960-an, serta aktivisme kaum pesohor yang membuat isu kecil jadi besar.
Aktor Jim Carey, Alicia Silverstone, dan Selma Blair merupakan sedikit dari pesohor anti-vaksin. Sebelum terpilih jadi presiden, Donald Trump bahkan mendukung pandangan bahwa vaksinasi menyebabkan autisme.
Politik seringkali memperparah sentimen anti-vaksin. Teori-teori konspirasi penuh ketakutan seperti pengurangan populasi hingga genosida medis adalah narasi yang seringkali diangkat politisi untuk meraih popularitas.
Situsweb The Hindumelansir kabar pada Februari 2017 di India, Kiren Rijiju, menteri di pemerintahan sayap kanan Narendra Modi, membuat penyataan bahwa jumlah penganut Hindu berkurang di India karena mereka tidak pernah menghindukan orang lain, sehingga minoritas tumbuh pesat.
Pernyataan Rijiju itu menjadi bahan kampanye anti-vaksin yang besar di kalangan agama minoritas. Ucapan itu seolah membuktikan bahwa “pemerintah sangat peduli terhadap berkurangnya populasi orang Hindu dan dengan demikian berencana memangkas populasi muslim dan minoritas lainnya." Peristiwa ini terjadi ketika pemerintah India sedang menargetkan imunisasi terhadap 4 juta anak di 5 negara bagian.
Kasus yang paling fenomenal terjadi di Nigeria sekitar satu dasawarsa lalu. Para ulama di utara Nigeria memfatwa haram imunisasi akibat percaya kabar burung bahwa vaksin merupakan konspirasi anti-Islam untuk menyebarkan AIDS. Pasalnya, kebijakan imunisasi yang masif dilaksanakan dari pintu ke pintu ini melibatkan Amerika Serikat sebagai sponsor dan produsen vaksin. Histeria khas pasca 9/11 ini mekar di daerah-daerah yang berada di bawah kendali partai oposisi ANPP (All Nigeria People's Party).
Dampaknya luar biasa: pada 2003, wabah polio merebak dan menyebar ke sembilan negara tetangga Nigeria.
Pada saat bersamaan, kepercayaan terhadap teori konspirasi juga disuburkan oleh perilaku buruk bisnis obat. Di Nigeria, prasangka anti-vaksin berkembang pesat lantaran kasus percobaan vaksin Trovan oleh perusahaan Pfizer yang menyebabkan kematian lima anak pada 1996. Percobaan tersebut dilakukan untuk menangani wabah meningitis yang melanda Nigeria pada tahun itu.
Vaksin tersebut ternyata masih berstatus eksperimental dan diberikan tanpa kesepakatan dan informasi yang memadai kepada orangtua. Ketika keluarga korban menuntut Pfizer, pengadilan New York malah melimpahkan kasus ini ke pengadilan Nigeria.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani