Menuju konten utama

Campak-Rubella Rentan Wabah karena Pro dan Kontra Vaksin

Keberhasilan vaksin telah dibuktikan di beberapa negara, tapi masih ditolak di beberapa daerah di Indonesia.

Campak-Rubella Rentan Wabah karena Pro dan Kontra Vaksin
Petugas kesehatan memberikan tanda usai menyuntikan vaksin Measles and Rubella (MR) kepada balita di rumah penitipan anak Al-Amanah, Kelurahan Pesantren, Kota Kediri, Rabu (23/8). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani

tirto.id - Vaksinasi campak dan rubella masih diperdebatkan di Indonesia karena serum yang dibuat di India tersebut diduga mengandung babi. Dalam Ketentuan Hukum Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 4 tahun 2016 nomor 1 (PDF) tertulis “Imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu”.

Meskipun pada nomor 2 dan 3 fatwa itu tertulis bahwa vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci, namun di poin 4 ditulis bahwa imunisasi dengan vaksin yang haram dan/atau najis tidak diperbolehkan kecuali digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat serta belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci.

Kondisi al-dlarurat merupakan kondisi keterpaksaan yang apabila tidak diimunisasi dapat mengancam jiwa manusia, sedangkan kondisi al-hajat adalah kondisi keterdesakan yang apabila tidak diimunisasi maka akan menyebabkan penyakit berat atau kecacatan pada seseorang.

Menurut situs resmi UNICEF (PDF) penyakit campak dan rubella merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh virus campak dan rubella, dan rentan terjadi pada anak dan orang dewasa yang belum pernah mendapatkan imunisasi campak dan rubella (MR).

Gejala dari penyakit campak diantaranya demam tinggi, bercak kemerahan pada kulit disertai batuk, pilek dan mata merah, sedangkan penyakit rubella memiliki gejala umum berupa demam ringan, pusing, pilek, mata merah, dan nyeri persendian, menyerupai gejala flu. Tapi terkadang, pada beberapa kasus, penderita tak mengalami gejala-gejala tersebut.

Penyakit campak dan rubella tak dapat diobati, namun penyakit ini dapat dicegah dengan vaksin MR, yang merupakan cara pencegahan terbaik. UNICEF juga membeberkan bahaya penyakit campak, di antaranya komplikasi serius seperti diare, radang paru, radang otak, kebutaan, gizi buruk, hingga kematian. Sedangkan rubella, biasanya berupa penyakit ringan pada anak. Namun jika penyakit ini meluar pada ibu hamil, dapat menyebabkan keguguran atau kecacatan pada bayi yang dilahirkan.

Kecacatan yang timbul dari penyakit ini berupa Sindroma Rubella Kongenital yang meliputi kelainan jantung, kerusakan jaringan otak, katarak, ketulian, dan keterlambatan perkembangan.

Berdasarkan catatan WHO (PDF) hingga Agustus 2018, Indonesia menduduki peringkat ketujuh negara dengan kasus campak terbanyak di dunia. Jumlah kasus campak tertinggi dipegang oleh India (56.151 kasus), yang diikuti Ukraina (26.894 kasus), Filipina (8.992 kasus), Nigeria (8.622 kasus), Yaman (6.322 kasus), Serbia (5.645 kasus), Indonesia (4.897 kasus), Cina (4.498 kasus), Kongo (3.587 kasus), dan Pakistan (3.442 kasus).

Sedangkan pada kasus rubella, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah India untuk wilayah kerja South East Asia, dengan jumlah kasus 1.853 kasus.

Sejak 1950, Pemerintah Malaysia telah mewajibkan penduduknya untuk mengikuti Program Imunisasi Kebangsaan. Dilansir dari situs resmi milik Kementerian Kesehatan Malaysia (PDF), vaksin campak dan rubella termasuk dalam vaksin wajib yang diberikan secara gratis oleh negara.

Pada poin nomor 27 dalam Peraturan tentang Imunisasi di Malaysia, tertulis bahwa penggunaan vaksin dalam program imunisasi bertujuan untuk menekan bahaya dari penyakit tertentu dan selaras dengan Kaidah Fiqhiyyah yaitu mencegah kerusakan lebih penting daripada mendahulukan kepentingan tertentu, sebab kecacatan dapat berkembang dan memiliki bahaya yang lebih besar jika tidak dicegah sejak dini. Dalam peraturan tersebut, Malaysia juga menyertakan ayat 195 dari Surah Al-Baqarah yang tertulis “Dan janganlah kamu sengaja mencampakkan diri kamu ke dalam bahaya kebinasaan”.

Dibandingkan Indonesia, angka kasus campak dan rubella di Malaysia jauh lebih rendah. Pada kasus campak, jumlah penderita di Malaysia sebesar 2.362 orang, sedangkan Rubella hanya 105 kasus.

Infografik Campak dan Rubella

Sementara itu, di Indonesia masih ada sikap anti-vaksin, yang membuat potensi banyak anak terserang campak dan rubella. Di Provinsi Kepulauan Riau, misalkan, campak dan rubella menjangkiti ratusan anak.

“Selama tahun lalu sampai tahun ini, sudah 200 anak yang dideteksi campak dan rubella,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kepulauan Riau, Tjetjep Yuliana di Batam, dilansir Antara.

Guna menekan angka itu, Tjejep menyatakan bahwa pihaknya akan berusaha mendorong warga yang berusia 9 bulan hingga 15 tahun dalam program imunisasi campak-rubella/ MR). Pasalnya, hingga pekan kedua September 2018, baru 38% anak di provinsi tersebut yang menerima vaksin.

Tapi ternyata, usaha Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau itu tak mudah. Sebab masih banyak sekolah yang menolak karena faktor kepercayaan.

Serangan penyakit rubella tak hanya terjadi di Kepulauan Riau saja. Di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 37 santri dinyatakan positif menderita dua penyakit tersebut.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjarbaru, Agus Widjaja mengatakan, mulanya mereka meminta 52 orang yang diduga terkena campak dan rubella untuk tidak beraktivitas di pondok pesantren. Namun setelah 40 sampel dikirimkan ke laboratorium di Surabaya, ternyata 37 orang dinyatakan positif terkena rubella.

Agus menyatakan bahwa target imunisasi di Banjarbaru mulanya sebanyak 60%, namun hingga akhir Agustus, target itu baru tercapai setengahnya.

“Pemberian vaksin sempat tertunda karena pro dan kontra sehingga tidak mencapai target. Tapi sekarang karena pentingnya vaksin sehingga kami bekerja maksimal selama September,” katanya.

Penundaan pemberian vaksin rubella juga terjadi di Aceh. Dikutip dari Antara Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah hingga Agustus lalu masih bersikeras untuk menunda vaksin rubella hingga dinyatakan kehalalannya. Bahkan, pemerintah Aceh meminta vaksin yang telanjur didistribusikan untuk ditarik kembali.

“Karena itu, kami minta jangan ada dulu imunisasi rubella hingga ada pernyataan halal dari Majelis Ulama Indonesia atau MUI, sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan sertifikasinya,” ucap Nova.

Untuk meningkatkan angka vaksin tersebut, Ketua Komisi Hkum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Abdul Ghofar menegaskan bahwa imunisasi vaksin Measles Rubella (MR) hukumnya mubah. Keputusan itu diambil karena hingga kini belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci.

“Penggunaan vaksin MR produk dari Serum Institut of India (SII), pada saat ini, dibolehkan (mubah) karena ada kondisi keterpaksaan (darurat syar’iyyah),” kata Abdul Ghofar.

Apa yang terjadi di Indonesia memang sangat disayangkan. Sebabnya, imunisasi terbukti dapat mengurangi angka kejadian campak di dunia. Ini bisa ditengok dalam laporan WHO berjudul “Progress Toward Regional Measles Elimination – Worldwide, 2000-2016" yang ditulis oleh Alya Dabbagh, dkk (PDF).

“Selama periode ini, laporan tahunan melaporkan angka kejadian campak menurun 87%, dari 145 kasus menjadi 19 kasus per 1 juta penduduk, dan diperkirakan angka kematian akibat campak menurun 84%, dari 550.100 menjadi 89.780 penduduk. Vaksinasi campak diperkirakan dapat mencegah 20,4 juta kematian,” ungkap Alya Dabbagh, dkk.

Di Eropa, keberhasilan program imunisasi telah membuat campak tak lagi menjadi endemik. Pada laporan WHO di Copenhagen tahun lalu, beberapa negara seperti Denmark, Spanyol, dan Inggris bahkan telah dinyatakan bebas dari campak. Selain itu, Republik Moldova, Swedia, Republik Yugoslavia-Macedonia dinyatakan bebas dari rubella. Bahkan beberapa negara seperti Kroasia, Islandia, Lithuania, Montenegro, dan Uzbekistan berhasil menghilangkan kedua penyakit tersebut dari negaranya.

Baca juga artikel terkait VAKSIN atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Widia Primastika
Editor: Nuran Wibisono