Menuju konten utama

Di Balik Pentingnya Vaksinasi Rubella

Ibu hamil yang terkena rubella akan menularkan virus ke janinnya karena virus tersebut dapat menembus plasenta. Vaksinasi saat persiapan kehamilan sangat penting.

Di Balik Pentingnya Vaksinasi Rubella
Ilustrasi Rubella yang menyerang perempuan hamil. Foto/Laterra43

tirto.id - Jangan egois membiarkan anakmu tak mendapat vaksin rubella karena orang lain bisa jadi kena getahnya.

Satu dasawarsa lebih bocah tambun berparas jenaka itu melewati kehidupan. Sekilas tak ada yang berbeda dari penampilannya. Zikra Nadhifsyah tumbuh menjadi anak ramah dengan senyum ceria yang selalu menggantung di wajah. Tapi ketika seksama berbincang dengannya, kau akan tahu bahwa ia berbeda.

Di telinga Nadhif menggantung perangkat bantu dengar. Sementara bola matanya tak cukup hanya ditanam lensa halus, anak ini masih harus memakai kacamata berlensa tebal sebagai alat bantu visual. Nadhif mampu berkata-kata, tapi masih harus belajar melafal dengan sempurna, mengucap huruf "S", "N”, dan 24 huruf lain.

“Sepekan sekali Nadhif terapi, ada juga aplikasi dari perangkat pintar yang saya gunakan untuk melatih komunikasinya,” kata sang bunda.

Nadhif lahir dengan kondisi otak mengecil, penyempitan jantung, dan gangguan penglihatan. Tiga hari umurnya di dunia, sebuah titik putih menyembul di bola mata Nadhif kecil. Dan semua gangguan itu permanen, harus dibawa Nadhif seumur hidupnya, dan tak bisa disembuhkan.

“Sebelum memulai program hamil, saya minta vaksin Measles, Mumps, Rubella (MMR) tapi saat itu dokter bilang tidak perlu.”

Senyum tersungging dari wajah Yunellia, meski suaranya tercekat saat mengenang masa-masa dirinya didiagnosis Rubella pada masa awal kehamilan anak kedua di Makassar. Sesekali matanya terlihat berkaca ketika menceritakan kondisi sang putra, Nadhif, yang lahir 11 tahun lalu.

Yunellia harus menjadi korban dari penularan virus Rubella yang entah darimana datangnya, sekaligus

ketidakacuhan dokter terhadap upaya pencegahan virus Rubella bagi ibu hamil. Sejatinya, ia termasuk perempuan yang aktif berburu informasi dan melek pengetahuan. Beragam referensi persiapan kehamilan, termasuk penyakit-penyakit yang berisiko menular pada ibu hamil ia pelajari.

Sebelum merencanakan kehamilan pun dengan sadar ia berkunjung ke dokter kandungan, meminta vaksin MMR. Yunellia ingat, dirinya belum pernah terkena campak dan khawatir virus tersebut dapat mempengaruhi janin.

Miris, upayanya tak bersinergi dengan sang dokter yang justru menyepelekan penyebaran virus dengan dalih “kejadian langka”. Akibatnya kecemasannya terbukti, Yunellia terkena demam ringan, ruam di tangan, dada, perut, dan punggung, tepat saat dirinya terlambat menstruasi. Setelah melakukan tes Torch, ia dinyatakan positif Rubella di awal kehamilan. Dokter tak dapat berbuat banyak dan hanya meresepkan obat-obatan serta vitamin untuknya, yang bahkan secara medis adalah sebuah kesia-siaan belaka.

“Saya berniat untuk tidak meneruskan kehamilan karena tahu pasti ada risiko kecacatan,” katanya. “Tapi, dokter saat itu melarang dengan alasan kode etik dan agama.”

Sindrom rubella kongenital (CRS) adalah kondisi ketika janin di kandungan terinfeksi virus rubella karena ibunya tertular penyakit tersebut saat mengandung. Laman Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit atau Disease Control and Prevention (CDC ) di bawah Kementerian Kesehatan AS, menyebutkan, bayi yang lahir akan berisiko mengalami gangguan seperti tuli, katarak, gangguan jantung, intelektual, kerusakan hati dan limpa, berat badan lahir rendah, serta ruam kulit.

Pada kasus Yunellia, anaknya, lahir dengan gangguan bawaan berupa katarak di mata kiri, tuli berat, gangguan jantung bocor 6 mm, gangguan hati, dan otak yang menyebabkan perkembangan motorik terlambat.

Anaknya kini bersekolah di SLB kawasan Cipete. Ia sudah duduk di bangku kelas lima sekolah dasar dan aktif mengikuti kegiatan bela diri di sekolahnya. Yunellia masih menyokong putranya dengan beragam terapi dan alat bantu guna menunjang tumbuh kembang. Ia sudah mulai menggunakan alat bantu dengar pada umur 3 bulan, melakukan operasi katarak di umur 16 bulan, dan masih melakukan terapi wicara di luar jam sekolah.

Tak terhitung sudah berapa banyak tenaga, waktu, dan biaya harus tercurah untuk buah hatinya. Untuk pengobatan medisnya saja, sampai saat ini mereka telah menghabiskan dana lebih dari Rp600 juta. Bisa dibayangkan, bagaimana nasib anak-anak dengan CRS yang terlahir dari keluarga menengah ke bawah. Sangat mungkin mereka luput dari fasilitas penunjang dan penanganan medis untuk memaksimalkan tumbuh kembang.

Berangkat dari pengalaman pribadinya, Yunellia bertekad untuk memberi lebih banyak edukasi tentang rubella kepada masyarakat. Akhirnya pada 2013, ia bersama dua rekannya membuat komunitas bernama Rumah Ramah Rubella. Harapannya sederhana, agar semua lapisan masyarakat peduli vaksin rubella, termasuk dokter, agar para ibu hamil bebas rubella, agar tak ada lagi bayi-bayi yang lahir dan harus menanggung beban seperti putranya.

“Lebih baik vaksin dengan biaya ratusan ribu, dibanding harus menanggung ratusan juta seperti saya.”

Infografik Rubella Pada Ibu Hamil

Mengapa harus Vaksin?

Di Jepang, pada 1976 hingga 1944 telah memasukkan vaksinasi rubella sebagai program imunisasi nasional. Kala itu hanya anak perempuan berumur 12-15 tahun yang wajib ikut program. Alasannya, tentu mencegah risiko terjadinya CRS yang menular lewat ibu hamil. Menurut paparan Yoshiyuki Sugishita, dkk dalam penelitian berjudul Ongoing rubella outbreak among adults in Tokyo, Japan, June 2012 to April 2013 (2013), program imunisasi rubella baru diikuti semua anak usia 12-90 bulan pada 1995.

Jepang mungkin sudah lebih dulu melek dampak rubella dengan menerapkan program vaksin sejak 1970-an. Namun, strategi preventif mereka kurang tepat di awal. Mugen Ujiie, Koji Nabae, dan Tokuaki Shobayashi dalam laporan mereka di 2014 bertajuk Rubella outbreak in Japan melaporkan terjadinya wabah rubella di Jepang pada 2012-2013.

Sekitar 15 ribu kasus rubella dan 43 kasus CRS dilaporkan ke National Epidemiological Surveillance of Infectious Diseases (NESID) di Jepang, antara 15 Oktober 2012 hingga 2 Maret 2014. Kemunculan kembali rubella di Jepang terutama menjangkiti pria berusia 35-51 tahun yang notabene tidak mendapat vaksin rubella pada periode tahun 1976-1944. Secara geografis, lebih dari 80 persen kasus dilaporkan di Tokyo, Osaka, dan daerah sekitar.

“Penyakit bisa musnah tapi muncul kembali karena masih ada faktor-faktor pembawanya, termasuk orang-orang yang belum sembuh benar,” kata dr. Kardiana Purnama Dewi, spesialis penyakit kulit dan kelamin dari RSPI.

Menurutnya, program pencegahan penyakit harus diterapkan secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk mempersempit rantai penyebaran. Masyarakat harus meningkatkan daya tahan tubuh dan melakukan vaksin untuk mereka dan anak-anaknya. Pada anak-anak dan orang dewasa, rubella bisa jadi hanya menimbulkan dampak ringan. Namun, ketika rubella menyerang ibu hamil, maka dampak seumur hidup harus ditanggung bayi.

“Penyebarannya dapat melalui udara atau kontak langsung dengan penderita,” Dewi memaparkan. “Diikuti dengan gejala demam, ruam, dan batuk pilek.”

Pada anak-anak dan orang dewasa, rubella bisa jadi hanya menimbulkan dampak ringan. Tapi ketika ia menyerang ibu hamil, maka dampak seumur hidup harus ditanggung bayi-bayi itu. Orangtua tak boleh egois menyingkirkan anak mereka dari program vaksin. Sebab anak mereka berpeluang terinfeksi sekaligus menjadi agen penyebar virus.

Jika terinfeksi di usia anak-anak, mereka mungkin akan sembuh dan menjalani hari-hari normalnya kembali. Tapi hidup calon anak-anak lain bisa sengsara hanya karena ketidakpedulian segelintir orang yang meremehkan vaksin. Penelitian yang disusun oleh Elise Bouthry, dkk pada 2014 menyebutkan virus rubella menular ke janin karena virusnya dapat menembus plasenta. Penularan di trimester pertama dapat menyebabkan keguguran, atau, jika janinnya tetap berkembang, mereka akan mengembangkan gangguan CRS. Berdasar jurnal Paediatrics Child Health (2007), janin yang terinfeksi rubella saat dua minggu pertama kehamilan akan terlahir dengan gangguan paling banyak.

“Yang paling umum adalah gangguan mata, pendengaran, dan kerusakan hati,” tulis jurnal tersebut.

Gangguan akan semakin ringan ketika janin terinfeksi antara 12 dan 20 minggu kehamilan. Sementara infeksi pada janin yang berusia lebih dari 20 minggu, lazimnya tidak menimbulkan gangguan.

Mencermati dampak panjang yang ditimbulkan virus rubella, maka program vaksinasi MR adalah mutlak. Jangan ada lagi bayi-bayi yang harus lahir menanggung beban karena ketidaktahuan atau egoisme penolakan vaksinasi.

Baca juga artikel terkait RUBELLA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra