tirto.id - Durhaka kepada orang tua dan mencuri adalah sebagian perbuatan tercela menurut Islam. Bahkan, keduanya termasuk dalam dosa besar. Bagi pelakunya telah disediakan balasan yang setimpal.
Durhaka pada orang tua
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk memuliakan orang tua. Dengan memuliakannya menjadi sebab seorang anak memiliki potensi menjadi ahli surga. Sebaliknya, saat anak durhaka, maka pintu neraka beserta hukuman di dalamnya telah menanti mereka.
Masuknya perilaku durhaka sebagai bagian dosa besar telah dinyatakan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam melalui hadits yang disampaikan oleh Abu Bakar. Nabi bersabda:
"Maukah aku ceritakan kepada kalian dosa besar yang paling besar, yaitu tiga perkara? Kami menjawab, Ya, Rasulullah. Rasulullah berkata: Menyekutukan Allah, dan mendurhakai dua orang tua. Rasulullah sedang bersandar lalu duduk, maka berkata Rasulullah: Tidak mengatakan kebohongan dan kesaksian palsu. Beliau terus mengulanginya sampai kami berkata semoga beliau berhenti." (HR Bukhari dan Muslim)
Bahkan, durhaka pada orang tua disandingkan nilai dosanya bersama perbuatan dosa besar lainnya seperti kemusyrikan hingga membunuh orang mukmin. Nabi Muhammad bersabda melalui pesan yang ditulis untuk penduduk Yaman dan dikirim lewat Amar bin Hamzah sebagai berikut:
“Sesungguhnya dosa yang paling besar di sisi Allah pada hari kiamat adalah syirik, membunuh mumkn tanpa alasan yang benar, lari dari perang ketika melawan kafir, durhaka kepada kedua orang tua, menuduh wanita suci dengan tuduhan perzinahan, mempelajari sihir, memakan harta riba dan memakan harta anak yatim.” (HR Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya).
“Ada tiga orang yang Allah haramkan mereka masuk surga. Pecandu Khomr, anak yang durhaka pada orang tua, dan dayyuts yaitu orang yang setuju dengan maksiat yang dilakukan keluarganya.” (HR Imam Ahmad, Imam Nasai, Al Bazzar dan Imam Hakim)
Dilansir Buletin Psikologi 2017, Vol. 25 No.2 , durhaka dapat dicegah dengan mengembangkan sikap birrul walidain. Birrul walidain adalah sikap berlapang dada dalam kebaikan kepada oran tua. Kebaikan tersebut diwujudkan dalam bentuk kebaikan yang nyata bagi kedua orang tua.
Perintah birrul walidain merupakan wujud dan terima kasih pada kedua orang yang sudah merawat semenjak dari bayi sapai dewasa. Kebaikan yang diberikan orang tua tidak dapat diimbangi kebaikan dari anak sebanyak apa pun itu. Orang tua bukan hanya merawat secara fisik, namun turut menyertakan sifat kasing sayang da rasa cinta pada anak.
Namun, ada kalanya seorang anak yang dulu durhaka pada orang tua yang telah tiada, ingin bertaubat sekaligus menebus kesalahan di masa lalu. Islam memberikan solusi terkait hal tersebut. Mengutip laman Provinsi Sumatra Barat, caranya yaitu:
1. Mendoakan orang tua
Nabi Muhammad bersabda, “Apabila seseorang meninggal, maka seluruh amalnya akan terputus kecuali 3 hal yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalaeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim dan An-Nasai).
2.Menyambung silaturahim pada karib kerabat orang tua
Nabi Muhammad bersabda, "Bentuk kebaktian kepada orang tua yang paling tinggi, menyambung hubungan dengan orang yang dicintai bapaknya setelah ayahnya meninggal.” (HR. Muslim)
Mencuri
Mencuri juga merupakan salah satu bentuk dosa besar. Nabi Muhammad bersabda, “Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir telur, lalu di lain waktu ia dipotong tangannya karena mencuri tali.” (HR. Bukhari no. 6285).
Syaikh Muhammad bin Shalil Al Utsaimin menanggapi hadits tersebut mengatakan, dipotongnya tangan pencuri lantaran dirinya meremehkan perbuatan mencuri lalu dia mencuri barang yang telah melewati nishab hadd pencurian. Dengan begitu, pencuri tersebut menerima hukuman potong tangan.
Di samping itu, Allah juga telah melarang perbuatan mencuri. Bahkan, hukuman potong tangan difirmankan langsung oleh Allah sebagai hukuman atas perbuatan tercela tersebut. Dalam surah Al Maidah ayat 38 Allah berfirman:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al Maidah: 38).
Tindakan pencurian bukan hanya akan mendapatkan hukuman di dunia saja. Namun, dirinya juga akan dilaknat oleh Allah. Di samping itu, mencuri juga merupakan bentuk kezaliman karena telah merampas harta orang lain. Harta dari mencuri pun sama sekali tidak halal.
Kendati demikian, perbuatan mencuri tidak langsung harus dihukum dengan potong tangan. Ada kriteria tertentu yang membuat pencuri tidak mendapatkan hukuman potong tangan yaitu:
1. Mencuri barang dengan nilai kecil dan tidak mencapai nishab pencurian. Nabi Muhammad bersabda,“Pencuri tidak dipotong tangannya kecuali barang yang dicuri senilai seperempat dinar atau lebih.” (Muttafaqun ‘alahi).
2. Barang yang dicuri tidak disimpan pada tempat penyimpanan.
Nabi Muhammad bersabda,“Tidak dipotong tangan pencuri bila mencuri kurma yang tergantung.” (HR. Ibnu Hazm dalam Al Muhalla 11/323, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’ 7398)
Hukuman pencurian di luar nishab pencurian dihukum dengan ta'zir. Ta'zir adalah hukuman yang diberikan sesuai ijtihad hakim. Misalnya yaitu penjara, cambuk, kerja sosial, dan sebagainya.
Hukuman potong tangan dalam kasus pencurian ini tampak seperti sanksi kejam yang melanggar hak asasi manusia (HAM). Namun perlu dicatat, dalam Islam, setiap syariat yang diturunkan akan membawa hikmah.
Dalam Jurnal Ulunnuha Vol 7 No. 2 (2018) disebutkan, penetapan hukuman potong tangan seperti yang disebutkan pada surah Al Maidah ayat 38 bertujuan memberikan jaminan kemashlahatan pada harta manusia. Harta manusia dijaga dari kerusakan, kehancuran, hingga berpindahnya kepemilikan dari jalan haram, yang semua itu tidak dibenarkan Islam.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Yulaika Ramadhani