Menuju konten utama
Mozaik

Dari Kuntau ke Pasar Senen: Menelusuri Riwayat Kampung Kwitang

Cerita tentang pasang surut Kwitang, kampung di Jakarta yang dibangun di atas kisah para legenda, pertukaran budaya, dan pembangunan yang menggilas zaman.

Dari Kuntau ke Pasar Senen: Menelusuri Riwayat Kampung Kwitang
Kwitang Tempo Dulu. wikimedia/Wereldmuseum

tirto.id - Di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat, ada ritme yang khas dan selalu menjadi penanda ruang hidup. Lantunan zikir di Masjid Al-Riyadh, gerak-gerik silat perguruan Mustika Kwitang, serta kios-kios buku tua yang masih bertahan. Kawasan ini bukan sekadar titik geografis di pusat Jakarta. Ia adalah palimpsest sejarah yang terus ditulis ulang.

Setiap gang dan tradisi di Kwitang memuat lapisan masa lalu: migrasi, perdagangan, politik, dan ingatan bersama. Di atas permukiman multietnis itu pula dibangun pusat bisnis modern.

Kwee Tang Kiam dan Kelahiran Sebuah Nama

Kwitang merupakan wijk (kampung) ke-13 dari 25 wijk yang berada di bawah Afdeling Batavia, District Weltevreden, Onderdistrict Senen. Toponimnya berakar dari kisah lisan tentang Kwee Tang Kiam.

Menurut narasi yang paling populer dan terus diulang-ulang, Kwee Tang Kiam adalah seorang pengembara dari Tiongkok yang menjejakkan kakinya di Batavia sekitar abad ke-17.

Ia menetap di sebuah kawasan yang saat itu belum bernama, di dekat Pasar Senen, dan memulai kehidupannya di sana. Dengan cepat, ia menjadi figur yang dominan di wilayah tersebut. Saking luasnya tanah yang ia miliki, masyarakat Betawi setempat mulai menyebut daerah itu sebagai kampung si Kwi Tang, sebuah penanda kepemilikan yang sederhana namun efektif.

Seiring waktu, lafal itu pun bergeser dan melekat menjadi nama Kwitang yang kita kenal hari ini.

Sosok Kwee Tang Kiam dalam berbagai catatan sejarah populer digambarkan dengan dua persona yang seolah berbeda. Di satu sisi, ia adalah seorang saudagar ulung. Di sisi lain, ia juga dikenang sebagai seorang pendekar Tiongkok yang sakti mandraguna.

Ia adalah seorang ahli bela diri Kuntao, sebuah aliran silat khas Tionghoa, dengan jurus-jurus yang memadukan kekuatan fisik, kecepatan, dan tenaga dalam yang dahsyat.

Kehebatannya dalam ilmu bela diri ini diakui oleh masyarakat sekitar, bahkan ia tidak segan untuk mengajarkan ilmunya kepada penduduk setempat. Dualitas sebagai pendekar dan saudagar ini bukanlah sebuah kontradiksi, melainkan sebuah pola realitas sosio-historis Batavia pada abad ke-17. Pada masa itu, Batavia di bawah VOC adalah sebuah kota pelabuhan yang dinamis namun juga penuh gejolak.

Sungai Kwitang Tempo Dulu

Sungai Kwitang Tempo Dulu. wikimedia/Wereldmuseum

Sebagai pusat perdagangan utama VOC di Asia, ia menawarkan peluang ekonomi yang besar, namun juga diwarnai oleh ketidakstabilan, persaingan, dan ancaman keamanan, baik dari kekuatan eksternal seperti Kesultanan Mataram maupun dari dalam.

Bagi seorang migran Tionghoa yang ingin bertahan, dibutuhkan lebih dari sekadar kelihaian berdagang. Kemampuan bela diri menjadi modal penting untuk melindungi diri, keluarga, dan aset dari berbagai ancaman.

Namun dua sosok di atas dibantah G.J Nawi dalam bukunya Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi (2016:127). Menurutnya tuan tanah bermarga Kwik di wilayah barat Jawa, termasuk Jakarta, tidak masuk akal. Sebab marga tersebut umumnya sebutan orang Tionghoa yang ada di Jawa bagian timur.

“Dalam sejarah pun tidak pernah terdengar nama tuan tanah yang dijadikan nama kampung,” sambung Nawi.

Sebaliknya, Nawi menyebutkan bahwa nama Kwitang kemungkinan berasal dari nama sebuah tempat di Tiongkok Selatan. Nama tersebut adalah Gnuidang, yang merupakan lafal Hokkian untuk Provinsi Guangdong. Teori ini cukup masuk akal, mengingat Guangdong adalah salah satu daerah asal utama para migran Tionghoa yang datang ke Nusantara.

Perpaduan Kuntau dan Silat

Meski sosok Kwee Tang Kiam diselimuti kabut misteri, warisannya tetap hidup lewat Silat Kwitang, gaya bela diri hasil akulturasi kuntau Tiongkok dan pencak silat Betawi. Pewaris utama dari tradisi bela diri ini adalah Perguruan Silat Mustika Kwitang. Dianggap sebagai salah satu perguruan silat tertua di Jakarta, Mustika Kwitang menjadi institusi yang melestarikan dan menyebarkan aliran ini.

Perguruan ini secara resmi didirikan oleh Haji Muhammad Djaelani, yang lebih akrab disapa Mad Djaelani, pada tahun 1945. Nama aliran yang diajarkan yaitu “Gie Siau Kwee Tang Kiam”, yang memiliki gaya silat tersendiri yang membedakannya dari aliran Betawi lainnya.

Menurut salah satu cucu Mad Djaelani, Zakaria, ciri khas silat Kwitang ialah gerakannya yang cepat dan kuat dengan daya tahan pada kuda-kuda.

“Umumnya menghadapi serangan lawan secara langsung, yaitu adu kekuatan tangan,” sambungnya ketika ditemui di rumahnya pada 2018 silam.

Karakteristik ini menunjukkan pengaruh kuat dari Kuntau yang lebih mengandalkan kekuatan fisik dan kecepatan, berbeda dengan beberapa aliran silat Betawi lain yang dominan menonjolkan aspek kebatinan.

Lebih dari sekadar teknik bertarung, Silat Kwitang adalah monumen hidup dari proses kreolisasi budaya. Studi akademis dari Universitas Negeri Jakarta (2024) secara khusus meneliti proses akulturasi ini. Temuan menghasilkan bagaimana pertukaran ilmu bela diri antara jagoan kungfu Tiongkok dan jawara Betawi melahirkan Perguruan Pencak Silat Mustika Kwitang.

Reputasi Kwitang sebagai sarangnya para pendekar tangguh bukanlah isapan jempol. Jauh sebelum perguruan ini resmi berdiri, citra tersebut sudah melekat. Hal ini bahkan terekam dalam karya sastra Melayu Rendah pada abad ke-19. Dalam novel terkenal Tjerita Njai Dasima: Soewatoe Korban dari pada Pemboedjoek karya G. Francis (1896), dikisahkan bahwa tokoh pembunuh bayaran yang menghabisi nyawa sang nyai adalah seorang jagoan yang berasal dari Kwitang.

“Itoe Djago namanja si Poasa, tinggal di Kampoeng Kwitang; badannja besar, tinggi dan koeat, koelitnja hitam, dadanja lebar, matanja mera dan bidji matanja goemilag; orang tiada brani liat matanja, serta moeloetnja lebar, koepingnja besar, di pipinja ada bekas sendjata, sebab tadinja dia beklai dengen satoe orang,” tutur Francis menyebut nama Poasa, orang Kampung Kwitang yang diduga membunuh Nyai Dasima.

Referensi sastra ini menunjukkan bahwa pada akhir abad ke-19, Kwitang telah memiliki reputasi yang sangar sebagai kampung para pendekar.

Proyek Senen dan Pasang Surut Pasar Buku

Meninggalnya Kwee Tang Kiam menandai titik balik Kwitang. Seturut pemerhati sejarah dan budaya, Djulianto Susantio, putra Kwee Tang Kiam, pewaris yang boros dan gemar berjudi, menjual tanah demi tanah untuk menutup utang. Lahan-lahan itu kemudian dibeli saudagar Arab, memicu pergeseran besar dalam demografi dan budaya kawasan.

“Komunitas Arab Betawi ini kemudian mendirikan masjid Kwitang yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 1963,” sambung Djulianto, dikutip harian Warta Kota (23/08/2012).

Gelombang migran Hadhrami mulai menancapkan akar di Kwitang, bagian dari arus migrasi panjang yang menguat sejak pembukaan Terusan Suez. Transformasi mencapai puncaknya lewat sosok Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi. Ia mendirikan Majelis Taklim dan Masjid Al-Riyadh, menjadikan Kwitang pusat kealiman Betawi.

Citra lama sebagai kawasan Tionghoa perlahan tergantikan. Di bawah pengaruh Habib Ali, Kwitang menjelma jadi simbol kesalehan Islam, tempat berkumpulnya ribuan jemaah, dan lahirnya ulama-ulama besar. Pengaruhnya melintasi zaman, dari kolonial Belanda hingga Indonesia merdeka.

Paruh kedua abad ke-20 jadi titik balik Kwitang. Di era Gubernur Ali Sadikin (1966-1977), Jakarta digarap jadi ibu kota modern. Ia meluncurkan “Proyek Senen” yang menghapus kawasan lama, termasuk ruko-ruko Tionghoa, demi pusat komersial dan infrastruktur baru.

Di balik buldoser, tekanan politik juga ikut melenyapkan warisan budaya. Inpres No.14/1967 melarang ekspresi Tionghoa di ruang publik. Atap berbentuk ekor walet (yanwei) yang megah, ornamen naga atau singa, serta ukiran-ukiran kayu yang rumit dihilangkan atau disederhanakan agar tidak lagi tampak asing.

Mengingat Kwitang secara administratif merupakan sebuah kelurahan di dalam Kecamatan Senen, lokasinya yang strategis membuatnya tidak bisa menghindar dari dampak langsung pembangunan ini.

Pasar Buku Kwitang sepi pengunjung

Pedagang menunggu kiosnya di Pasar Buku Kwitang, Jakarta, Senin (3/6/2024). ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/Spt.

“Proyek Senen” akhirnya mengganti bangunan-bangunan lama dengan kompleks perbelanjaan modern yang terdiri dari beberapa blok, Blok I hingga VI, terminal bus yang terintegrasi, serta infrastruktur penunjang seperti jembatan layang dan terowongan.

“[...] kawasan Senen sebagai pusat Jaya ini terdiri dari pasar kue subuh, pasar tradisional, pasar pakaian, dan bursa buku murah Kwitang,” tulis JJ Rizal dkk dalam buku Menguak Pasar Tradisional Indonesia (2013:23).

Usai diterpa modernisasi dan tekanan politik, Kwitang kembali menata citranya. Di paruh akhir abad ke-20, kawasan ini menjelma jadi pusat literasi legendaris, dikenal luas sebagai surga buku Jakarta.

Sejak 1970-an, deretan kios dan lapak di trotoar Kwitang menawarkan buku baru dan bekas dengan harga miring. Pelajar, mahasiswa, dan pemburu bacaan langka menjadikan tempat ini destinasi utama.

Identitas literasi Kwitang berakar dari Toko Buku Gunung Agung yang didirikan Tjio Wie Tay (Haji Masagung) pada 1953. Gunung Agung bukan sekadar toko, tapi pusat distribusi dan penerbitan buku. “Pekan Buku Indonesia” pertama tahun 1954 memperkuat kawasan ini sebagai poros perbukuan nasional.

Popularitas Kwitang memuncak lewat film Ada Apa Dengan Cinta? (2002). Adegan Rangga dan Cinta menyusuri lorong-lorong Kwitang menjadikan literasi bukan cuma aktivitas, tapi juga kenangan romantis yang mengakar.

Abad ke-21 membawa tantangan baru bagi Kwitang. Seturut jurnal bertajuk “Arsitektur Narasi di Pasar Buku Kwitang”, munculnya e-commerce dan buku digital memukul pedagang konvensional.

Kwitang mengalami penurunan aktivitas ekonomi dan degradasi fisik, meskipun tetap berfungsi sebagai pasar buku. Hanya ada beberapa toko buku yang aktif meskipun keadaan lingkungan tidak memadai.

Relokasi besar-besaran oleh Pemprov DKI pada 2008 makin memecah konsentrasi pedagang. Kwitang kehilangan daya tarik sebagai pusat buku. Simbol kejatuhan paling kentara: tutupnya semua gerai Toko Buku Gunung Agung pada 2023, menutup era 70 tahun literasi.

Meski meredup, harapan tetap menyala. Ada usulan revitalisasi dengan menjadikan Kwitang zona wisata literasi, menghadirkan ruang komunal yang hormat pada sejarah dan adaptif terhadap zaman.

Kiwari, kisahnya belum selesai.

Baca juga artikel terkait SEJARAH JAKARTA atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi