Menuju konten utama

Sejarah Toko Buku Gunung Agung yang Tutup & Kasus PHK Massal

Berikut sejarah Toko Buku Gunung Agung yang lakukan PHK massal. 

Sejarah Toko Buku Gunung Agung yang Tutup & Kasus PHK Massal
Toko buku gunung agung. FOTO/facebook/Tangcity Mall

tirto.id - Toko Buku Gunung Agung legendaris di Indonesia akan segera menutup seluruh outlet di tahun 2023 ini setelah mengalami kerugian besar, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) massal sekitar 200 pekerja lebih di tahun 2020-2022.

Kabar penutupan toko buku ini sempat jadi bahan perbincangan warganet hingga trending di sejumlah platform media sosial. Banyak pecinta buku menyayangkan hal tersebut. Pasalnya, Toko Buku Gunung Agung menjadi salah satu toko buku tertua di Indonesia yang telah berdiri sejak tahun 1953.

PT Gunung Agung Tiga Belas yang menjadi induk Toko Buku Gunung Agung secara resmi mengumumkan akan segera menutup semua cabang tokonya di berbagai kota tahun 2023 ini setelah merasa penjualan bukunya tak mampu menutupi biaya operasional yang semakin meningkat tiap tahunnya.

“Keputusan ini harus kami ambil karena kami tidak dapat bertahan dengan tambahan kerugian operasional per bulannya yang semakin besar,” ungkap Manajemen PT Agung Tiga Belas melalui keterangan resminya pada Minggu, 21 Mei 2023.

Sejak tahun 2020, Toko Buku Gunung Agung secara bertahap telah melakukan PHK massal ratusan pekerja. Beberapa cabang yang sudah ditutup ada di wilayah Surabaya, Bogor, Bekasi, Jakarta, Semarang, Gresik, dan Magelang.

Sejarah Toko Buku Gunung Agung

Gunung Agung merupakan salah satu toko buku legendaris yang didirikan pada tahun 1953 di Jakarta oleh Tjio Wie Tay, atau dikenal sebagai Haji Masagung.

Awalnya, Haji Masagung memulai bisnis dari kios sederhana bernama Thay San Kongsie, dengan menjual buku, surat kabar, dan majalah. Di tahun tersebut, kebutuhan buku dan surat kabar tengah meningkat hingga membuat bisnis Haji Masagung tumbuh pesat.

Sebelum Haji Masagung menekuni bisnis perbukuan dan surat kabar di tahun 1945, dia sempat membentuk kongsi dagang bersama Lie Tay San dan The Kie Hoat menjual rokok.

Namun, tingginya permintaan buku setelah era kemerdekaan Indonesia membuat Tjio Wie Tay memanfaatkan momen tersebut untuk menjamah bisnis di dunia perbukuan dan surat kabar.

Meskipun di tahun tersebut masih terdapat beberapa toko buku asing, nyatanya toko buku Tay San Kongsie alias Toko Buku Gunung Agung ini disebut memiliki kualitas yang lebih baik hingga mampu memenangkan persaingan pasar.

Setelah kios sederhananya semakin berkembang, di tahun 1951 Tjio Wie Tay membeli rumah sitaan Kejaksaan di Jalan Kwitang Nomor 13, Jakarta Pusat, yang dijadikan sebagai rumah produksi surat kabar dan penjualan buku.

Baru di tahun 1953, Tjio Wie Tay melebarkan sayapnya menjadi Firma Gunung Agung yang berfokus pada penerbitan dan impor buku.

Kemudian pada 8 September 1953, Tjio Wie Tay mengadakan perhelatan pameran buku pertama di Jakarta yang sekaligus menjadi penanda awal berdirinya Toko Buku Gunung Agung.

Setahun berselang, Gunung Agung dipercaya menggelar pameran buku di Medan dalam rangka Kongres Bahasa di tahun 1954, serta mengadakan pameran buku pertama di Indonesia bertajuk Pekan Buku Indonesia 1954.

Di tahun yang sama, Gunung Agung semakin melebarkan sayap dengan menjamah dunia kepenulisan bibliografi.

PHK Massal Setelah 70 Tahun Beroperasi

Berdiri kurang lebih 70 tahun, Toko Buku Gunung Agung telah melalui berbagai fase naik turun, mulai dari puncak kejayaan sebelum tahun 90-an hingga terjadinya PHK massal di tahun 2020.

Terkait kabar PHK massal ini, Presiden Aspek Indonesia, Mirah Sumirat, sempat mengatakan bahwa pihaknya mendapatkan laporan pengaduan dan permohonan advokasi terhadap kasus PHK massal di Toko Buku Gunung Agung.

Menurut Sumirat, PHK itu tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan para pekerja mengaku tak mendapatkan hak yang semestinya.

Berdasarkan laporan, Sumirat memperkirakan, sekitar 220 pekerja mendapatkan PHK massal dalam kurun waktu tahun 2020-2022, kemudian akan berlanjut lagi di tahun 2023.

Pihak Sumirat sempat mengajukan permohonan audiensi dengan PT Gunung Agung Tiga Belas. Sayangnya, Direksi PT GA Tiga Belas menolaknya dengan alasan bahwa peristiwa yang terjadi merupakan masalah internal perusahaan.

Sejauh ini, belum ada informasi terbaru terkait jumlah total pekerja yang terkena PHK dan apakah para pekerja mendapatkan pesangon atau hak-hak semestinya sebagai pegawai.

Baca juga artikel terkait AKTUAL DAN TREN atau tulisan lainnya dari Imanudin Abdurohman

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Imanudin Abdurohman
Penulis: Imanudin Abdurohman
Editor: Alexander Haryanto