tirto.id - Sejak awal pertengahan tahun ini, istilah “Densus Antikorupsi” dalam tubuh Polri kembali mencuat. Semula muncul di Senayan, belakangan berembus dari Trunojoyo—markas besar Polri.
Meski institusi yang dipimpin Jenderal Polisi Tito Karnavian ini sudah punya Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Tipidkor) di bawah Badan Reserse Kriminal, pembentukan badan baru antirasuah dengan kewenangan setara Komisi Pemberantasan Korupsi itu dianggap perlu oleh Tito, dan langsung didukung oleh Komisi III DPR.
Namun, usulan Densus Antikorupsi sebetulnya wacana usang yang dibangkitkan kembali. Semula ia muncul saat uji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri baru ketika Jenderal Polisi Sutarman menggantikan Jenderal Polisi Timur Pradopo.
Kamis, 17 Oktober 2013, Ahmad Yani—saat itu anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP—bertanya kepada Sutarman, “Apakah Kapolri di bawah Pak Sutarman punya komitmen untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi pemberantasan korupsi?”
Setelah Sutarman mengiyakan, Ahmad Yani menyampaikan pandangan bahwa struktur Direktorat III Tipidkor di bawah Bareskrim Polri “tidak memadai” untuk menangani kasus korupsi yang digolongkan sebagai kejahatan luar biasa.
“Kesimpulan saya, harus ada yang namanya Densus Antikorupsi. Itu usul genuine saya, semua komisi III DPR mendukung. Setelah itu ditindaklanjuti melalui rapat kerja,” ujar Yani kepada reporter Tirto, yang mengklaim bahwa saat itu anggota DPR “siap membantu mengembangkan anggaran” jika dibentuk badan baru bernama Densus Antikorupsi Polri.
Saat mengusulkan, Yani juga mengatakan ia “sudah jauh hari” mempelajari tata hukum pemberantasan korupsi dengan mengkaji pola kerja KPK dan kejaksaan. “Densus diberikan kewenangan yang sama dengan KPK,” tambahnya.
Latar belakang Ahmad Yani sendiri kontroversial. Setelah menjadi anggota Komisi III DPR, ia gagal mencalonkan diri sebagai komisioner KPK. Ia mengundurkan diri sebagai calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Saat Pilgub DKI Jakarta 2017, ketika PPP kubu Djan Faridz mendukung Basuki Tjahaja Purnama dan kubu Muhammad Romahurmuziy mendukung Agus Harimurti Yudhoyono, Ahmad Yani bergerak menjadi pecahan ketiga: ia mendukung Anies Baswedan. Saat ini ia berprofesi sebagai advokat.
“Tapi kelemahan di Polri itu rentan intervensi. Kelemahan di Kejaksaan Agung itu rentan intervensi. Jadi penyidiknya tidak begitu independen,” jelas Yani mengungkapkan apa kelemahan dari Densus Antikorupsi jika dibentuk.
Menanggapi usulan Yani, usai dilantik menjadi Kapolri, Sutarman langsung membentuk tim kajian yang terdiri Asisten Perencanaan dan Anggaran Kapolri. Nyaris sebulan kemudian, Sutarman menolak usulan pembentukan Densus Antikorupsi. Ia lebih memilih untuk menguatkan lembaga pemberantasan korupsi yang sudah ada di Polri.
Kapolri berikutnya, Jenderal Polisi Badrodin Haiti, tak pernah menyinggung Densus Antikorupsi saat melewati mekanisme yang sama dengan Komisi III DPR. Dalam arsip percakapan rapat pleno dengan komisi bidang hukum, hak asasi manusia, dan keamanan itu pada 16 April 2015, Badrodin menegaskan lebih akan membentuk tim khusus internal guna mencegah korupsi berkembang luas di institusi Polri.
Begitu juga saat Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian. Pada 23 Juni 2016, di depan Komisi III DPR, Tito mengatakan bakal membereskan pelayanan Polri dan mendukung kebijakan pembentukan pengawasan independen demi mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme meluas di institusinya.
Namun, perkembangan berikutnya justru berkebalikan.
Dua hari setelah Tito dilantik, pada 15 Juli 2016, Fahri Hamzah—wakil ketua DPR yang dipecat dari Partai Keadilan Sejahtera—kembali menghidupkan wacana lama tersebut. Ia ingin Polri memiliki pelbagai kewenangan spesial seperti KPK.
Bagi Fahri Hamzah, KPK merupakan lembaga yang dibentuk untuk dibubarkan kelak, dan perannya dikembalikan ke Polri serta kejaksaan sebagai lembaga permanen.
Dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR pada 23 Mei 2017, Kapolri Tito Karnavian mengeluh anggaran Direktorat Tipidkor “sangat rendah” dibandingkan KPK, sehingga penanganan korupsi “tak bisa maksimal.”
Tito lantas mengusulkan pembentukan Densus Antikorupsi dengan istilah Densus Tipikor. “Hanya saja kelebihan teman-teman di KPK, mereka kolektif-kolegial dan diangkat DPR, jadi lebih kebal daripada, maaf, intervensi,” katanya.
Dalam waktu singkat tawaran Tito disambut oleh Komisi III DPR.
“Komisi III DPR mendesak Polri membentuk Densus Tipikor dengan anggaran khusus,” kata Desmond Junaidi Mahesa, wakil ketua Komisi III dari Fraksi Gerindra, saat membacakan poin ke-6 kesimpulan rapat kerja dengan Kapolri.
Selain itu, Pansus Hak Angket KPK di DPR juga memilih pasang badan untuk pembentukan Densus tersebut. Pansus Hak Angket itu dibentuk untuk mengevaluasi kinerja KPK, termasuk wewenang penyadapan, yang bermuara dari megakorupsi e-KTP yang menyeret para politikus kakap Senayan.
Baca juga:
- Ketagihan Duit e-KTP
- Anggota DPR yang Hobi Bolos tapi Getol Melawan KPK
- Kekonyolan Pansus Angket KPK Minta Keterangan Napi Koruptor
Anggaran Tambahan untuk Densus Antikorupsi
Usai menggelar rapat dengan Irjen Bambang Sunarwibowo mengenai rancangan anggaran Polri tahun 2018, Ketua Badan Anggaran DPR yang juga anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Aziz Syamsuddin, siap membantu Polri mendapat tambahan bujet.
Anggaran Polri pada 2018 sendiri, dalam situs Kemendagri, sebesar Rp77,751 triliun, atau menurun 7,4 persen dari anggaran tahun ini Rp84 triliun. Anggaran ini adalah ketiga terbesar setelah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Kementerian Pertahanan dalam RUU APBN 2018 yang dibacakan Presiden Joko Widodo dalam Sidang Paripurna DPR, Agustus lalu.
Baca juga:
Dari rapat pleno itu, anggaran Densus Antikorupsi masuk dalam rancangan tersebut, yang diproyeksikan sebesar Rp975 miliar dari anggaran Polri tahun 2018. KPK sendiri untuk tahun 2018 mengajukan anggaran sebesar Rp790 miliar. Anggaran KPK sempat diancam akan dibekukan oleh Mukhamad Misbakhun, anggota Pansus Hak Angket KPK serta anggota Komisi III dari Fraksi Partai Golkar—salah satu dari rentetan serangan terhadap KPK oleh para politisi Senayan sepanjang tahun ini. (Baca: Densus Tipikor Bekerja Maksimal dengan Dana Rp975 M)Anggaran Rp975 miliar itu rencananya untuk menguatkan struktur: menaikkan Direktorat Tipidkor setara Bareskrim Polri, lantas mengubah namanya menjadi Densus Tipikor atau Densus Antikorupsi, yang bertanggung jawab langsung di bawah Kapolri. (Baca: Densus Antikorupsi Lebih Kuat dari Direktorat Tipidkor Bareskrim Polri)
Meski wacana ini terus menguat sepanjang September, dan dipertegas dengan pernyataan para perwira Polri—bahwa pembentukan Densus Antikorupsi akan dikebut hingga akhir tahun dan mulai beroperasi awal tahun 2018—kewenangan lembaga baru Polri ini belumlah jelas.
Salah satunya, di antara hal lain, Densus Antikorupsi ingin memiliki jaksa penuntut umum sendiri.
Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan bahwa Polri merencanakan hal tersebut. Berkas perkara tak akan dikonsultasikan dan dikirim ke Kejaksaan lagi, seperti KPK. Namun, Prasetyo menolaknya; ia tidak ingin kejaksaan atau jaksa ditarik untuk bergabung dengan Densus Antikorupsi.
“Tidak mesti kita harus membentuk di satu kantor yang sama seperti KPK. Kami masing-masing punya kemandirian untuk bersama-sama melaksanakan tugas, tanggung jawab melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi,” ujar Prasetyo kepada reporter Tirto.
Prasetyo mengacu pada hukum pidana Indonesia. Polri hanya berwenang menyelidiki dan menyidik kasus. Sementara jaksa yang menentukan apakah berkas dakwaan sudah lengkap atau tidak, dan memprosesnya ke pengadilan.
Meski begitu, kejaksaan agung mendukung pembentukan Densus Antirkorupsi. Alasannya, jaringan kerja Polri yang luas, dari provinsi hingga kecamatan, bisa “menjadi rekan baru yang lebih kuat” untuk memberantas korupsi.
“Korupsi di Indonesia, kan, masih begitu menggurita, masih meluas, bahkan sampai ke daerah-daerah secara masif, intensif, dan kadang dilakukan bersama-sama,” ujarnya.
Begitu juga dengan KPK, yang menilai Densus Antikorupsi bukanlah rival melainkan bisa berdiri dan bergerak bersama memberantas praktik korupsi.
“Kita akan bekerja sesuai kewenangan masing-masing. Densus itu, kan, mempunyai network lebih luas, kalau bisa berfungsi lebih banyak mungkin akan lebih bagus. Kalau sekarang, kan, polisi hanya kewenangan penyelidikan dan penyidikan, sedangkan penuntutan diberikan ke kejaksaan,” ungkap Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif, kepada reporter Tirto.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam