Menuju konten utama

Anggota DPR yang Hobi Bolos Tapi Getol Melawan KPK

Pansus Hak Angket KPK cacat sejak lahir. Pansus itu menghabiskan dana negara Rp3,1 miliar hanya untuk 60 hari kerja.

Anggota DPR yang Hobi Bolos Tapi Getol Melawan KPK
Anggota DPR menghadiri Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/5). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah ditetapkan memakan anggaran negara Rp3,1 miliar. Anggaran ini akan berlaku selama 60 hari sampai Pansus Hak Angket KPK memberikan laporannya pada rapat paripurna DPR.

“Sekitar Rp3 miliar, selama 60 hari ini. Sebetulnya itu untuk konsumsi selama rapat-rapat,” ungkap anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP yang menjadi Anggota Pansus Hak Angket KPK, Eddy Kusuma Wijaya, saat berbincang dengan reporter Tirto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis kemarin.

Selain untuk konsumsi, dana sebesar itu untuk memanggil para ahli, pihak terkait, dan kunjungan keluar kota.

Sebelumnya, Pansus Hak Angket KPK tersebut dilahirkan oleh DPR RI dalam wujud yang cacat. Sebabnya, Pansus tersebut disetujui secara sepihak oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah pada rapat paripurna DPR, Jumat, 28 April lalu.

Pansus juga disepakati dalam rapat paripurna yang hanya dihadiri 204 anggota DPR. Saat itu, ada sebanyak 120 anggota DPR izin sakit. Sisanya, sebanyak 218 anggota DPR bolos. Itu pun belum dikurangi 30 anggota Fraksi Partai Gerindra yang menyatakan walk out dari rapat paripurna.

Padahal, untuk mencapai kuorum, jumlah anggota DPR yang harus hadir ialah 279 anggota dari jumlah keseluruhan anggota DPR. Hal ini berdasarkan pasal 169 ayat (3) dalam Peraturan DPR No.1 tahun 2014 tentang Tata Tertib bahwa usulan hak angket dinyatakan sah apabila dihadiri lebih dari setengah dari keseluruhan anggota DPR.

Dengan mengabaikan hal itu, Pansus Hak Angket KPK jalan terus. Hingga akhirnya memilih Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa, sebagai ketua Pansus Hak Angket KPK. Gunandjar menegaskan, KPK harus ikut aturan main politik DPR.

“Harus dibedakan antara proses hukum dan proses politik. Ini mekanisme politik yang tentunya juga haknya dewan,” ungkap Gunandjar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/6).

Gunandjar saat ini menjadi saksi kasus e-KTP yang tengah didalami KPK. Gunandjar diduga menerima dana senilai 1 juta dolar. Dana tersebut untuk pelicin agar Komisi II DPR dan Badan Legislatif DPR menyetujui anggaran proyek pengadaan e-KTP. Ini tercantum dalam surat dakwaan yang dibacakan jaksa dari KPK di Pengadilan Tipikor pada Kamis (9/3).

Namun, Gunandjar menganggap tak ada conflict of interest jika dirinya menjadi ketua Pansus Hak Angket KPK.

“Menurut saya enggak. Saya merasa enggak ada konflik apa-apa. Apa pun yang dalam konteks penegakan hukum KTP elektronik, saya jalani, hargai, patuhi. Saya ikuti,” ujarnya.

Pansus Hak Angket KPK bertujuan mendesak agar KPK membuka rekaman penyidikan terhadap Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura periode 2009-2014, Miryam S Haryani. Sebab Pansus Hak Angket KPK ingin membuktikan apa benar Miryam ditekan dan diancam oleh Bambang Soesatyo, Azis S, Masinton Pasaribu, Syarifuddin Sudding, dan Desmond terkait pencabutan BAP pada persidangan 23 Maret dan 30 Maret 2017 di Pengadilan Tipikor.

Mereka sudah ancang-ancang akan memanggil KPK. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP yang menjadi Wakil Ketua Pansus Angket KPK, Riska Mariska, menegaskan Pansus Hak Angket KPK memiliki wewenang untuk panggil paksa KPK atau siapa pun yang dirasa perlu dimintai keterangan.

“Jadi memang ada mekanismenya juga soal pemanggilan paksa itu. Kami enggak sembaranganlah. Apalagi hak angket ini, kan, hak yang sangat luar biasa dan sakral menurut kami, ya. Jadi saya minta kooperatiflah KPK,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis kemarin.

Riska adalah salah satu dari 45 anggota DPR pengusul revisi UU 30 tahun 2002 tentang KPK (UU KPK). Bersama Ichsan Soelistyo, Riska bahkan diutus oleh PDIP untuk menjelaskan maksud revisi UU KPK dalam rapat Badan Legislatif DPR pada 1 Februari 2016.

Memang dalam tata tertib DPR pada pasal 173, setiap orang yang dipanggil oleh Panitia Angket untuk dimintai keterangan wajib hadir. Dalam pasal tersebut pada ayat 4 disebutkan kewenangan bahwa jika seseorang yang dipanggil tidak memenuhi panggilan sebanyak 3 kali tanpa alasan yang sah, panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Polri. Mekanismenya, pimpinan DPR yang akan mengirimkan permintaan penjemputan paksa pada Polri.

Pakar Hukum dari Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), Bivitri Susanti menuturkan, tak masalah jika nantinya KPK menuruti panggilan Pansus Hak Angket KPK. Namun, Bivitri mengingatkan, KPK tak bisa membuka dokumen pro justisia di luar peradilan.

“Dipanggil sih datang saja. Cuma kalau nanti DPR meminta dokumen atau apa pun yang terkait dengan penegakan hukum, itu yang tidak boleh dikasih. Jelas sekali sebenarnya mereka mau menekan KPK karena ada dokumen yang tidak mau dibuka KPK, karena dokumen itu terkait dengan penegakan hukum,” katanya saat berbincang dengan Tirto, Kamis kemarin.

Sejauh ini dari 10 fraksi di DPR, masih ada Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi PKS yang kekeuh menolak usulan hak angket. Misalnya saja Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Desmond Junaidi Mahesa menegaskan, meski sebelumnya plin-plan, tetapi fraksinya telah memiliki kesepakatan menolak hak angket KPK.

"Gerindra, kan, sudah menarik delegasinya. Jadi saya tadi hanya peninjau saja. Ini sudah keputusan fraksi," kata Desmond di Kompleks Parlemen.

Senada dengan Desmond, Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR, Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas, menegaskan pihaknya tidak akan ikut serta dalam Pansus Hak Angket KPK.

“Fraksi Demokrat sejak awal tidak menginginkan adanya angket yang ditujukan ke KPK. Membela (KPK) itu bukan hanya di hak angket tetapi kami hari ini pun tetap membela KPK,” ucapnya di Kompleks Senayan.

Anggota DPR Hobi Bolos

Dari massa sidang I, yakni 16 Agustus 2016, hingga masa sidang V saat ini, tingkat kehadiran anggota DPR tidak pernah mencapai 50 persen. Bivitri Susanti menegaskan hal itu mencerminkan DPR tidak punya kinerja yang baik tapi ngotot melakukan pengawasan lewat hak angket.

"Ini membuat kita jadi pesimistis. Karena kerja mereka sendiri pun tidak bisa mereka penuhi. Memang kita memasuki tahun negosiasi politik, sementara pekerjaannya di DPR tidak diselesaikan dengan baik," ungkapnya.

Kini DPR telah memasuki masa sidang V DPR RI. Dalam rapat paripurna sebelum rapat perdana Pansus Hak Angket KPK, Kamis kemarin, hanya 306 anggota DPR yang membubuhkan tanda tangan dalam formulir absensi. Meski begitu, berdasarkan data Organisasi WikiDPR, hanya ada 79 anggota DPR yang berada di dalam ruang rapat paripurna. Total jumlah anggota DPR hingga kini ialah 559 anggota.

Sebagai informasi, perkara bolos mengikuti rapat ialah bagian dari budaya tersendiri bagi anggota DPR.

Dari data Organisasi WikiDPR, pada masa sidang ke IV (15 Maret - 28 April 2017), rata-rata kehadiran anggota DPR cuma 36,43 persen atau hanya 219 yang hadir dari 560 jumlah keseluruhan anggota DPR. Ada 100 rapat pengawasan DPR terhadap kinerja mitra kerja, 7 kali rapat pembahasan dan mengesahkan anggaran, 67 rapat pembahasan undang-undang, dan 87 rapat di luar ketiga fungsi utama DPR tersebut.

Pada masa sidang ke III (10 Januari - 23 Februari 2017), rata-rata kehadiran anggota DPR 48,39 persen atau hanya 271. Ada 145 rapat pengawasan, 3 rapat pembahasan dan mengesahkan anggaran, 54 rapat pembahasan undang-undang, dan 43 rapat di luar ketiga fungsi urama DPR.

Pada masa sidang ke II (16 November - 15 Desember 2016), rata-rata kehadiran anggota DPR 46,07 persen atau hanya 258. Ada 48 rapat pengawasan, 10 rapat pembahasan dan pengesahan anggaran, 47 rapat membahas undang-undang, dan 37 rapat di luar ketiga fungsi utama DPR.

Dan pada masa sidang ke I (16 Agustus - 28 Oktober 2016), rata-rata kehadiran anggota DPR 41,79 persen atau hanya 234 yang hadir. Rincian rapat mereka ada 130 rapat pengawasan, 166 rapat pembahasan dan pengesahan anggaran, 110 rapat membahas undang-undang, dan 67 rapat di luar ketiga fungsi utama DPR.

Bivitri menjelaskan, sebenarnya DPR melalui komisi III bisa melakukan pengawasan terhadap KPK. Namun, melalui hak angket, DPR memiliki kewenangan lebih dan lintas komisi.

“Tujuan mereka (DPR) lebih pada pertunjukan politik untuk menekan KPK, untuk menunjukkan kekuatannya. Dampaknya yang konkret ke masyarakat itu tidak ada,” tutupnya.

Baca juga artikel terkait HAK ANGKET KPK atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi & Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Dieqy Hasbi Widhana