Menuju konten utama
Newsplus

Partisipasi Publik Nihil, Mekanisme Check and Balance Terancam

Masyarakat sipil yang aspirasinya tak dianggap membuat proses check and balance antara legislatif dan eksekutif tidak berjalan.

Partisipasi Publik Nihil, Mekanisme Check and Balance Terancam
Ratusan mahasiswa yang berkumpul di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat, Kamis (20/3/2025). tirto.id/Dini Putri Rahmayanti

tirto.id - Minimnya partisipasi publik dalam mengesahkan revisi Undang-Undang TNI atau RUU TNI menjadi Undang-Undang (UU), memantik ketakutan publik bahwa fungsi wakil rakyat tak lagi berfungsi dalam menyampaikan aspirasi publik. Disahkannya revisi UU TNI dianggap sebagai gerbang bagi Neo Orde Baru.

DPR kini dianggap jadi tukang stempel kebijakan yang diinginkan oleh eksekutif, lalu rakyat dianggap sebagai OTK, alias “Orang Tak Dikenal”.

Staf Divisi Hukum KontraS, Azlia Amira Putri, menegaskan kalau masyarakat sipil yang dicap sebagai OTK membuat proses check and balance tidak berjalan. Padahal, merujuk pada Pasal 5 Undang-Undang (UU) No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tercantum asas keterbukaan.

“Asas ini menjelaskan bahwa seluruh lapisan masyarakat seharusnya memiliki akses dan kesempatan yang seluas-luasnya dalam memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” kata Amira kepada Tirto, Jumat (21/3/2025).

Keterbukaan ini juga berada dalam berbagai tingkatan, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan yang bersifat transparan dan terbuka.

Selain pasal 5, dalam UU yang sama, pasal 96 juga sudah menekankan bahwa pembentukan produk legislasi harus partisipatif bermakna. Ayat (1) pasal itu berbunyi bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Maka artinya, transparansi merupakan bagian mutlak yang tidak terpisahkan.

Setiap rancangan peraturan perundang-undangan juga harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat, untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis. Ini tertuang dalam pasal 96 ayat (4).

Masalahnya, draf RUU TNI tidak pernah disebarluaskan secara resmi oleh DPR. Hal itu kemudian diperburuk oleh komunikasi DPR yang sempat menyudutkan masyarakat yang kritis, dengan menyebut bahwa draf yang digunakan tidak sama dengan draf yang sedang dibahas.

Dalih Ketua DPR, Puan Maharani, bahwa perubahan UU 34 tentang Tentara Nasional Indonesia tetap berlandaskan pada nilai demokrasi, supremasi sipil, dan hak asasi manusia, seolah cuman ilusi, sebab prosesnya justru mencerminkan sebaliknya.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebelumnya juga sudah menyatakan kalau penyusunan revisi UU TNI ini minim partisipasi publik. Hal tersebut menyebabkan kurangnya transparansi penyusunan UU yang dikhawatirkan melahirkan dwifungsi TNI.

Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, mengatakan tak transparannya penyusunan UU TNI bertentangan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan.

"Komnas HAM memang mendorong agar seluruh RUU yang dibahas di DPR agar dilakukan secara transparan, terbuka, dan memberikan ruang partisipasi yang bermakna bagi setiap warga negara yang ingin menyampaikan pandangan," ucapnya saat konferensi pers, Rabu (19/3/2025), sehari sebelum revisi UU TNI disahkan.

DPR dan Pemerintah Seakan Satu Entitas

Peraturan perundang-undangan dapat dianggap cacat secara formil apabila transparansi dan partisipasi publik diabaikan. Amira menjelaskan, dengan DPR mengkerdilkan peran masyarakat sipil, serta bertindak sebagai tukang stempel untuk menggugurkan kewajiban saja, sesungguhnya menunjukkan bahwa pemerintah tidak sungguh-sungguh mendengar aspirasi rakyat.

“Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait dengan Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga menyatakan perlunya asas keterbukaan di mana partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945,” ungkap Amira.

Katanya, tidak terbukanya proses check and balance hanya akan membuka celah bagi kepentingan segelintir elit dan mengesampingkan kepentingan yang lebih besar, yakni rakyat Indonesia, yang memegang kekuasaan tertinggi. Transparansi dan partisipasi publik seharusnya menjadi pilar utama dalam setiap kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat.

Peneliti senior dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, pun mengamini hal tersebut. Menurutnya, pembahasan RUU TNI memang nampak menjadi sebuah pertunjukan di mana kita sulit membedakan antara peran legislatif dan eksekutif dalam pembuatan kebijakan kita.

Lucius bilang, proses pembahasan yang tertutup antara DPR dan Pemerintah membuat keduanya terlihat menjadi satu entitas saja. Apalagi, dengan tak adanya sikap yang berbeda dari keduanya.

“RUU TNI menurut dokumen Prolegnas [Program Legislasi Nasional] merupakan RUU usulan DPR. Karena itu seharusnya pula ide atau gagasan yang muncul dalam draf RUU merupakan ide DPR. Karena ide dari DPR, maka Pemerintah mestinya menjadi pihak yang memberikan pandangan berbeda melalui DIM [Daftar Inventarisasi Masalah] yang disodorkan untuk merespons draf RUU yang dikirimkan oleh DPR,” kata Lucius saat dihubungi Tirto, lewat aplikasi perpesanan, Jumat (21/3/2025).

Akan tetapi, kata Lucius, semua ini menjadi tak jelas. Apa yang kemudian tampak ke publik, RUU TNI adalah bikinan pemerintah, dan DPR hanya menjadi pihak yang mengikuti keinginan kekuasaan eksekutif, alias pemerintah.

“Ketergantungan yang begitu besar dari DPR pada pemerintah terlihat betul pada ketidakjelasan apa yang menjadi pemikiran DPR dalam gagasan mengenai peran dan tugas TNI itu. Ini semua dampak dari konstelasi politik kita yang sangat menentukan DPR dan pemerintah,” ungkap Lucius.

DPR sahkan RUU TNI menjadi UU

Suasana Rapat Paripurna ke-15 DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024–2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/nym.

Konstelasi politik itu ditunjukkan oleh koalisi parpol yang menghilangkan karakter masing-masing partai, hingga seolah-olah koalisi menjadi satu partai saja. Menurut Lucius, ini dampak dari watak pragmatisme parpol, di mana kekuasaan yang mereka dapatkan dibayar penuh dengan loyalitas.

“Ya akhirnya semua terlihat hanya menjadi satu kekuatan saja. Dalam konteks seperti itu, DPR memang tak bisa lagi menunjukkan dirinya sebagai wakil rakyat. Dia akan menjadi representasi partai secara total,” kata Lucius.

Oleh karenanya, desakan agar proses pembahasan dilakukan terbuka agar ada ruang bagi publik untuk memberikan pandangan atau sikap yang berbeda menjadi sangat penting. Seperti sudah ditegaskan dalam UU terkait pembentukan peraturan perundang-undangan, partisipasi bermakna jadi sebuah keharusan.

“Jika keterbukaan tak diberikan oleh DPR, ya mungkin cara menekan melalui demonstrasi akhirnya jadi pilihan dan harus menjadi alternatif,” ungkap Lucius.

Refleksi untuk Membincangkan Sistem Politik

Dalam negara demokratis, mekanisme check and balance memang harus berjalan, di mana lembaga eksekutif diawasi oleh lembaga legislatif. Hal itu esensial untuk memastikan bahwa kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang diusulkan oleh pemerintah berjalan dengan penuh kajian mendalam.

Namun demikian, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Zainal Arifin, menyatakan pola saat ini yakni DPR mengesahkan peraturan perundang-undangan secara ugal-ugalan, lalu mereka mengeluarkan jurus andalan “kalau gak setuju, silakan ajukan judicial review”.

“Sementara kita memiliki pengalaman bahwa ada proses-proses kooptasi juga sampai pada level-level judicial di Mahkamah Konstitusi gitu. Nah lantas siapa yang kemudian kita harus percaya? Nah maka menjadi penting sebenarnya hari ini kita itu melihat bahwa jangan-jangan proses-proses ini saling berkaitan, termasuk kaitannya dengan soal sistem politik kita,” katanya ketika berbincang dengan wartawan Tirto, Jumat (21/3/2025).

Pemilu, misalnya, berfungsi sebagai pemilihan wakil rakyat, untuk masuk dalam proses-proses legislasi di legislatif, atau dalam proses-proses pemilihan kepala daerah, presiden, dan sebagainya.

“Nah tapi kemudian ya, ketika berada di wilayah itu justru kemudian bukan keterwakilan masyarakat, atau kepentingan publik, tapi mereka ikut kepada kekuasaan, geraknya kemana dan arahnya kemana, mereka mengikuti. Bahkan lebih tunduk kepada pilihan-pilihan partai daripada suara-suara rakyat. Lebih tunduk kepada koalisi daripada kemudian kepentingan-kepentingan rakyat yang lebih luas,” kata Zainal.

Menurutnya, dari sini kita patut untuk mempertanyakan kembali soal kedaulatan rakyat, yang kemudian dalam sistem politik kita itu diberikan secara penuh perwakilannya kepada DPR.

“Saya rasa dengan posisi DPR ini tidak bisa dipercaya, maka kita perlu untuk kemudian mendiskusikan jangan-jangan ya, perlu ada implementasi soal kedaulatan dan veto rakyat. Apakah ada mekanisme referendum, atau mekanisme recall, yang perlu kita bincangkan dalam sistem politik kita. Apakah itu hal yang tidak mungkin? toh nyatanya di berbagai negara juga ada mekanisme referendum,” ungkap Zainal.

Mekanisme referendum yang dimaksud yakni mekanisme di mana ketika ada kebijakan yang sedang dibahas atau mau disahkan, tetapi ketika rakyat itu tidak setuju, maka diadakan jajak pendapat. Dengan demikian, keputusan ada di tangan rakyat

“[Misal] apakah setuju kepada Omnibus atau tidak, apakah setuju TNI masuk barat sepenuhnya atau tidak, itu kan harusnya dibuka secara luas, partisipatif. Jangan-jangan kita harus mulai untuk kemudian membincangkan hal-hal yang mendasar, yaitu soal sistem politik,” kata Zainal.

Baca juga artikel terkait DPR atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty