tirto.id - Wacana pembentukan Densus Antikorupsi terus menguat sejak muncul di ruang DPR pada Mei 2017. Lembaga yang bakal mengubah Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Tipidkor) setara Badan Reserse Kriminal dan di bawah langsung Kapolri ini terus diperkuat dalam bobot pernyataan oleh sejumlah perwira Polri. Dari Kapolri Tito Karnavian hingga Wakapolri Syafruddin, dari Kepala Bareskrim Ari Dono Sukmanto hingga Kepala Divisi Humas Mabes Polri Setyo Wasisto.
Polri bahkan menyebut anggaran untuk menguatkan struktur dan kinerja lembaga setara KPK ini sebesar Rp975 miliar. Ini nantinya jadi anggaran tambahan bagi institusi yang bermarkas di bilangan Trunojoyo tersebut pada 2018.
Sejumlah penggiat antikorupsi mewanti-wanti langkah Polri ini bisa menimbulkan konflik kepentingan dan tumpang-tindih dengan kewenangan KPK. Meski begitu, menurut Setyo Wasisto, Densus Antikorupsi takkan menjadi rival KPK.
"Kami akan sinergi dan sudah komitmen dengan KPK akan saling menguatkan,” ujar Setyo kepada reporter Tirto.
Bagaimana perkembangan pembentukan Densus Antikorupsi atau Densus Tipikor?
Belum apa-apa. Ini baru mengajukan anggaran tapi belum apa-apa. Belum cair. Ini masih rencana-rencana. Kami, kan, ada personel, sistem, anggaran. Saat ini belum ada perkembangan yang signifikan.
Apa alasan riil Densus Antikorupsi harus dibentuk?
Awalnya keprihatinan dari Polri bahwa korupsi masih masif. Sementara kalau kita lihat KPK hanya menangani kasus menonjol dan besar. Kalau kita biarkan seperti ini, KPK enggak akan mampu menangani semuanya. Kapolri berpikir, kalau dibentuk Densus akan lebih masif menangani. Intinya bagaimana menyelamatkan uang negara. Ini kami sudah buktikan dengan Direktorat Tindak Pidana Korupsi di Bareskrim sampai tingkat Polres sudah menangani korupsi lebih dari seribu kasus dalam satu tahun.
Dana yang diajukan Rp975 miliar. Rinciannya untuk apa saja?
Untuk operasional. Operasional ada indeksnya. Indeks untuk penyelidikan itu sudah ada komponennya. Saya tidak begitu hafal.
Seperti apa bentuk struktural dari Densus Antikorupsi?
Di bawah Kapolri. Direktorat Tipidkor nanti dibubarkan.
Perbedaan kewenangan dengan Direktorat Tipidkor seperti apa? Kewenangan menyadap bagaimana?
Ditingkatkan. Direktorat Tipidkor sekarang represif saja. Nanti ada tim lidik, tim analis, tim khusus, yang akan dilekatkan. Kalau detasemen khusus itu bekerja lebih simultan, ada preventif, ada represif. Jadi diharapkan ada pencegahan.
Bagaimana dengan dasar hukumnya?
Nanti cukup melalui Keputusan Presiden saja.
Mengapa tidak meningkatkan kinerja Direktorat Tipidkor?
Kendalanya banyak. Ada kendala teknis dan nonteknis, anggaran beda sekali, semangatnya pun beda. Sejauh ini kami ada masalah keuangan, kesejahteraan personel, komitmen yang kuat.
Apa misalnya bentuk kendala teknis dan nonteknis itu?
Ini masih dikaji. Ada kekurangan anggaran. Terus terang saja, untuk kesejahteraan penyidik pun kurang. Kalau dibandingkan KPK, ya jauh. KPK itu lebih terjamin.
Soal kinerja Direktorat Tipidkor, mengapa ada kasus pada 2011 baru diproses pada 2016?
Ada banyak kendala. Misalnya penyidikan yang terbatas orangnya, anggarannya juga terbatas. Maka, banyak yang pending, banyak yang tidak tuntas atau tidak selesai.
Mengapa dari 2012 hingga 2016 terdapat 11 kasus yang diberikan SP3?
Itu yang jadi masalah. Ada beberapa kriteria yang dimaksud dengan penyelesaian kasus. Pertama, diserahkan P21 (hasil penyidikan sudah lengkap); kedua, orangnya meninggal; ketiga, diberi Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) karena unsurnya lemah setelah disidik. Itu sesuai KUHAP.
Apa nanti Densus Antikorupsi tidak tumpang tindih dengan KPK?
Kalau penyelesaian perkara, tidak ada masalah. Itu sudah diatur dalam KUHAP.
Polri menganut senioritas. Apa bisa bertindak independen membersihkan korupsi di internalnya sendiri?
Kepangkatan pada penyidik itu tidak terlalu menonjol. Pakaiannya preman. Beda dengan saya harus pakaian dinas, kepangkatan menonjol. Budaya organisasi reserse itu berbeda. Supaya tidak ada hambatan psikologis, ada Ajun Komisaris Polisi, komisaris polisi ... Mereka tahu seniornya, tapi tidak terlalu terhambat secara psikologis. Minimal kualifikasi penyidik nanti sarjana satu.
Mengapa sempat mengusulkan agar Densus Tipikor memiliki jaksa penuntut sendiri dengan menggabungkan Polri dan kejaksaan?
Kami, kan, ada criminal justice system, polisi sebagai penyidik, penuntutnya adalah jaksa, kemudian pengadilan. Pengadilan, kan, independen. Tapi kalau kerja sama kepolisian dan kejaksaan itu hal yang wajar. Bahkan di beberapa negara, polisi dan jaksa wilayah jadi satu organisasi. Di sini, kalau penyidik dan jaksa itu sudah satu jalur, akan lebih bagus lagi.
Norma indeks anggaran penyelidikan dan penyidikan Tindak Pidana Korupsi per kasus sebesar Rp208 juta. Apa bisa cukup untuk 23 kasus?
Kalau bisa diselesaikan bagus. Kalau kurang, ya ditambah.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam