Menuju konten utama

Kekonyolan Pansus Angket KPK Minta Keterangan Napi Koruptor

ICW minilai kunjungan Pansus Hak Angket KPK ke Lapas Sukamiskin dan Pondok Bambu  jadi panggung sandiwara Pansus untuk mencari-cari kesalahan KPK yang dibumbui cerita dari para koruptor.

Kekonyolan Pansus Angket KPK Minta Keterangan Napi Koruptor
Ketua Pansus Angket KPK Agun Gunandjar (tengah) didampingi Wakil Ketua Risa Mariska (kiri) dan Dossy Iskandar Prasetyo (kanan) bersiap memimpin rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/6). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Agun Gunandjar Sudarsa mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi untuk tersangka kasus korupsi e-KTP, Andi Agustinus alias Andi Narogong, pada Kamis (6/7/2017). Agun yang merupakan politisi Golkar ini lebih memilih memimpin Pansus Hak Angket KPK mengunjungi napi koruptor di Lapas Sukamiskin, Bandung dan Lapas Pondok Bambu, Jakarta.

Kunjungan Pansus Hak Angket KPK ini bertujuan untuk menggali informasi dari narapidana korupsi terkait standar prosedur operasional (SOP) pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK.

“Tentu kita fokus ke substansi soal proses SOP pemeriksaan di KPK itu aja. Kami tidak bicara kasus per-kasus si A kasusnya apa, si B kasusnya apa,” kata Wakil Ketua Pansus Hak Angket KPK, Risa Mariska, seperti dikutip dari Antara.

Politisi PDI Perjuangan ini mengatakan, kemungkinan pertanyaan anggota Pansus Hak Angket akan berkembang sebagai bentuk pendalaman, misalnya, mengenai pembayaran denda yang sudah dibayarkan para narapidana tersebut.

Hal tersebut, lanjut Mariska, ada kaitannya dengan pengembalian kerugian negara yang menjadi domain KPK. Sehingga Pansus Hak Angket KPK ingin melihat berapa jumlah yang diterima institusi itu dan berapa yang telah dibayarkan, serta mekanisme yang dijalankannya.

Sontak kunjungan Pansus yang dipimpin Agun Gunandjar Sudarsa ini mendapat respons negatif dari publik. Bahkan, aktivis dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz menyebut kunjungan tersebut sebagai sandiwara untuk melawan KPK.

“Mewawancarai koruptor patut diduga sebagai skenario menciptakan kampanye negatif kepada KPK,” kata Donal kepada Tirto, Kamis (6/7/2017).

Menurut Donal, publik sudah bisa menebak sebaik apapun kinerja KPK, bila narasumber pansus adalah para koruptor pastinya menilai negatif terhadap KPK. Ia menyebut mewawancarai koruptor untuk menilai KPK adalah sebuah pemufakatan jahat untuk mendeskreditkan KPK.

Hal senada juga ditegaskan mantan Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas. Pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Yudisial (KY) periode 2005-2010 menyatakan kunjungan tim Pansus Hak Angket KPK menemui beberapa narapidana kasus tindak pidana korupsi merupakan sebuah kekonyolan.

Menurut Busyro, Pansus Hak Angket KPK menganggap kunjungan mereka tersebut etis, padahal bagi masyarakat luas mengunjungi koruptor untuk mendalami SOP pemeriksaan dan kinerja KPK jelas sebagai sebuah lelucon.

Ia menegaskan, tidak ada nalar hukumnya, karena napi itu sudah berstatus terbukti secara sah dan meyakinkan secara hukum, bahkan statusnya sudah berkekuatan hukum tetap melakukan tindak pidana korupsi tapi jadi sumber data untuk pansus.

“Kalau sudah terbukti terus yang mau diwawancara apanya? Apakah mengharapkan sesuatu yang berbeda dari yang diputuskan hakim itu. Kalau itu yang diharapkan berarti Pansus ini kan tidak jelas arahnya. Apa yang mau ditarget dengan menemui napi-napi itu,” kata Busyro, dikutip Antara, Kamis.

Donal pun sependapat dengan Busyro. Menurut aktivis ICW ini, secara hukum, seluruh terpidana korupsi yang berkekuatan hukum tetap sudah terbukti melakukan kejahatan korupsi. Artinya, pada saat yang sama, vonis bersalah tersebut membuktikan bahwa kinerja KPK sudah benar.

Menurut Donal, jika saja proses hukum yang dilakukan KPK keliru atau menyimpang, maka tentu putusannya akan bebas atau lepas. Apalagi, lanjut Donal, ada tahapan praperadilan untuk menilai keabsahan proses hukum yang dilakukan oleh penegak hukum, termasuk di dalamnya ada KPK.

“Jika setiap tahapan proses hukum yang dilakukan oleh KPK sudah diuji oleh peradilan akan dinilai oleh Pansus dan koruptor, maka sudah ditebak kunjungan pansus akan bermuatan politis,” kata Donal.

Publik Lebih Percaya KPK daripada DPR

Sepak terjang Pansus Hak Angket KPK ini tentu akan semakin membuat publik kehilangan kepercayaan kepada lembaga legislatif tersebut. Hal ini tercermin dalam survei yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Juni lalu.

Survei ini dilakukan pada Mei 2017 terhadap 1.350 responden yang ditarik secara random sampling di seluruh Indonesia dengan margin of error 2,5 persen.

Dalam survei tersebut, mayoritas rakyat Indonesia menolak penggunaan Hak Angket DPR untuk KPK, yaitu 65 persen rakyat menolak penggunaan hak angket DPR untuk KPK, sementara yang menyetujui hanya sekitar 30 persen.

Bahkan, mayoritas pendukung partai politik yang memiliki kursi di parlemen juga menolak penggunaan hak angket DPR untuk KPK. Di kalangan mereka yang menolak penggunaan hak angket tersebut, mayoritas menganggap bahwa hak angket tersebut digunakan DPR untuk melindungi anggota DPR dari proses hukum KPK.

Direktur Program SMRC, Sirojuddin Abbas mengatakan pada dasarnya penelitian yang dilakukan SMRC menunjukkan tingkat kepercayaan publik pada KPK jauh di atas daripada DPR.

Menurut dia, lebih dari 64 persen warga menyatakan lebih percaya pada KPK dari pada DPR, sementara hanya 6,1 persen yang menyatakan lebih percaya DPR dibandingkan KPK. Demikian pula, penelitian ini menunjukkan tingginya tingkat perhatian masyarakat pada apa yang dilakukan KPK dan DPR.

Sekitar 63 persen warga menyatakan tahu tentang kasus korupsi pengadaan e-KTP yang diduga melibatkan banyak anggota DPR. Bahkan, hampir 54 persen yakin bahwa anggota DPR terlibat kasus korupsi yang merugikan negara Rp2,3 triliun itu.

“Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia lebih percaya pada KPK daripada DPR dalam melaksanakan amanat konstitusional masing-masing dalam hubungan antara dua lembaga negara tersebut,” ujarnya dilansir laman resmi SMRC.

Dalam konteks ini, seharusnya Pansus Hak Angket DPR lebih mempertimbangkan suara publik yang menginginkan agar DPR tidak perlu membuat hak angket untuk KPK. Yang paling terpenting tak membuat kekonyolan dengan menjadikan koruptor sebagai senjata untuk melawan KPK.

Baca juga artikel terkait HAK ANGKET KPK atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Suhendra