tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menjelaskan batasan penggunaan hak angket DPR yang bisa dilakukan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut MK, hak angket tak bisa dilakukan untuk mempertanyakan kebijakan KPK dalam hal penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
"Banyak sekali bisnis proses dalam KPK yang di luar ketiga itu. Misal mengenai SDM, manajemen penanganan perkara, SOP (Standar Operasional) penyadapan, yang kemudian dikatakan MK itu bisa diangket DPR," ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono di kantornya, Jakarta, Kamis (15/2/2018).
Sesuai putusan uji materi pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), KPK dianggap masuk dalam ranah eksekutif. Karena berada di ranah eksekutif, lembaga antirasuah bisa menjadi objek hak angket.
KPK disebut termasuk ranah eksekutif karena menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi.
"Kami menyampaikan penjelasan bahwa dalam melaksanakan fungsi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, inilah yang harus dimaknai bahwa KPK tak bisa dipengaruhi kekuasaan manapun," tutur Fajar Laksono.
Putusan MK yang menolak uji materi pasal 79 ayat (3) UU MD3 sempat menimbulkan polemik. Pasalnya, Ketua MK yang sempat mendapat sanksi etik, Arief Hidayat, menjadi satu dari lima hakim yang memilih opsi menolak gugatan.
Pilihan Arief dicurigai lahir karena ia sudah menjalin lobi politik dengan DPR saat masa pemilihan hakim konstitusi, akhir 2017 lalu.
"Keraguan terhadap independensi MK wajar, tapi kami selalu ingin membuktikan tidak terdapat fakta bahwa hakim konstitusi dipengaruhi atau berpihak pada pihak-pihak tertentu," ujar Fajar Laksono.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Alexander Haryanto