Menuju konten utama

Biografi Ferdinand Marcos: Kebijakan Eks Presiden Diktator Filipina

Biografi singkat Ferdinand Marcos dan kebijakan eks presiden-diktator, ayah Bongbong pemenang Pilpres Filipina 2022.

Biografi Ferdinand Marcos: Kebijakan Eks Presiden Diktator Filipina
Ferdinand Marcos saat kampanye Pilpres Filipina 1969. FOTO/National Library of the Philippines

tirto.id - Ferdinand "Bongbong" Romualdez Marcos Jr. memenangkan pemilihan presiden (pilpres) Filipina 2022. Bongbong adalah putra Ferdinand Marcos, mantan Presiden Filipina yang kerap disebut sebagai diktator. Saat menjabat pada 1965-1986, ayah Bongbong beberapa kali mengeluarkan kebijakan kontroversial.

Di Pilpres Filipina 2022, Bongbong alias Marcos Jr. mengungguli saingan terberatnya, Leni Robredo (wakil presiden petahana), dengan selisih tak kurang dari 15 juta surat suara. Bongbong berpasangan dengan Sara Duterte yang tidak lain adalah putri presiden petahana, Rodrigo Duterte.

Saat penghitungan hampir final, yakni kurang dari 2 persen dari total surat suara, per 12 Mei 2022, Bongbong meraih sedikitnya 31 juta suara. Sementara suara pemilih Robredo terkumpul hanya 14 juta, demikian dilansir The Manila Times.

Di antara surat suara yang belum terhitung sekitar dua persen dari total 67,5 juta pemilih, apabila seluruhnya masuk untuk Robredo, ia tetap tak mampu menyaingi perolehan suara Bongbong Marcos Jr. di Pemilu Filipina kali ini, sebab besarnya hanya sekitar 1,3 juta suara.

Kemenangan putra dari mendiang presiden diktator Ferdinand Marcos ini mengudar paksa memori kolektif rakyat Filipina yang tersimpan rapi, semenjak ayah Bongbong diturunkan paksa dari tampuk kekuasaan pada 1986.

Biografi Singkat Ferdinand Marcos Presiden Filipina (1965-1986)

Ferdinand Marcos ialah Presiden Filipina yang menjabat sekurang-kurangnya 20 tahun, dari Desember 1965 hingga Februari 1986. Ia lahir di Sarrat, Norte Utara, Filipina, tanggal 11 September 1917. Marcos terpilih menjadi presiden di usianya yang hampir setengah abad.

Marcos adalah seorang yang cerdas, lulus dari Fakultas Hukum Universitas Filipina dengan gelar cum laude pada 1939. Ia menikah dengan Imelda Romuáldez atau Imelda Marcos pada 1954 dan dikaruniai tiga orang anak, yakni Imee Marcos, Ferdinand Marcos Jr., Irene Marcos, serta Aimee Marcos.

Tahun 1965, Ferdinand Marcos terpilih sebagai Presiden Filipina. Pada 1972, ia mendirikan rezim otoriter yang membuatnya tetap berkuasa. Pemilu 1986 yang diduga penuh kecurangan menjadi ajang terpilihnya Ferdinand Marcos sebagai presiden untuk keempat kalinya secara beruntun.

Tidak lama kemudian, kekuasaan Marcos digulingkan oleh revolusi damai yang dimotori oleh Corazon Aquino, janda Benigno Aquino pemimpin oposisi yang dibunuh pada 1983. Ferdinand Marcos dan keluarganya melarikan diri ke Hawai dan meninggal dunia di sana pada 1989 akibat penyakit jantung, ginjal, dan paru-paru.

Ferdinand Marcos yang wafat pada usia 72 tahun dimakamkan di Honolulu, Hawai, sebelum dipindahkan ke Batac, Ilocos Utara, Filipina, dekat tanah kelahirannya. Tahun 2016, kuburannya dipindahkan lagi ke makam pahlawan di Manila setelah mendapatkan izin dari Mahkamah Agung.

Sepak-Terjang dan Kebijakan Ferdinand Marcos Sang Diktaktor

Setelah memenangkan pemilu kedua pada 1969, Ferdinand Marcos mulai mengeluarkan kebijakan yang dianggap kontroversial. Platform ekonomi liberal yang ia terapkan, misalnya, mengakibatkan kesenjangan ekonomi ekstrem. Ini memicu protes dari berbagai pihak oposisi.

Pada September 1972, Ferdinand Marcos melakukan deklarasi darurat perang (martial law) saat masa kepemimpinannya sebagai presiden memasuki tahun ke-7.

Melansir Britannica, kebijakan itu dikeluarkan untuk merespons demonstrasi mahasiswa yang semakin keras, dugaan ancaman pemberontakan komunis oleh Partai Komunis Filipina (CPP) yang baru, dan gerakan separatis muslim di Filipina oleh Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF).

Angka kriminalitas dan penangkapan warga sipil terus menanjak. Masyarakat sipil dan keamanan negara adalah yang terdampak deklarasi darurat perang ini.

Deklarasi tersebut menuntut pasukan bersenjata Filipina memperketat penjagaan keamanan negara yang berujung pada penyanderaan, penganiayaan, dan penghancuran skala besar.

Penelitian Pradista Adisti bertajuk "Dampak Deklarasi Darurat Perang (Martial Law) Terhadap Sipil dan Keamanan Negara dalam Studi Kasus Marawi Filipina" (2018) mengungkapkan, kebijakan tersebut dinilai menyimpang dari Hukum Humaniter Internasional yang seharusnya menjadi acuan.

Alih-alih menyurutkan hasrat berkuasanya, Ferdinand Marcos justru kembali mengukuhkan kediktatoran lewat pemilu 1973 yang lagi-lagi ia menangkan. Ferdinand Marcos seharusnya tidak bisa lagi menjadi presiden karena sudah berkuasa selama 2 periode. Namun, ia berdalih dengan mengatasnamakan kondisi darurat perang.

Semenjak itu, Ferdinand Marcos semakin sewenang-wenang dengan berbagai kebijakannya. Ia memegang mutlak kontrol militer, mengekang kebebasan pers dan hak mengungkapkan pendapat, bahkan membubarkan kongres Filipina. Ia juga menutup izin beroperasi media dianggap kerap mengkritik kekuasaan.

Pemerintahan Ferdinand Marcos kerap dicap sebagai rezim korup, utang negara ditumpuk dengan korupsi yang mengakibatkan perekonomian Filipina mengalami resesi pada akhir 1983. Dilansir Britannica, laporan korupsi yang meluas mulai muncul ke permukaan dengan frekuensi yang meningkat.

Tanggal 21 Agustus 1983, terjadi peristiwa yang menggemparkan. Tokoh oposisi, Benigno Aquino, dibunuh, ditembak tepat di kepala saat sedang turun dari pesawat di Bandara Internasional Manila.

Pembunuhan Benigno Aquino membuat gelombang protes terhadap rezim Ferdinand Marcos yang dianggap diktaktor semakin kencang. Ferdinand Marcos yang panik kemudian menyerukan pilpres setahun lebih cepat ketimbang jadwal semula.

Momen elektoral ini menjadi puncak kemarahan rakyat Filipina yang merasa selalu dicurangi rezim Marcos. Sejumlah teknisi komputer dari komisi pemilihan umum mengundurkan diri setelah sebelumnya diminta untuk memanipulasi hasil pemilu agar menguntungkan Ferdinand Marcos. Gelombang protes kian tak terbendung.

Kekuatan militer pun pecah dan sebagian berpaling dari perintah Ferdinand Marcos untuk bergabung dengan barisan demonstran. Tanggal 25 Februari 1986 malam, sang presiden menyerah setelah revolusi dilancarkan. Bersama keluarganya, Ferdinand Marcos kabur ke Hawaii hingga meninggal dunia di sana.

Baca juga artikel terkait PILPRES FILIPINA 2022 atau tulisan lainnya dari Auvry Abeyasa

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Auvry Abeyasa
Penulis: Auvry Abeyasa
Editor: Iswara N Raditya