tirto.id - Tagar #GejayanMemanggil bergema di jagat Twitter. Senin (23/9/2019) pagi, tagar itu menjelma ribuan mahasiswa yang menggelar aksi demonstrasi menyuarakan keresahan atas berbagai undang-undang yang dibikin oleh DPR dan pemerintah.
Jalan Gejayan atau yang kini bernama Jalan Affandi menghubungkan berbagai kampus utama di Yogyakarta. Ada tiga perguruan tinggi besar yang langsung terkait atau berlokasi di sekitar ruas jalan ini: Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Sanata Dharma, serta Universitas Atma Jaya.
Jalan Gejayan juga dapat dengan mudah diakses dari beberapa kampus besar lain seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Kristen Duta Wacana, Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran”, Institut Sains dan Teknologi AKPRIND, dan Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS).
Gejayan adalah lokasi bersejarah. Tempat ini adalah monumen perlawanan mahasiswa terhadap Soeharto tahun 1998 silam. Aksi Gejayan berpuncak pada 8 Mei 1998.
Sebelum tanggal itu, para mahasiswa sudah sering berdemonstrasi memprotes rezim Orde Baru di beberapa titik di Yogyakarta. Demo-demo ini adalah bagian dari gelombang besar di seantero Indonesia, terutama Jakarta, yang akhirnya membuat Soeharto lengser keprabon pada 21 Mei 1998.
Kronologi Aksi Gejayan 1998
Pada 2 April 1998, mahasiswa berencana long march dari Kampus UGM menuju Gedung DPRD Provinsi Yogyakarta yang terletak di Jalan Malioboro. Rencana tersebut terhambat karena dihalangi aparat yang sudah bersiaga di luar kampus.
Mereka dianggap mengganggu ketertiban umum oleh aparat. Polisi kemudian menawarkan kepada mahasiswa agar menumpang bus–agar lebih mudah diawasi dan menghindari mobilisasi massa yang lebih besar, namun ditolak.
Mahasiswa tetap bergerak dan terjadilah bentrokan. Selama lebih dari sejam, sebut Samsu Rizal Panggabean dalam Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia (2018), aparat dan mahasiswa saling melempar batu.
Mahasiswa menjungkirkan mobil milik pasukan keamanan yang diparkir di dekat gerbang Kampus UGM. Di mobil itu ditemukan bom molotov dan gas air mata.
Keesokan harinya mahasiswa berencana demonstrasi lagi, kali ini tujuannya adalah Keraton Yogyakarta. Kala itu, Sultan Hamengkubuwana X belum menyampaikan dukungannya terhadap gerakan reformasi.
Aparat kembali mengingatkan agar mahasiswa tidak keluar kampus. Sebagian ada yang patuh, namun tidak sedikit pula yang tetap bergerak dan berusaha menembus blokade polisi. Terjadi aksi saling dorong, yang disusul dengan gesekan fisik.
Berikutnya tanggal 5 Mei 1998. Dikutip dari tulisan Hendra Kurniawan berjudul “Mengenang Gejayan Kelabu” yang dimuat di Kedaulatan Rakyat (8 Mei 2018), mahasiswa di Yogyakarta mulai bergerak dan harus menghadapi kekuatan aparat keamanan. Bentrok fisik tak terelakkan.
Keesokan harinya, mahasiswa dari beberapa kampus di Yogyakarta kembali menggelar unjuk rasa, termasuk UGM, UNY (dulu bernama IKIP Yogyakarta), Universitas Sanata Dharma (USD), dan UIN atau IAIN Sunan Kalijaga.
Sebagian besar demonstrasi berjalan dengan lancar. Namun, di Jalan Gejayan yang melewati IKIP dan Sanata Dharma, terjadi bentrokan. Polisi mengejar mahasiswa sampai ke dalam kampus.
Sebanyak 29 orang demonstran ditangkap. Tetapi, seperti diberitakan surat kabar Kedaulatan Rakyat edisi 7 Mei 1998, pihak aparat keamanan meyakinkan publik bahwa mahasiswa yang ditangkap akan diperlakukan dengan baik.
Gejayan pada Jumat Kelabu Itu
Puncak unjuk rasa di Yogyakarta terjadi pada 8 Mei 1998. Pagi harinya jam 09.00 WIB, sejumlah kampus sudah memulai aksi damai, antara lain di Institut Sains dan Teknologi Akprind, STTNAS Yogyakarta, serta UKDW.
Siang harinya, pukul 13.00 WIB atau selepas salat Jumat, ribuan mahasiswa menggelar aksi di Bundaran Kampus UGM dan berlangsung tertib. Mereka menyatakan keprihatinan atas kondisi perekonomian negara, penolakan Soeharto sebagai presiden kembali, memprotes kenaikan harga-harga, serta mendesak segera dilakukan reformasi.
Kampus-kampus lain pun menghelat aksi serupa di saat yang sama, termasuk di IKIP Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Sanata Dharma yang letaknya berseberangan, hanya dipisahkan dua lajur beraspal yakni Jalan Gejayan.
Menjelang sore, para mahasiswa dan masyarakat dari Jalan Gejayan bergerak menuju UGM untuk bergabung di Bundaran. Namun aparat keamanan tidak mengizinkan. Suasana mulai panas.
Bentrok pecah sekitar pukul 17.00 WIB. Dirangkum dari berbagai sumber, pasukan keamanan menggerakkan panser penyemprot air dan tembakan gas air mata untuk membubarkan aksi massa di pertigaan antara Jalan Gejayan dan Jalan Kolombo.
Kericuhan terjadi karena aparat keamanan berusaha keras mencegah aksi mahasiswa dari Jalan Gejayan bergabung dengan rekan-rekan mereka di Bundaran UGM. Mereka tidak mau konsentrasi massa semakin besar.
Suasana mencekam terus terasa di Jalan Gejayan dan sekitarnya hingga malam hari. Masih ada sebagian orang yang bertahan dalam kepungan polisi dan tentara. Aparat mengisolir dan menutup jalan-jalan menuju tempat kejadian perkara.
Jumat kelabu di Gejayan tak hanya menyebabkan banyak korban luka-luka dari kalangan mahasiswa, namun juga warga biasa. Bahkan, ada pula yang harus kehilangan nyawa.
Moses Gatotkaca ditemukan bersimbah darah di ruas jalan sebelah selatan kampusnya dan tewas dalam perjalanan menuju rumah sakit. Diduga, mahasiswa Universitas Sanata Dharma ini kehilangan nyawa akibat pukulan benda tumpul di kepalanya. Dari telinga dan hidungnya, darah segar terus mengalir.
“Korban mengalami retak di tulang tengkorak,” ungkap salah satu dokter Rumah Sakit Panti Rapih yang menerima Moses Gatotkaca, dikutip dari buku Lengser Keprabon (1998) karya Octo Lampito.
Untuk mengenangnya, juga sebagai pengingat peristiwa Jumat kelabu itu, nama Moses Gatotkaca diabadikan sebagai nama salah ruas jalan yang terhubung dengan Jalan Gejayan, tepatnya di sebelah selatan Kampus Sanata Dharma.
Editor: Abdul Aziz