Menuju konten utama

Bahaya TKD Dipangkas: Naiknya Pajak dan Layanan Publik Terhambat

Penurunan drastis TKD untuk program-program pemerintah pusat melucuti semangat otonomi dan berpotensi mengerek tarif pajak di daerah.

Bahaya TKD Dipangkas: Naiknya Pajak dan Layanan Publik Terhambat
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan dalam konferensi pers APBN Kita di Jakarta, Selasa (14/3/2023). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.

tirto.id - “Pati adalah kunci.” Demikian petikan komentar Neneng Rosdiana, figur yang kesohor di Facebook sebagai mantan pemilik akun Marxisme Indonesia, menjelang demonstrasi besar-besaran di kabupaten tersebut.

Potongan kalimat itu, yang ramai diperbincangkan di media sosial, sebenarnya lebih dari sekadar slogan. Ia mencerminkan bagaimana sebuah daerah bisa menjadi barometer politik nasional, bahkan berpeluang menggerus legitimasi seorang kepala daerah hingga ke kursi bupati.

Sebabnya jelas: protes di Indonesia, betapapun besar dan bergemanya, jarang benar-benar mampu menjatuhkan pejabat di level puncak daerah. Bupati dan wali kota selama ini relatif aman dari gelombang demonstrasi, sebab mekanisme politik, alur hukum, dan birokrasi sering kali menjadi tameng kekuasaan.

Karena itu, ketika aksi di Pati diproyeksikan meluas dan menekan posisi Bupati Sudewo, publik menaruh perhatian khusus.

Namun, demonstrasi di Pati bukan hanya soal siapa melawan siapa. Ia juga merepresentasikan problem tentang bagaimana birokrasi anggaran di Indonesia bergerak mundur dan melucuti semangat otonomi daerah yang pernah diagungkan pasca-reformasi.

Sejak Undang-Undang Cipta Kerja disahkan pada 2021, pelan-pelan otoritas daerah terkikis. Momentum RAPBN 2026 mempertegas tren itu: transfer ke daerah dipotong dalam skala besar, sementara belanja pemerintah pusat justru membengkak.

Situasi ini menimbulkan kegelisahan bukan hanya di kalangan kepala daerah, melainkan juga ekonom yang khawatir sentralisasi fiskal bakal mengulang pola lama Orde Baru, ketika Jakarta menjadi penentu tunggal distribusi anggaran.

Peneliti INDEF Riza A Pujarama menyoroti pemangkasan belanja transfer ke daerah (TKD) sebesar 29,27 persen dari Rp919,87 triliun pada 2025 menjadi Rp649,99 triliun dalam RAPBN 2026.

Menurutnya, penurunan tersebut merupakan tren yang sistematis seiring dengan peningkatan belanja pemerintah pusat. Bahkan berdasarkan komposisinya, persentase TKD di tahun depan akan menjadi yang terendah sejak 2008: hanya sekitar 17,17 persen dalam belanja APBN.

“Sejak UU Cipta Kerja, kewenangan daerah berkurang. Komposisi TKDD melambat, dan pada RAPBN 2026 turun drastis dari 24,49 persen (outlook 2025) menjadi 17,17 persen. Belanja pemerintah pusat naik ke 82,83 persen,” ujarnya dalam diskusi publik Tanggapan Atas Nota Keuangan APBN 2026, dikutip Jumat (22/8/2025).

Rendahnya distribusi APBN ke daerah ini mengindikasikan dua hal: pertama, kewenangan daerah memang dipangkas; kedua, pemerintah pusat berasumsi beberapa daerah sudah lebih mandiri. Namun, asumsi itu perlu kajian lebih mendalam mengingat Indonesia punya lebih dari 500 kabupaten/kota dengan kemampuan fiskal berbeda-beda.

Bahkan berdasarkan catatan Kementerian Dalam Negeri 90,3 persen daerah di Indonesia—atau 493 dari 546 daerah—masih bergantung pada transfer pusat dengan kategori kapasitas fiskal lemah. Hanya 26 daerah (4,76 persen) yang mampu berdiri di atas kaki sendiri, di mana Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya lebih besar dari dana transfer.

Sementara itu, jika dibedah lebih dalam, penurunan TKD terjadi pada hampir semua komponen. Dana Bagi Hasil, misalnya, anjlok dari Rp192,28 triliun di APBN 2025 menjadi Rp45,07 triliun di tahun depan. Kemudian, Dana Alokasi Umum terpangkas dari Rp446,63 triliun menjadi Rp373,81 triliun; Dana Otonomi Khusus turun dari Rp17,51 triliun menjadi Rp13,14 triliun; Dana Keistimewaan D.I.Y terpotong dari Rp1,2 triliun menjadi Rp500 miliar; dan Dana Desa susut dari Rp71,00 triliun menjadi Rp60,57 triliun.

Bahkan pemangkasan juga terjadi pada Dana Insentif Fiskal, yang menjadi reward bagi daerah atas capaian kinerja terhadap pengelolaan keuangan, pelayanan publik dan pelayanan dasar–dari semula Rp6 triliun menjadi Rp1,8 triliun.

“Jadi kita bisa lihat memang penurunannya hampir di semua komponen TKDD. Yang paling mencolok adalah dana bagi hasil dari Rp178 trilun ke Rp45 triliun. Termasuk dana otsus juga dipotong, dana keistimewaan, dana desa juga, kemudian dana insentif fiskal dari Rp5,8 triliun menyisa Rp1,8 triliun,” jelas Riza.

Problemnya, di tengah pemotongan anggaran tersebut, belanja pemerintah pusat juga menghadirkan persoalan. Komposisi utamanya tersedot ke belanja pegawai, belanja barang, dan belanja bunga utang. Sejak 2018, porsi bunga utang melonjak dari 12 persen ke 19 persen di RAPBN 2026. Belanja modal yang mestinya mendorong produktivitas malah menyusut jadi 8,74 persen. Padahal belanja modal punya efek berganda besar. Infrastruktur pun berpotensi makin bergantung pada pembiayaan BUMN, yang tidak bebas risiko.

Belanja lain-lain meningkat karena menanggung kompensasi listrik dan BBM. Subsidi memang dinaikkan lagi setelah sempat ditekan, tetapi bantuan sosial justru melambat.

Anggaran pendidikan pun tidak lepas dari kontroversi. Selama ini porsi pendidikan terbesar disalurkan lewat TKDD. Namun pada 2026 porsinya hanya 33,43 persen, sementara pusat menyedot 61,69 persen.

Ironisnya, anggaran pendidikan pusat tidak hanya melalui Kemendikbudristek atau Kemenag, tapi juga puluhan K/L lain dengan definisi “fungsi pendidikan” yang kerap diperdebatkan. Di DPR, kritik pun muncul lantaran realisasi anggaran pendidikan sering di bawah target. Pada 2024, misalnya, realisasi hanya 16,94 persen dari APBN, jauh dari mandat 20 persen.

“Dalam beberapa tahun kebelakang sejak Covid itu merosot capaian realisasinya. Di 2024 tersisa 16,94 persen. Sisa anggarannya itu perlu dipertanyakan itu ke mana, dipergunakan untuk apa,” tuturnya.

Di luar persoalan alokasi, APBN 2026 juga menambah beban utang. Defisit dipatok 2,48 persen PDB, sementara pembiayaan utang naik jadi Rp781 triliun. Pada 2026, utang jatuh tempo mencapai Rp1.433 triliun, dengan bunga Rp599,4 triliun. Artinya, hampir 20 persen belanja pusat habis untuk bayar bunga. Imbal hasil SBN Indonesia yang masih 6,9 persen—tertinggi di ASEAN—membuat biaya berutang semakin mahal.

Opportunity cost dari beban utang ini sangat tinggi untuk negara kita. Ini perlu menjadi perhatian dan pertimbangan bagi pemerintah ketika menarik utang. Jangan sampai nanti kita membebankannya ke generasi mendatang, akhirnya dengan meningkatkan tarif pajak,” tegasnya.

Pandangan serupa disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira. Menurutnya, penurunan TKD hampir 30 persen di 2026 akan berisiko mendorong sentralisasi fiskal yang membuat kepala daerah tercekat.

Bhima mengingatkan, dengan TKD yang makin menyusut, pemerintah daerah bisa terpaksa menggenjot penerimaan sendiri lewat pajak. Sebab, dalam kondisi daya beli yang masih lemah, peningkatan target pajak rentan memicu praktik agresif pemungutan dan menghambat produktivitas dunia usaha. “Tanpa kreativitas kebijakan, fiskal bisa kembali ‘berburu di kebun binatang’. Wajib pajak domestiknya yang dikejar,” ujarnya kepada Tirto.

“Jika pajak dinaikkan signifikan, daya beli masyarakat dan dunia usaha bisa terganggu. Atau alternatifnya, utang diperbanyak, itu juga berisiko,” imbuhnya.

Apa yang disampaikan Bhima tak berlebihan. Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Bursah Zarnubi, menyatakan rencana pemangkasan TKD membuat resah kepala daerah se-Indonesia. Pasalnya, kebijakan efisiensi yang dilakukan tahun ini sudah cukup merepotkan kepala daerah dalam melakukan tugas-tugasnya. Dengan demikian, pemangkasan lebih lanjut dinilai akan memberatkan pemerintah daerah.

"Kalau ini akan dikurangi, tentu akan lebih berat lagi. Ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah akan semakin meningkat, dan kapasitas fiskal pemerintah kabupaten/kota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan akan menurun drastis," ucapnya dalam keterangan resmi pada Minggu (10/8/2025).

Dari sisi dampak terhadap pelayanan publik, Bursah juga melihat bahwa kemampuan daerah dalam menyediakan layanan pendidikan akan menurun seiring berkurangnya alokasi anggaran. "Layanan kesehatan dasar berpotensi mengalami penurunan kualitas dan keterjangkauan dan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur perdesaan, termasuk jalan pertanian, akan terhambat," ujarnya.

"Kami siap diajak berdialog dan kalau perlu dilakukan kajian komprehensif mengenai dampak pemangkasan TKD terhadap kemampuan daerah. Diperlukan mekanisme transisi yang memadai jika kebijakan ini harus dilaksanakan. Terpenting, Apkasi siap menjaga komunikasi dan koordinasi yang intensif antara pemerintah pusat dan daerah," tukasnya.

Terkait hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui alokasi TKD turun karena adanya pengalihan untuk belanja kementerian/lembaga (K/L). Menurutnya, kebijakan ini diarahkan agar belanja langsung bisa dinikmati masyarakat miskin dan mendukung program prioritas yang dijalankan pemerintah pusat.

“Penyesuaian alokasi TKD merupakan konsekuensi dari kebijakan pemerintah untuk memperbesar alokasi belanja K/L yang diarahkan langsung untuk dinikmati masyarakat,” ujarnya dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Kamis (21/8/2025).

Meski demikian, ia menekankan bahwa program-program prioritas nasional yang dananya dialokasikan melalui belanja sejumlah K/L, pada akhirnya juga akan dirasakan oleh masyarakat di daerah. Dus, pembangunan pun dapat merata hingga ke pelosok Indonesia.

“Sejatinya dinikmati juga oleh seluruh rakyat di daerah,” tambahnya.

Selain itu, hal ini sesuai pula dengan rahan Presiden Prabowo Subianto, yang mengamanatkan agar kehadiran negara melalui berbagai layanan publik bisa kian dirasakan seluruh masyarakat Indonesia.

“Hal ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo agar kehadiran negara semakin dirasakan rakyat di tingkat lokal melalui layanan kesehatan, pendidikan, perumahan, kooperasi desa, kelurahan merah putih, serta program strategis lainnya,” tegas mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.

Baca juga artikel terkait RAPBN 2026 atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Insider
Reporter: Qonita Azzahra & Nanda Aria
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dwi Aditya Putra