tirto.id - Sejumlah ekonom menyuarakan kekhawatiran terkait pengelolaan utang pemerintah pada tahun depan. Pasalnya, dalam Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, tercatat bahwa pemerintah berencana menarik utang baru sebesar Rp781,9 triliun—angka terbesar dalam lima tahun terakhir.
Utang ini diposisikan sebagai policy enabler atau instrumen kebijakan untuk memperdalam pasar keuangan domestik agar lebih likuid, inklusif, dan efisien. Pemerintah juga menegaskan bahwa penarikan utang akan dilakukan secara hati-hati, akuntabel, dan terkendali.
Meski demikian, beban yang menanti tidak kecil. Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan mengingatkan bahwa pada 2026 pemerintah pusat harus menghadapi utang jatuh tempo tak kurang dari Rp800 triliun. Artinya, kewajiban jatuh tempo justru lebih besar daripada jumlah utang baru yang akan ditarik.
Pola ini sebenarnya sudah terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2024, misalnya, porsi bunga utang yang harus dibayar mencapai 80 persen dari total utang baru. Dari Rp558,1 triliun pembiayaan utang, Rp488,4 triliun tersedot untuk bunga, sehingga ruang pembiayaan riil hanya tersisa Rp69,6 triliun.
Tekanan serupa akan berlanjut pada 2026. Pemerintah diproyeksikan mengalokasikan Rp599,44 triliun untuk membayar bunga utang, terdiri atas Rp538,70 triliun bunga utang dalam negeri dan Rp60,74 triliun bunga utang luar negeri.
Jumlah ini naik 8,6 persen dibandingkan outlook 2025 sebesar Rp552,15 triliun, serta melonjak 74,5 persen dari realisasi 2021 yang hanya Rp343,49 triliun. Dengan demikian, beban bunga pada 2026 setara 76,66 persen dari total utang baru yang direncanakan.
"Tak heran porsi utang kita makin meningkat, utang terhadap PDB akhir tahun itu sudah hampir Rp9.000 triliun dan rasionya mendekati 39 persen," kata Deni dalam Media Briefing bertajuk RAPBN 2026: Menimbang Janji Politik di Tengah Keterbatasan Fiskal, Senin (18/8/2025).
Kondisi "gali lubang tutup lubang tersebut", menurut Deni juga perlu diwaspadai dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebab, besarnya kewajiban mencicil bunga akan membuat ruang fiskal yang dimiliki pemerintah semakin sempit—khususnya untuk bermanuver dalam program-program penyokong pertumbuhan ekonomi.
Terlebih di saat bersamaan, Presiden Prabowo Subianto masih getol memprioritaskan janji politiknya yang memakan alokasi ratusan triliun dari APBN, mulai dari makan bergizi gratis Rp335 triliun, Koperasi Desa Merah Putih Rp181,8 triliun, tiga juta rumah Rp57,7 triliun, ketahanan energi Rp402,4 triliun, hingga ketahanan pangan Rp164,6 triliun.
"Karena defisit dibatasi maksimal 3 persen PDB (produk domestik bruto), maka harus ada trade-off. Yang dikorbankan adalah transfer ke daerah yang turun signifikan, juga belanja lain seperti perlindungan sosial yang pertumbuhannya minim," jelas Deni menjelaskan soal imbas dari situasi beban utang tersebut.
Dengan kondisi demikian, ia memproyeksikan bahwa tren kenaikan utang baru akan terus berlangsung di masa pemerintahan Presiden Prabowo. Terlebih, jika kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan kian melempem.
Hal senada disampaikan Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin. Menurutnya, beban utang Indonesia saat ini sudah memasuki lampu kuning. Sebab, di luar nominal jumbo tersebut, rasio pembayaran bunga dan pokok utang terhadap pendapatan negara, atau Debt Service Ratio (DSR), sudah menyentuh 45 persen—jauh di atas batas aman sekitar 30 persen.
Kondisi ini juga menandai bahwa Indonesia telah masuk ke fase terjebak utang. "Agar pemerintahan bisa berjalan, kita harus terus berutang dan menambah utang. Jadi tantangan kita bukan Debt to GDP ratio, melainkan DSR, tingginya bunga utang, tenor utang yang pendek, dan ketergantungan terlalu besar pada SBN yang menimbulkan crowding out bagi sektor riil," ujarnya saat dihubungi Tirto.
Selain besaran utang baru yang konsisten naik, Wijayanto juga menyoroti kemampuan pemerintah untuk mengandalkan pendapatan dalam negeri dalam membayar utang. Pasalnya, jika menengok asumsi RAPBN 2026, ia menilai target-target yang dipatok pemerintah kurang realistis.
Penerimaan, misalnya, dipatok dengan tax ratio sebesar 10,5 persen. Padahal, realisasi tax ratio 2024 hanya 10,07 persen, sementara proyeksi 2025 bahkan menurun ke 9,5 persen. Target ini berpotensi besar meleset, dan bila penerimaan tak sesuai harapan, defisit anggaran bisa saja menembus lebih dari 3 persen Produk Domestik Bruto (PDB).
Dalam konteks itu pula ia melihat wacana defisit APBN 0 persen pada 2027 atau 2028, yang disampaikan Presiden dalam pidato di DPR pada 18 Agustus 2025 lalu, bukanlah rencana realistis.
Menurutnya, gagasan Presiden Prabowo lebih sebagai motivasi internal bagi jajarannya ketimbang target nyata. Kalaupun dipaksakan, langkah itu tidak bijak lantaran Indonesia masih menghadapi kebutuhan mendesak untuk mengejar ketertinggalan kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur.
Sebab tanpa defisit berarti pemerintah akan sepenuhnya membayar utang dengan penerimaan negara, tanpa menarik pinjaman baru. "Peran APBN sebagai pendorong pertumbuhan dan pemerataan harus dioptimalkan, kendatipun harus mengalami defisit," kata dia.
Bagi Wijayanto, defisit sekitar 2 persen PDB sebenarnya masih tergolong wajar. Utang bahkan bisa dianjurkan jika diarahkan pada kegiatan produktif, dengan syarat pertumbuhan utang dijaga agar selalu di bawah laju pertumbuhan ekonomi, sehingga rasio utang terhadap PDB terus menurun.
Tetapi bila pemerintah tidak menyesuaikan belanja, maka defisit bisa menembus 3 persen dan tambahan utang mencapai Rp900 triliun. Angka itu belum menghitung kebutuhan refinancing utang jatuh tempo senilai Rp833 triliun dan pembayaran bunga sekitar Rp600 triliun. "Tahun 2026 kita akan disibukkan dengan urusan utang sekitar Rp2.250 triliun. Jumlah yang fantastis," katanya.
Di luar itu, Wijayanto juga menghawatirkan persoalan transfer ke daerah yang bisa jadi bom waktu. RAPBN 2026 hanya mengalokasikan Rp650 triliun, turun 29 persen dari 2025 yang mencapai Rp919 triliun. Alokasi ini dinilai tak memadai, mengingat 85 persen APBD yang sebagian besar bersumber dari pusat dihabiskan untuk belanja rutin yang sulit ditekan.
"Memotong transfer daerah jelas akan mengganggu operasi Pemda, dan ini berpotensi menimbulkan keriuhan yang tidak perlu," ujarnya sembari menambahkan bahwa efisiensi di tingkat daerah memang perlu, namun harus dilakukan bertahap dan diiringi peningkatan kapasitas SDM dalam pengelolaan fiskal.
Di sisi lain, Policy and Program Director Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti) Piter Abdullah Redjalam menilai kondisi utang pemerintah tidak seburuk yang dikhawatirkan. Menurutnya, penambahan utang adalah konsekuensi dari defisit fiskal, dan sejauh ini defisit konsisten dijaga di bawah 3 persen PDB.
Dengan demikian, pemerintah masih berhati-hati. Rasio utang pemerintah saat ini juga berada di kisaran 40 persen, jauh di bawah ambang batas 60 persen yang diatur undang-undang. "Saya tidak melihat kondisi utang kita mengkhawatirkan. Utang jangan dilihat dari angka nominalnya," kata Piter kepada Tirto.
Adapun Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damiri, memperingatkan soal kondisi global di tahun depan yang masih akan dipengaruhi keputusan bank senteral AS, The Fed, dalam mempertahankan suku bunga tinggi setidaknya hingga kuartal I/2026.
Kondisi ini akan membatasi ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga tanpa risiko gejolak di pasar keuangan. "Implikasinya bagi APBN Indonesia jelas, biaya utang kita akan tetap tinggi dan semakin menambah beban fiskal tahun depan," ujarnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































