tirto.id - Ajaran Islam merupakan agama yang relevan sepanjang zaman. Namun, tidak semua kejadian atau peristiwa termaktub dalam Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad SAW.
Karena itulah, dibutuhkan ijtihad untuk memecahkan masalah umat Islam kontemporer dengan bersandar pada fondasi dasar ajaran Islam.
Secara definitif, ijtihad artinya mengeluarkan tenaga dan kemampuan untuk mendapatkan kesimpulan hukum Islam.
Dasar utamanya adalah Al-Quran dan sunah, yang dilengkapi dengan disiplin keilmuan lainnya yang tidak menyalahi kedua fondasi tersebut.
Dilansir dari NU Online, ijtihad umumnya dilakukan dalam menggali hukum-hukum syariat yang berstatus cabang atau furu'iyyah, baik itu dalam perkara fikih atau muamalah.
Ijtihad tidak boleh merambah dimensi akidah dan ibadah pokok, seperti rukun iman, ibadah salat, puasa, dan sebagainya
Contoh ijtihad dalam perkara muamalah kontemporer adalah hukum transaksi pinjaman di bank.
Di masa Nabi Muhammad SAW, tidak ada bank seperti sekarang. Karena itulah, perlu dilakukan penggalian hukum syariat, apakah halal atau haram meminjam sejumlah uang di bank.
Berdasarkan ijtihad Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 1 Tahun 2004, melakukan transaksi pinjaman ke bank konvensional dengan bunga tertentu termasuk dalam konteks riba yang diharamkan Islam.
Hal ini disampaikan Rasulullah SAW sebagai berikut:
"Sungguh akan datang kepada umat manusia suatu masa di mana tak ada seorang pun di antara mereka [terbiasa] memakan riba. Barang siapa tidak mengambilnya, ia terkena debunya," (H.R. Ibnu Majah).
Untuk melakukan ijtihad, terdapat syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi mujtahid atau orang yang melakukan ijtihad.
Dalam uraian "Perjalanan Ijtihad dalam Perkembangan Fikih" yang terbit di Jurnal Syariah, Fathurrahman Azhari menuliskan beberapa ketentuan sebagai berikut:
Pertama, mujtahid harus menguasai bahasa Arab dengan berbagai cabang keilmuannya, seperti nahwu, saraf, balagah, dan aspek-aspek lainnya.
Kedua, memiliki pengetahuan tentang Al-Quran secara mendalam.
Ketiga, mempunyai pengetahuan komprehensif tentang sunah Nabi Muhammad SAW, khususnya enam kitab hadis induk yaitu Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah, serta kitab-kitab lainnya, seperti Sunan Baihaqi, Sunan Daraqutni, Sunan Thabrani, Sunan Darimi, dan sebagainya.
Keempat, mengetahui ijmak atau kesepakatan ulama sebelumnya. Jangan sampai seorang mujtahid mengeluarkan suatu hukum yang bertentangan dengan ijmak sebelumnya.
Kelima, mengetahui ilmu usul fikih, mencakup kaidah ijtihad, metodenya, dan prinsip-prinsip dasar seperti maqashid syariah, al-urf (adat kebiasaan penduduk setempat), maslahah mursalah, dan sebagainya.
Keenam, mengetahui objek yang akan diijtihadi. Seorang mujtahid harus memahami secara penuh kasus yang ia hadapi, sehingga ia tidak keliru memutuskan hukum syariat atas perkara umat Islam.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno