Menuju konten utama

Hukum Joki Skripsi dalam Islam, Halal atau Haram?

Bagaimana hukum joki skripsi dalam Islam? Apakah hal ini halal atau haram? Simak keterangannya.

Hukum Joki Skripsi dalam Islam, Halal atau Haram?
Ilustrasi depresi karena skripsi. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Joki skripsi menjadi salah satu peluang bisnis yang sedang marak di kalangan para akademisi. Penawaran praktik jasa joki skripsi sering dilakukan lewat sosial media. Lantas, apakah hukum joki skripsi halal atau haram? Bagaimana Islam memandang praktik joki skripsi?

Mencari peluang pekerjaan dengan gaji yang cukup bisa jadi bukan perkara yang mudah. Beberapa pihak lantas menggeluti jenis pekerjaan yang hasilnya masih diragukan antara halal atau haram.

Salah satu jenis pekerjaan yang hukumnya masih dipertanyakan adalah joki skripsi. Dalam praktiknya, seseorang menawarkan jasa kepada mahasiswa yang enggan mengerjakan tugas akhir. Melalui kesepakatan harga yang sudah ditentukan, sang joki akan mengerjakan tugas pelanggan.

Shalat Tarawih pertama di Masjid Sheikh Zayed Solo

Warga beraktifitas di luar masjid menunggu waktu Salat Tarawih di Masjid Raya Sheikh Zayed, Solo, Jawa Tengah, Senin (11/3/2024). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/wpa.

Bagaimana Hukum Joki Skripsi dalam Syariat Islam?

Dalam syariat Islam, hukum joki skripsi termasuk haram. Islam mengharamkan praktik skripsi yang menggunakan joki karena beberapa alasan, terutama akhlak tidak terpuji.

Berdasarkan artikel berjudul "Hukum Joki Skripsi dalam Tinjauan Fiqih" yang ditulis Zainuddin Lubis melalui laman NU Online, setidaknya terdapat tiga alasan kenapa hukum joki skripsi haram.

Alasan pertama yaitu joki skripsi termasuk salah satu praktik tolong-menolong dalam hal kemaksiatan dan keburukan. Alhasil, pemakaian joki skripsi dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap integritas akademik.

Sekalipun mengandung unsur tolong-menolong dalam rangka membantu kesulitan, joki skripsi tetap dianggap praktik ilegal. Islam melarang tegas umatnya untuk saling membantu dalam perbuatan dosa dan kezaliman.

Allah SWT melalui surah Al-Maidah ayat 2 telah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَاۤىِٕدَ وَلَآ اٰۤمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۗوَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا ۗوَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْۘا وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ – ٢

Yā ayyuhallażīna āmanụ lā tuḥillụ sya'ā`irallāhi wa lasy-syahral-ḥarāma wa lal-hadya wa lal-qalā`ida wa lā āmmīnal-baital-ḥarāma yabtagụna faḍlam mir rabbihim wa riḍwānā, wa iżā ḥalaltum faṣṭādụ, wa lā yajrimannakum syana`ānu qaumin an ṣaddụkum 'anil-masjidil-ḥarāmi an ta'tadụ, wa ta'āwanụ 'alal-birri wat-taqwā wa lā ta'āwanụ 'alal-iṡmi wal-'udwāni wattaqullāh, innallāha syadīdul-'iqāb.

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan [melanggar kehormatan] bulan-bulan haram, jangan [mengganggu] hadyu [hewan-hewan kurban] dan qala'id [hewan-hewan kurban yang diberi tanda], dan jangan [pula] mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya.

"Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian[mu] kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas [kepada mereka]. Dan bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya,” (QS. Al-Maidah [5]: 2).

Menurut Tafsir Tahlili yang dikutip via laman Kemenag, kalimat terakhir ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang mukmin wajib tolong-menolong dalam berbuat kebaikan dan bertakwa dalam rangka kepentingan dan kebahagiaan.

Kendati demikian, Allah SWT melarang tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran serta memerintahkan agar tetap bertakwa hingga terhindar dari siksaan-Nya.

Sementara alasan kedua hukum joki skripsi haram adalah tindakan ini mengandung unsur penipuan terhadap etika akademik mendasar berupa plagiarisme dan penyalahgunaan kepercayaan.

Skripsi seharusnya menjadi kesempatan mahasiswa mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan selama menempuh pendidikan sarjana. Islam melarang tindakan penipuan.

Rasulullah SAW melalui sebuah hadis pernah menyampaikan terkait orang-orang yang menipu dalam pekerjaan dan tanggung jawab:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا وَالْمَكْر وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ

Artinya:“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan manipulasi, tempat di neraka,” (HR Ibnu Hibban).

Adapun alasan ketiga joki skripsi haram adalah akadnya tidak sah. Sekalipun praktik joki skripsi menggunakan akad ijarah al 'amal, hukumnya tetap haram. Ijarah al a'mal artinya memperkerjakan seseorang dengan upah tertentu.

Akad ijarah al 'amal joki skripsi dinilai tidak sah karena menyalahi hukum dan melanggar ketentuan akademik berupa penipuan, kecurangan, dan kebohongan.

Menurut Oni Sahroni, pakar muamalah kontemporer, skripsi dengan memakai jasa joki menurut fikih dan syariah tidak diperbolehkan dan dibenarkan. Hal ini dianggap melanggar kesepakatan, termasuk mahasiswa yang sebenarnya diminta menyediakan dan menyusun skripsi karya sendiri.

"Di samping itu juga hal ini merupakan bentuk pembohongan dan plagiat yang juge bertentangan dengan hadis Rasulullah Saw. Selain itu juga merugikan mahasiswa itu sendiri karena tidak terbiasa membaca, menelaah. Sudah kuliah tapi tidak berbanding lurus dengan kompetisinya," ucapnya, seperti dikutip laman Inisiatif Zakat Indonesia.

Katanya, joki skripsi tidak masuk kategori jual beli jasa karena objeknya tidak halal. Andai memakai hukum akad muamalah, seharusnya perkara harus bersifat halal, baru kemudian dilakukan akad.

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan, salah satu hal yang menyebabkan akad jual beli menjadi haram ialah karena barang yang dijual dan praktik jual-belinya mengandung unsur penipuan.

(وَهِيَ أَسْبَابُ الْفَسَادِ الْعَامَّةُ) وُجِدَتْ أَرْبَعَةٌ: أَحَدُهَا: تَحْرِيمُ عَيْنِ الْمَبِيعِ. وَالثَّانِي: الرِّبَا. وَالثَّالِثُ: الْغَرَرُ. وَالرَّابِعُ: الشُّرُوطُ الَّتِي تَئُولُ إِلَى أَحَدِ هَذَيْنِ أَوْ لِمَجْمُوعِهِمَا

Artinya:"Ada empat penyebab kerusakan umum, pertama, larangan penjualan barang yang diharamkan, kedua, riba, ketiga adanya unsur penipuan, keempat persyaratan yang mengarah pada salah satu dari dua hal di atas atau pada keduanya," (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, jilid 2 halaman 145).

Ketentuan Gaji dan Upah dalam Islam

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diakses secara daring, gaji adalah upah kerja yang dibayar dalam waktu yang tetap. Makna lain gaji yaitu balas jasa yang diterima pekerja dalam bentuk uang berdasarkan waktu tertentu.

Di lain sisi, upah mempunyai pengertian uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu. Arti lain sebagai gaji atau imbalan. Upah juga mempunyai makna hasil sebagai akibat (dari suatu perbuatan) dan risiko.

Mengutip sebuah hadis,"Sesungguhnya Rasulullah membenci mengupah pekerja kecuali sudah jelas upah baginya, (HR.an-Nasai).

Agus Sutriono, Asrianto Zainal, dan Jabal Nur melalui jurnal IAIN Kendari berjudul "Tinjauan Hukum Islam Terhadap Upah Jasa Pembuatan Karya Tulis (Skripsi) Studi Kasus Di Kecamatan Baruga Kota Kendari" menuliskan syarat sah upah adalah sesuai dengan perjanjian, kecuali jika persyaratan melanggar aturan hukum Islam.

Syarat dan rukun upah mencakup beberapa hal seperti berikut ini:

  • Orang yang berakad (mujir dan mustajir)
  • Sigat (ijab dan qabul) antara mujir dan mustaji
  • Sewa/imbalan/upah mendorong seseorang memberikan tenaga untuk menghasilkan harta yang bisa dipergunakan untuk menyambung hidup. Lalu terjadi saling tukar menukar hasil tenaga dengan orang lain hingga upah menjadi salah satu rukun ijarah (pemilikan manfaat seseorang dengan imbalan).
  • Ada manfaat/jasa dari akad ijarah.
Sementara mengutip jurnal "Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengupahan Jasa Kerja Skripsi Secara Online" yang ditulis Rahmi Aulia Abshir dan M. Thahir Maloko tahun 2021, praktik upah terhadap jasa joki skripsi bertentangan dengan hukum Islam karena termasuk perbuatan tidak jujur dan melakukan pelanggaran.

Kendati terdapat rukun akad ijarah (ada dua orang yang terlibat akad, ada ijab qabul, dan upah) hingga disepakati pihak penyedia jasa dan penyewa, tetap tidak dibenarkan. Selain itu, terdapat unsur yang bertentangan dengan hukum Islam.

Upah joki skripsi tidak sesuai dengan dalil yang melarang bentuk kecurangan dan kebohongan serta hukumnya menjadi batil. Hasil upah tergolong haram dan tidak ada keberkahan.

Baca juga artikel terkait HUKUM ISLAM atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Edusains
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Beni Jo & Yulaika Ramadhani