Menuju konten utama

Apakah Tahlilan Bidah? Ini Hukumnya Menurut NU dan Muhammadiyah

Tahlilan menjadi perbincangan menarik dalam kegiatan beragama di Indonesia. Apakah tahlilan bidah? Ini hukumnya menurut NU dan Muhammadiyah

Apakah Tahlilan Bidah? Ini Hukumnya Menurut NU dan Muhammadiyah
Ilustrasi Islam. foto/Istockphoto

tirto.id - Tahlilan menjadi perbincangan menarik bagi kehidupan keagamaan di Indonesia. Pasalnya, ada perbedaan perspektif dan metodologi dalam memandang tahlilan. Lantas apakah tahlilan itu bidah? Ini hukumnya menurut Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Sebagian orang menganggap, tahlilan bagian dari amalan yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad. Sebagain lain menganggap tahlilan tidak termasuk dalam ajaran Nabi Muhammad SAW.

Sebelum lebih jauh membicarakan hukum tahlilan, perlu kiranya memahami terlebih dahulu, apa itu tahlilan. Tahlilan berasal dari kata dasar Bahasa Arab ‘tahlil’ yang berarti mengucapkan kalimat syahadat atau kalimat tauhid.

Apakah Tahlilan Bidah?

Secara terminologi, tahlilan berasal dari kata dasar Bahasa Arab ‘tahlil’ yang berarti mengucapkan kalimat thayyibah (tasbih, tahmid, tahlil dan takbir). Dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia, tahlil merujuk pada rangkaian doa yang dihadiahkan khusus bagi orang yang telah meninggal. Umumnya, tahlil dilaksanakan secara berjamaah. Tradisi mendoakan orang yang telah meninggal disebut sebagai tahlilan.

Dalam Bahasa Indonesia, imbuhan ‘an’ pada kata tahlilan merupakan salah satu afiks produktif yang berfungsi sebagai verba atau kata kerja. Sehingga, tahlilan dimaknai sebagai predikat yang menjelaskan aktivitas, yaitu aktivitas tahlil atau tahlilan.

Tahlilan biasanya dilaksanakan pada hari-hari tertentu seperti satu sampai tujuha hari dari kematian seseorang. Kemudian, tahlilan juga digelar setelah 40 hari, 100 hari hingga 1000 hari orang yang telah meninggal dunia.

Lebih lanjut, beberapa kalangan tegas mengatakan bahwa tahlilan itu bidah. Bidah yang dimaksud oleh sekelompok golongan ini ialah sesuatu yang tidak pernah dilakukan di zaman Rasulullah. Dengan kata lain, tahlilan dianggap bidah karena tidak dicontohkan Rasulullah semasa hidup maupun generasi salaf. Sehingga tahlilan dianggap menyalahi syariat Islam.

Tak hanya itu, kalangan ini juga berasumsi tahlilan merupakan peninggalan agama Hindu-Budha sebagai hasil modifikasi dakwah para Wali Songo. Sehingga, tahlilan dianggap tidak dibenarkan oleh syariat bahkan menyimpang dari nilai-nilai Islam.

Jika merujuk pada pengertian dasar tahlil diatas, Nabi Muhammad secara kontekstual menganjurkan umatnya untuk berzikir dan mengucap Lafal Jalalah atau La Ilaha illa Allah. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda:

“maka sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas neraka terhadap orang yang mengucapkan ‘La Ilaha Illa Allah’, yang dengan lafal tersebut ia mencari keridhaan Allah” (HR. al-Bukhari, Kitab as-Shalah, Bab al-Masajid fi al-Buyut, dari ‘Itban ibn Malik).

Selain hadis di atas, Allah juga memerintahkan hambanya untuk perbanyak zikir dan mengingat-Nya. Perintah tersebut sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Baqarah ayat 152 dan QS. al-Ahzab ayat 41.

Hukum Tahlilan menurut Muhammadiyah

Dilansir dari laman resmi Muhammadiyah.or.id, Muhammadiyah tidak pernah melarang membaca kalimat tahlil La Ilaha Illallah (tiada Tuhan selain Allah). Memperbanyak tahlil, dalam pandangan Muhammadiyah termasuk amal ibadah yang sangat baik. Memperbanyak tahlil juga diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya:

فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِࣖ

Artinya: “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (QS. al-Baqarah ayat 152).

Lebih lanjut, Muhammadiyah mengimbau agar membaca tahlil harus diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal shalih sebanyak-banyaknya. Pada tahun 2003, Muhammadiyah juga pernah mengeluarkan Fatwa Tarjih tentang hukum tahlilan untuk orang meninggal yang lazim dilakukan di Indonesia.

Tahlilan yang dilarang ialah upacara yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan sebagainya, sebagaimana dilakukan oleh pemeluk agama Hindu. Apalagi harus mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir).

Berdasarkan Fatwa Tarjih Muhammadiyah diatas, tahlilan yang dilakukan untuk peringatan tujuh hari, 40 hari atau 50 hari disamakan dengan ritual yang dilakukan oleh pemeluk agama Hindu. Persamaan tersebut kemudian menjadi salah satu dasar hukum Muhammadiyah untuk mengeluarkan Fatwa Tarjih tentang tahlilan yang dilarang.

Larangan tersebut juga merujuk pada Asbabun nuzul atau alasan turunnya ayat Al Quran Surah Al Baqarah ayat 208. Ayat tersebut diturunkan untuk memberi petunjuk ketika Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, minta izin kepada Nabi saw untuk memperingati dan beribadah pada hari Sabtu, sebagaimana dilakukan mereka ketika masih beragama Yahudi, tetapi Nabi saw tidak memberikan izin.

Hukum Tahlilan menurut NU

Bagi warga Nadliyyin, tahlilan merupakan amalan yang mengakar kuat dalam kehidupan beragama. Dalam perpektif NU, berdoa dan berzikir untu orang yang telah meninggal merupakan bagian dari ajaran Islam. Selain itu, tahlilan juga bagian dari sarana mempererat silaturahmi antar masyarakat. Tahlilan juga wujud dari harmoniasi budaya lokal tanpa mengorbankan nilai syariat.

Merujuk pada laman Universitas Islam An Nur Lampung, tulisan yang berjudul Tahlilan Menurut NU dan Muhammadiyah, tradisi tahlilan yang menggabungkan dzikir, doa, dan pembacaan Al-Qur’an dianggap sebagai salah satu wujud Islam yang membumi di Indonesia.

Kemudian, endoakan orang yang telah meninggal pada aat tahlilan sesuai dengan Firman Allah berikut:

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami.” (QS. Al-Hasyr: 10).

Lebih lanjut, NU berpegang pada pendapat mayoritas ulama atau jumhur ulama, bahwa pahala dari amalan tertentu dapat sampai kepada orang yang telah meninggal. Beberapa ulama yang berpendapat demikian diantaranya Ibnu Qayyim al-Jawziyah dan Syekh Nawawi al-Bantani.

dilansir dari laman resmi NU Jabar dalam tulisan yang berjudul Tradisi Tahlilan Bukan Warisan Hindu Budha, kalangan NU berpegang pada hukum menghadiahkan pahala bacaan Al Quran dan kalimat thayyibak kepada mayit, diperbolehkan dan pahalanya akan sampai kepada sang mayit.

Menurut pendapat Ahlussunnah wal Jamaah, seseorang diperbolehkan menjadikan pahala amalnya atau menghadiahkan pahala untuk orang lain baik berupa shalat, sedekah, haji, zikir bacaan Al Quran atau amal ibadah lainnya. Pahala terebut akan sampai kepada mayit dan bermanfaat baginya, tak terkecuali tahlilan.

Hukum Tahlilan menurut Buya Yahya

Berkaitan dengan tahlil, Buya Yahya menjawab pertanyaan jamaah tentang apakah tahlil bidah dalam sebuah tausiah yang disiarkan di Al Bahjah TV. Buya Yahya menjelaskan bidah tidak hanya sekedar dimaknai sebagai sesuatu yang tidak pernah dilakukan di zaman Nabi atau generasi salaf. Lebih jauh, ucapan, perbuatan hingga diamnya Nabi harus dimaknai secara kontekstual dan komprehensif untuk menentukan ebuah hukum tertentu.

Hal ini yang dilakukan oleh para ulama dalam menentukan sebuah hukum. Pendapat mayoritas ulama atau jumhur ulama tidak hanya berdasar pada perbuatan Nabi. Melainkan perbuatan tersebut tidak melanggar ajaran Rasulullah.

Selanjutnya, Buya Yahya menjelaskan bahwa Nabi menganjurkan umatnya untuk berdzikir dengan cara apa saja, asal dengan cara yang benar dan tidak dibarengi dengan perbuatan keharaman.

Tahlilan, menurut Buya Yahya merupakan doa. Lebih dari itu, tahlilan juga menghadiahkan pahala kepada orang yang meninggal. Tema menghadiahkan pahala kepada orang yang meninggal telah dibahas oleh jumhur ulama pendahulu. Menurut pendapat jumhur ulama, menghadiahkan pahala kepada orang yang meninggal diperbolehkan, bahkan pahalanya sampai kepada orang yang telah meninggal.

Lebih lanjut, dalam menentukan sebuah hukum, jumhur ulama akan menghadirkan semua riwayat hadis-hadis dan ayat Al Quran yang ada sangkutpautnya dengan konteks persoalan tertentu.

Dalam konteks tahlinan, Nabi secara umum mengizinkan umat Islam untuk berzikir, membaca kalimat thayyibah dan berdoa. Tak hanya itu, Nabi juga menganjurkan umatnya untuk membiasakan sedekah dan bersilaturahim kepada saudara.

Tahlilan juga merupakan kegiatan untuk menghadiahkan pahala kepada orang yang meninggal. Berdasarkan kegiatan yang dilakukan saat tahlilan, maka tidak ada amalan yang haram atau bertentangan dengan syariat Nabi.

Berkaitan dengan tahlilan, Buya Yahya menjelaskan bahwa kebaiakan yang ada pada hari ini tidak harus dilakukan pada zaman Nabi. Tapi bisa saja Nabi mengisyaratkan, memerintahkan terang-terangan atau mengisyaratkan pada dalil umum tentang amal kebaikan yang dapat dilakukan hari ini.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2025 atau tulisan lainnya dari Sarah Rahma Agustin

tirto.id - Edusains
Penulis: Sarah Rahma Agustin
Editor: Sarah Rahma Agustin & Beni Jo