Menuju konten utama
1 Muharram 1446 H

Tradisi Malam 1 Suro dalam Masyarakat Jawa & Perspektif Islam

Apa saja tradisi masyarakat Jawa untuk memperingati Malam 1 Suro dan bagaimana perspektifnya dalam Islam?

Tradisi Malam 1 Suro dalam Masyarakat Jawa & Perspektif Islam
Abdi Dalem Keraton Yogyakarta mengikuti doa bersama menyambut tahun baru Islam 1444 H di Bangsal Pancaniti, Keraton Yogyakarta, Jumat (29/7/2022). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/foc.

tirto.id - Ada beberapa tradisi dalam masyarakat Jawa untuk memperingati Malam 1 Suro atau malam hari sebelum 1 Muharram alias Tahun Baru Islam. Lantas, apa saja tradisi itu dan bagaimana perspektifnya dalam pandangan agama Islam?

Muhammad Solikhin dalam Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010), menuliskan sakralitas peringatan Malam 1 Suro tidak terlepas dari budaya keraton. Dahulu, keraton sering melakukan upacara dan ritual yang kemudian diwariskan secara turun temurun.

Adapun Wahyana Giri dalam Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010) menjelaskan, Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta mengartikan Malam 1 Suro sebagai malam yang suci serta bulannya penuh rahmat.

Tradisi Malam 1 Suro di Masyarakat Jawa

Berdasarkan historisnya, Malam 1 Suro ini termasuk salah satu hari yang banyak dinantikan oleh kebanyakan masyarakat Jawa. Di malam tersebut, kerap didapati berbagai ritual dan tradisi yang dilaksanakan seperti pawai obor atau iring-iringan.

Dalam tradisi masyarakat Jawa, terdapat kegiatan yang identik dengan Malam Satu Suro yakni kirab atau iring-iringan dimana dalam kegiatan tersebut terdapat kebo bule milik keraton Surakarta yang dianggap keramat oleh masyarakat Solo untuk diikutsertakan.

Selain itu, di Yogyakarta terdapat juga tradisi Tapa Bisu pada saat Malam Satu Suro, dimana seseorang yang melakukan Tapa Bisu akan mengelilingi keraton Yogyakarta tanpa mengeluarkan kata-kata sedikit pun. Ritual ini diyakini menjadi media untuk perenungan diri serta untuk mendekatkan diri dengan sang pencipta.

Kata Suro sendiri disebut-sebut sebagai sebutan untuk bulan Muharram bagi masyarakat Jawa. Suro berasal dari Bahasa Arab yakni Asyura yang berarti sepuluh atau dimaknai sebagai hari ke-10 bulan Muharram.

Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, Malam Satu Suro atau dikenal juga dengan suroan, diidentikan juga dengan suatu upacara yang dilakukan secara berkumpul di dalam masjid.

Selain itu, Satu Suro juga termasuk salah satu hari yang sakral yang masih dipertahankan hingga saat ini serta dipercaya melalui tradisi dan ritual yang dilaksanakan di malam tersebut akan membawa keberkahan dan kebaikan bagi masyarakat.

Kendati demikian, masyarakat Jawa banyak yang meyakini bahwa Malam Satu Suro ini termasuk adat kejawen di mana pada saat pelaksanaannya akan terdapat pertunjukan seni dan budaya hingga beberapa adat dan ritual yang berkaitan dengan kebiasaan masyarakat Jawa.

Terlepas dari hal itu, banyak masyarakat yang mempercayai bahwa Malam Satu Suro ini merupakan malam yang angker dan mistis. Hal ini yang semakin membuat Satu Suro sangat sakral bagi masyarakat Jawa.

Tradisi Malam 1 Suro dalam Perspektif Islam

Perlu dipahami, Malam Satu Suro ini pada dasarnya memang berpedoman pada nilai-nilai keagamaan umat Islam, sehingga dalam pelaksanaan tradisinya juga dilengkapi dengan norma hingga tujuan untuk mencari keberkahan.

Bagi masyarakat Islam di Jawa terkait tradisi Malam Satu Suro dalam perspektif Islam, kesakralan bulan Suro ini rupanya memiliki pengaruh terhadap adanya pantangan pada aspek pernikahan, hajatan atau lainnya agar tidak dilaksanakan di momen tersebut.

Akan tetapi, umat Islam di Jawa pada saat mulai mengenal tradisi Satu Suro, memiliki anggapan bahwa bulan Suro atau Muharram ini justru merupakan bulan yang paling agung dan mulia.

Pandangan tersebut yang pada akhirnya meluruskan pandangan tidak boleh adanya hajatan karena keagungan dan kemuliaan Bulan Suro agar diisi dengan kegiatan ibadah kepada sang pencipta.

Dalam kepercayaan masyarakat Jawa terutama umat Islam, golongan yang mampu atau kuat menyelenggarakan hajatan atau pernikahan di bulan itu hanya raja atau sultan yang pada akhirnya dianggap juga sebagai bulan hajatan bagi keraton.

Hal ini sekaligus menegaskan alasan kenapa Satu Suro ini kerap dianggap sakral hingga angker, bukan semerta-merta banyaknya makhluk gaib yang keluar, melainkan dianggap sebagai bulan yang terlalu mulia untuk golongan yang biasa saja.

Seiring perkembangannya, Malam Satu Suro ini dijadikan sebagai momen untuk memuliakan sang pencipta sekaligus menjadi momentum untuk semakin mendekatkan diri dengan Sang Maha Kuasa.

Begitupun dalam perspektif Islam, dalam momen Bulan Suro ini tidak disinggung terkait pantangan maupun sesuatu yang sakral ataupun mistis, melainkan terdapat sejumlah sejarah yang berkaitan dengan zaman para nabi.

Seperti halnya di bulan Suro atau Muharram ini Nabi Adam meminta ampunan dan bertobat kepada Allah SWT setelah beratus-ratus tahun lamanya hidup di dunia. Allah SWT-pun menerima taubat Nabi Adam pada 10 Muharram yang menjadi momen bersejarah bagi umat Islam.

Kemudian terdapat peristiwa Nabi Musa AS yang mendapat anugerah kitab Taurat pada saat Bulan Muharram, Nabi Ibrahim AS terhindar dari siksaan Raja Namrud, hingga menjadi momentum Nabi Isa diangkat oleh Allah ke langit dan menggantikannya dengan Yahuza.

Selain itu, terdapat momen bersejarah lainnya bagi umat Islam di bulan Muharram ini yakni Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya pada saat Asyura atau Suro mendapat anugerah dan kewaspadaan dalam menetapi hidayah Al-Qur’an (hijrahnya Rasulullah SAW).

Peristiwa bersejarah itu akhirnya dijadikan sebagai cerminan sekaligus menepis berbagai kegiatan atau ritual yang melanggar norma keagamaan. Bagi umat Islam, Malam Satu Suro ini adalah malam yang mulia dimana Allah SWT akan menurunkan hidayah dan keberkahannya yang melimpah.

Pada akhirnya, umat Islam saat memasuki Bulan Muharram disunnahkan untuk menjalankan ibadah serta memperbanyak tafakur serta menambah amal ibadah lainnya guna memperkokoh iman dan takwa.

Baca juga artikel terkait AKTUAL DAN TREN atau tulisan lainnya dari Imanudin Abdurohman

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Imanudin Abdurohman
Penulis: Imanudin Abdurohman
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Dhita Koesno