Menuju konten utama
1 Muharram 1445 H

Mengapa Malam 1 Suro Disebut Angker & Maknanya bagi Orang Jawa

Mengapa Malam 1 Suro disebut angker dan apa maknanya bagi orang Jawa?

Mengapa Malam 1 Suro Disebut Angker & Maknanya bagi Orang Jawa
Sesepuh desa menata sesaji saat melakukan Tradisi Malam 1 Suro di lereng Gunung Merapi, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (19/8/2020). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/foc.

tirto.id - Malam 1 Suro termasuk momen perayaan besar bagi umat Islam dalam memperingati Tahun Baru Islam setiap 1 Muharram. Akan tetapi, malam satu suro kerap diidentikkan dengan hal mistis. Lantas, mengapa malam satu suro disebut angker dan apa maknanya bagi orang Jawa?

Malam 1 Suro adalah istilah yang digunakan masyarakat Jawa setiap memperingati Tahun Baru Islam yang jatuh pada 1 Muharram di tiap tahunnya.

Beranjak dari tradisi tersebut, Malam 1 Suro semakin merambah ke beberapa wilayah hingga menjadi perayaan besar bagi umat Islam di Indonesia dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam.

Di tahun 2023 ini, tanggal 1 Muharram jatuh pada hari Rabu, 19 Juli 2023. Secara tidak langsung Malam Satu Suro atau malam sebelum 1 Muharram akan jatuh pada Selasa malam, 18 Juli 2023.

Mengapa Malam 1 Suro Dianggap Angker dan Maknanya Bagi Orang Jawa

Pandangan Malam Satu Suro dianggap angker ini tidak hanya diyakini oleh masyarakat Jawa saja, melainkan hampir di seluruh wilayah di Indonesia yang menilai bahwa di malam tersebut meski berkaitan dengan perayaan Tahun Baru Islam, juga memiliki kekuatan spiritual tersendiri.

Di samping itu, banyak asumsi juga yang masih berkembang di masyarakat hingga kini bahwa Bulan Suro atau Muharram ini penuhi dengan misteri dan kisah mistis hingga tak sedikit diantaranya menjadi sebuah pantangan yang jika dilanggar bisa mengundang malapetaka.

Tak hanya itu, Malam Satu Suro juga banyak disebut sebagai hari lebarannya makhluk-makhluk gaib sehingga dianggap sebagai malam yang angker dan mistis.

Stigma keangkeran Satu Suro ini semakin diperkuat dengan berbagai tradisi maupun ritual sakral yang digunakan sebagai media untuk berkomunikasi dengan leluhur yang kerap hadir di malam tersebut.

Pada Malam Satu Suro masih banyak masyarakat yang mempercayai terkait pantangan untuk tidak keluar rumah di malam tersebut, sebab sejumlah makhluk gaib dipercaya akan berkeliaran dan berhamburan di malam tersebut yang pada akhirnya kerap dipandang sebagai malam yang angker.

Berdasarkan sejarahnya, pandangan terkait kesakralan Satu Suro ini tidak terlepas dari sejarah pada saat Sultan Agung menguasai Mataram sekitar tahun 1613-1645 yang menginisiasi memadukan kalender Saka dan Islam Hijriyah.

Dalam buku Sejarah Perkembangan Tahun Baru Jawa dan Perilaku Sosial-Budaya Orang Jawa: Suatu Pengantar (2005) karya Hersapandi, perubahan sistem kalender itu dimulai pada 1 Sura sekitar tahun 1555 yang bertepatan dengan 1 Muharram 1043 Hijriah.

Seiring perkembangannya, eksistensi kesakralan Malam Satu Suro semakin meningkat pada saat Kraton Solo dan Kraton Yogyakarta melestarikan beberapa tradisi yang kemudian diidentikkan dengan 1 Suro seperti mengarak benda pusaka, mengelilingi Benteng Kraton, Tapa Bisu, hingga Kirab Kebo Bule.

Peninggalan tradisi dan adat dari dua kerajaan tersebut akhirnya dijadikan sebagai momentum penting bagi masyarakat Jawa. Namun, bagi umat Islam saat itu, Satu Suro ini dipadukan dengan norma-norma maupun nilai-nilai keagamaan guna memperteguh keimanan dan taqwa.

Terlepas dari sejumlah ritual yang berkaitan dengan hal yang mistis ini, dalam peringatan 1 Suro ini sebenarnya memiliki tujuan utama yakni introspeksi diri hingga mendekatkan diri dengan sang pencipta.

Baca juga artikel terkait AKTUAL DAN TREN atau tulisan lainnya dari Imanudin Abdurohman

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Imanudin Abdurohman
Penulis: Imanudin Abdurohman
Editor: Iswara N Raditya