Menuju konten utama

Daftar 7 Mitos Fakta Soal Malam 1 Suro dan Penjelasan Lengkapnya

Apa saja mitos dan fakta soal malam satu Suro dan penjelasan lengkapnya.

Daftar 7 Mitos Fakta Soal Malam 1 Suro dan Penjelasan Lengkapnya
Sesepuh desa menata sesaji saat melakukan Tradisi Malam 1 Suro di lereng Gunung Merapi, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (19/8/2020). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/foc.

tirto.id - Mitos dan fakta mengenai malam satu Suro mulai diperbincangkan jelang peringatannya. Malam satu Suro adalah sebutan yang digunakan masyarakat Jawa untuk merujuk pada malam satu Muharram, Tahun Baru Islam.

Malam satu Suro jatuh bertepatan pada malam hari menjelang tanggal satu Muharam. Tahun ini, satu Muharam jatuh pada Rabu, 19 Juli 2023. Dengan demikian, malam satu Suro akan diperingati pada Selasa malam, 18 Juli 2023.

Solikhin dalam bukunya berjudul Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa menjelaskan bahwa Suro merupakan sebutan bulan Muharram dalam masyarakat Jawa. Kata tersebut berasal dari bahasa arab Asyura, yang berarti sepuluh, yakni hari ke-10 bulan Muharram.

Yayu Wulandari dalam studinya berjudul Pesan Moral Tradisi Budaya Malam Satu Suro pada Etnis Suku Jawa di Desa Wonorejo Kecamatan Mangkutana memaparkan bahwa peringatan malam satu Suro dimulai dari terbenamnya matahari pada terakhir bulan terakhir kalender Jawa (29/30 bulan besar) sampai terbitnya sang matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya.

Masyarakat Jawa menyebut malam satu Suro dengan istilah Suroan artinya melakukan kegiatan pada bulan Suro. Satu Suro dianggap hari yang sakral sehingga masih dipertahankan sampai saat ini. Masyarakat Jawa percaya bahwa tradisi perayaan malam satu Suro dapat membawa berkah bagi masyarakat.

Terdapat beberapa bentuk tradisi yang dijalankan oleh masyarakat Jawa ketika malam satu Suro seperti tirakat, lelaku, atau perenungan diri. Kemudian, ada pula kegiatan kelompok seperti melakukan slametan dan kirab atau iring-iringan.

Irvan Prasetiawan dalam studinya bertajuk Persepsi Masyarakat Terhadap Budaya Malam Satu Suro di Desa Margolembo Kecamatan Mangkutana Kabupaten Luwu Timur menjelaskan, masyarakat Jawa percaya bahwa apabila tradisi malam satu Suro tidak dilaksanakan sebagaimana tradisi tahunannya, maka akan ada bencana yang menimpa.

Daftar Mitos Malam Satu Suro

Masyarakat Jawa mempercayai beberapa hal yang harus dihindari saat malam satu Suro tiba. Hal tersebut kerap dikaitkan dengan sejumlah hal berbau mistis.

Meski larangan dan pantangan tersebut lebih bersifat mitos karena tidak terbukti secara ilmiah. Masyarakat Jawa tetap mengikutinya dan mengembangkannya menjadi sebuah tradisi. Berikut ini adalah beberapa mitos malam satu Suro.

1. Mengindari acara pernikahan

Masyarakat Jawa umumnya tidak akan menggelar acara pernikahan di bulan Suro. Pasalnya, mereka percaya bulan ini dipenuhi oleh ritual sakral lainnya. Sehingga tidak baik apabila ritual pernikahan digelar bersamaan. Apabila nekat menggelar pesta pernikahan di bulan Suro, maka diyakini kesialan akan menimpa.

2. Tidak boleh keluar rumah

Ketika malam satu Suro, masyarakat Jawa dianjurkan untuk tetap berdiam diri di rumah. Sebab, pada malam itu identik dengan banyaknya hal-hal buruk di luar rumah. Untuk menghindari bahaya, maka mereka memilih untuk tetap berada di dalam rumah.

3. Arwah leluhur kembali ke rumah

Dipercaya, saat malam satu Suro, arwah leluhur kembali pulang ke rumah. Oleh karena itu, setiap anggota keluarga harus berdiam diri di rumah untuk menyambut mereka pulang dengan doa-doa.

4. Larangan pindah rumah

Bila berniat untuk pindah rumah, masyarakat Jawa akan menghindari satu Suro. Biasanya, mereka akan menunda jadwal pindah rumah. Mereka percaya apabila tetap melakukan aktivitas pindahan, orang tersebut akan mengalami hal buruk.

Daftar Fakta Malam Satu Suro

Terlepas dari sejumlah mitos yang menyelubungi peringatan malam satu Suro. Terdapat sejumlah fakta menarik mengenai malam satu Suro yang perlu diketahui, meliputi:

5. Ditetapkan oleh Sultan Agung

Kalender Jawa-Islam ditetapkan pada 1633 M, bertepatan dengan 1554 Saka atau 1043 Hijriah oleh Sultan Agung pasca kekalahannya menggempur Belanda di Batavia.

6. Alkulturasi dua budaya

Penanggalan Jawa-Islam yang disusun Sultan Agung merupakan bentuk akulturasi Kalender Saka (Hindu) dan Hijriah (Islam).

Kala itu, pasca kekalahan melawan Belanda di Batavia, masyarakat Mataram terbagi dalam dua kubu, yakni santri dan abangan.

Kelompok santri merupakan masyarakat Jawa muslim yang mempraktikkan syariat agama Islam. Sementara kaum abangan adalah kalangan penduduk yang lebih dekat dengan tradisi.

Dalam hal ini, Sultan Agung membutuhkan cara supaya kelompok santri dan abangan dapat bersatu. Salah satu jalur yang ditempuh adalah membuat Kalender Jawa-Islam.

7. Bentuk evaluasi diri

Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia menjelaskan bahwa Sultan Agung meminta rakyatnya pada malam satu Suro sebagai permulaan tahun baru untuk prihatin, tidak berbuat sesuka hati dan tidak boleh berpesta.

Masyarakat harus menyepi, tapa, dan memohon kepada Tuhan. Prapto juga mengimbuhkan, untuk menghormati leluhur dan sebagai bentuk evaluasi, pada malam tersebut juga pusaka-pusaka dicuci, dibersihkan, seiring dengan kehidupan spiritual yang disucikan kembali.

Baca juga artikel terkait WORK AND MONEY atau tulisan lainnya dari Balqis Fallahnda

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Balqis Fallahnda
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Nur Hidayah Perwitasari