Menuju konten utama

Mengenal Tradisi Satu Suro di 5 Kota, Jogja hingga Temanggung

Tradisi-tradisi unik peringatan Satu Suro di 5 kota di Indonesia mulai dari Yogyakarta, Klaten, Solo, Purwakarta, hingga Temanggung

Mengenal Tradisi Satu Suro di 5 Kota, Jogja hingga Temanggung
Warga berdoa bersama saat tradisi malam Satu "Suro" di Sendang Sidukun desa Traji, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (29/7/2022). ANTARA FOTO/Anis Efizudin/foc.

tirto.id - Beberapa kota di Indonesia memiliki tradisi unik jelang peringatan Tahun Baru Islam atau Satu Suro. Tradisi-tradisi Satu Suro di setiap kota beragam, mulai dari ngumbah keris pusaka di Yogyakarta hingga manten lurah di Temanggung.

Satu Suro adalah istilah Jawa untuk menyebut tanggal 1 Muharram yang bertepatan dengan Tahun Baru Islam. Tahun ini peringatan Satu Suro atau 1 Muharram 1445 H akan diperingati pada Rabu, 19 Juli 2023.

Masyarakat Jawa umumnya akan memulai tradisi Satu Suro sejak malam 1 Suro atau malam sebelum pergantian tahun baru. Artinya, malam Satu Suro di Indonesia tahun ini akan diperingati pada Selasa, 18 Juli 2023.

Menurut Yusantri Andesta dalam studinya berjudul Makna Filosofi Tradisi Suronan pada Masyarakat Jawa di Kelurahan Padang Serai Kota Bengkulu menulis bahwa tradisi pada Satu Suro kerap disebut dengan suroan yang menitik-beratkan pada ketentraman batin dan keselamatan.

Masyarakat Jawa pada malam Satu Suro biasanya akan mengadakan ritual pembacaan doa dari semua umat Islam yang hadir melaksanakannya.

Hal ini bertujuan untuk mendapatakan berkah dan menangkal datangnya mara bahaya. Ritual ini kemudian berkembang menjadi tradisi selama berabad-abad dan langgeng hingga hari ini.

Tradisi Malam Satu Suro di Beberapa Kota Indonesia

Berikut ini beberapa tradisi Satu Suro di lima kota di Indonesia mulai dari Yogyakarta, Solo, hingga Temanggung:

1. Tradisi Satu Suro di Yogyakarta

Yogyakarta memiliki beberapa tradisi yang dilakukan ketika Satu Suro tiba, dua diantaranya adalah ngumbah keris dan mubeng beteng.

Ngumbah keris dikenal juga dengan sebutan lain, yaitu jamasan pusaka atau siraman pusaka. Tradisi ini merupakan upacara pembersihan dan pemandian pusaka milik Keraton Yogyakarta.

Pusaka dibersihkan meliputi senjata, kereta, alat-alat berkuda, bendera, vegetasi, gamelan, serat-serat (manuskrip), dan lain-lain.

Alasan mengapa barang-barang tersebut disebut sebagai pusaka karena fungsi dan perannya yang penting bagi sejarah keraton.

Jamasan pusaka dilakukan untuk menghormati dan merawat segala pusaka yang dimiliki keraton. Akan tetapi, menurut situs Kraton Jogja, terdapat dua aspek alasan pelaksanaan jamasan pusaka, yakni terkait teknis dan spiritual.

Pada hal teknis, tradisi ini ditujukan untuk merawat benda-benda yang dapat dikatakan sebagai warisan dari orang-orang terdahulu. Sedangkan aspek spiritualnya, dilaksanakan sebagai penyambutan oleh masyarakat Jawa terhadap datangnya Malam Satu Suro.

Tradisi Satu Suro lainnya yang dilakukan di Yogyakarta adalah mubeng beteng. Tradisi mubeng beteng sendiri adalah ritual berkeliling area Keraton Yogyakarta oleh para pekerja istana atau abdi dalem.

Pada malam hari tersebut, para abdi dalem berjalan kaki mulai dari Keraton Yogyakarta, alun-alun utara, ke daerah barat (Kauman), ke selatan (Beteng Kulon), ke timur (Pojok Beteng Wetan), hingga akhirnya ke utara lagi dan kembali ke Keraton.

Selama proses mubeng beteng para abdi dalem keraton mengenakan pakaian khas Jawa dan tidak menggunakan alas kaki. Masyarakat umum yang ingin berpartisipasi juga boleh mengikuti di belakang barisan abdi dalem dengan bertelanjang kaki juga.

Ritual mubeng beteng dilakukan sebagai bentuk tirakat atau pengendalian diri dan memohon keselamatan kepada Tuhan YME.

Berjalan tanpa alas kaki ini dimaksudkan untuk lebih mendekatkan diri dan penunjukkan rasa cinta terhadap alam semesta. Selama perjalanan dilakukan, semua yang mengikuti prosesi akan menggantungkan tasbih di jari kanan serta memanjatkan doa kepada Tuhan.

2. Tradisi Satu Suro di Klaten

Masyarakat Jawa di Klaten pada malam Satu Suro akan menggelar tradisi ngalap berkah. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia ngalap berkahberarti mengharapkan berkah.

Tradisi tersebut dilakukan dengan kegiatan berdoa bersama sebagai rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan tuhan. Selain itu, tradisi ini dapat mempererat tali persaudaraan.

Pada malam Satu Suro, biasanya masyarakat Klaten melakukan kegiatan laku prihatin untuk tidak tidur semalam suntuk atau selama 24 jam.

Kegiatan Suroan di Klaten diisi dengan acara selametan (kenduri) massal serta mengadakan pertunjukan Wayang Kulit semalam suntuk setiap tanggal 7 Suro.

Suroan harus dilaksanakan pada malam tanggal tujuh Suro karena sudah menjadi tradisi dan kewajiban bagi Masyarakat Brangkal, Klaten.

Di mana ada kepercayaan jika masyarakat tidak melaksanakan kegiatan tersebut, maka warga desa akan mendapatkan bencana karena dianggap tidak menjalankan kewajiban terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

3. Tradisi Satu Suro di Solo

Peringatan Satu Suro di Solo diperingati dengan menggelar kirab atau iring-iringan. Keraton Kasunanan Surakarta biasanya menyelenggarakan perayaan malam Satu Suro dengan melakukan kirab pusaka keraton dan kebo bule (kerbau putih).

Kebo bule merupakan kerbau berwarna putih dengan kulit kemerahan milik keraton yang menjadi hewan kesayangan (klangenan) Raja Paku Buwono II.

Bagi masyarakat setempat, kebo bule dianggap keramat dan menjadi aset keraton. Kandangnya diletakkan di Alun-Alun Selatan Kota Solo. Masyarakat bisa dengan bebas melihat kerbau ini di sana.

Kirab diawali dengan doa-doa dan penebaran sesajen di pintu masuk Kraton Surakarta atau Kori Kamdandungan. Penebaran sesajen ini dilakukan oleh para abdi dalem keraton sembari menanti datangnya kebo bule.

Kerbau-kerbau keramat itu kemudian dilepas dan dibiarkan berjalan sendiri. Tidak boleh ada paksaan pada kerbau. Setelah itu raja dan keturunannya, beserta abdi dalem, akan mengikuti di belakang kerbau dengan barisan yang rapi.

Tidak lupa pembesar keraton lain yang berjumlah 10 orang turut mengiringi sembari membawa pusaka. Pusaka-pusaka ditutup rapi memakai kain yang telah disematkan kalung yang berisi untaian bunga melati.

Selama menjalankan kirab, semua peserta tidak boleh berbicara meski hanya satu kata. Larangan berbicara dimaksudkan agar peserta merenung dengan berbagai hal yang telah diperbuatnya selama ini dalam kehidupan sehari-hari.

4. Tradisi Satu Suro di Purwakarta

Purwakarta menyambut Satu Suro dengan pawai obor yang dilakukan oleh ribuan masyarakatnya. Pawai obor tersebut dilakukan dengan doa dan dizikir bersama.

Pelaksanaan pawai obor dimulai setelah menunaikan shalat Isya. Sebelum melakukan pawai, peserta pawai obor terlebih dahulu berkumpul di Jalan Jenderal Sudirman Pasar Juma’ah hingga Lapangan Sahate, Purwakarta.

Dikutip laman Pemerintah Kabupaten Purwakarta, peringatan tradisi Satu Suro di Purwakarta ini diharapkan dapat menjadi momen untuk membangun diri menjadi lebih baik lagi dengan menjauhi segala larangan-Nya.

5. Tradisi Satu Suro di Temanggung

Tradisi peringatan Satu Suro yang unik digelar di Desa Traji, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung.

Mengutip laman resmi Pemerintah Kabupaten Temanggung, setiap tanggal 1 Suro, masyarakat di Desa Traji setiap malam Satu Suro menggelar ritual bernama manten lurah traji.

Ritual mantel lurah traji dipercaya sudah berlangsung selama ratusan tahun sejak zaman nenek moyang,

Begitu malam Satu Suro datang, ratusan warga berkumpul di pusat Desa dengan mengenakan pakaian beskap adat Jawa. Kemudian, pejabat Kepala Desa Traji bersama istrinya didandani layaknya pengantin dalam ritualnya.

Pengantin ini lalu diarak oleh warga menuju mata air utama yang bernama Sendhang Sidukun, serta mata air lain yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat.

Masyarakat lalu melaksanakan doa bersama di mata air tersebut, dilanjutkan dengan sesi berebut gunungan hasil bumi.

Ritual ini tak lain adalah simbol kedekatan manusia dengan alam sekitar, termasuk mata air yang menjadi pusat kehidupan sehari-hari masyarakat setempat.

Tradisi suroan manten lurah dipercaya lahir lewat peristiwa sejarah. Berdasarkan cerita turun-temurun yang dahulu kala terdapat leluhur mereka yang bernama Kiai Sepanjang.

Kiai Sepanjang mencari istrinya yang hilang dan terpisah lama. Pada suatu hari, secara ajaib Kiai Sepanjang berhasil menemukan sang istri beberapa tahun kemudian.

Sebelum ditemukan, Kiai Sepanjang pernah berjanji akan menggelar arak-arakan apabila istrinya kembali ditemukan. Ritual nazar tersebut yang kemudian dilanjutkan sampai sekarang dan menjadi tradisi suroan di wilayah Desa Traji, Temanggung.

Baca juga artikel terkait TAHUN BARU ISLAM 2023 atau tulisan lainnya dari Balqis Fallahnda

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Yonada Nancy