Menuju konten utama

Ngumbah Keris Pusaka & Tradisi Malam 1 Suro di Keraton Yogyakarta

Apa itu tradisi ngumbah keris malam 1 Suro? Salah satu tradisi di malam satu Suro di Keraton Yogyakarta.

Ngumbah Keris Pusaka & Tradisi Malam 1 Suro di Keraton Yogyakarta
Seorang ulama menjamas atau mencuci tombak peninggalan Sunan Kudus di komplek Masjid Menara Kudus, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (7/9/2017). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

tirto.id - Apa itu tradisi ngumbah keris malam 1 Suro? Mengutip situs Kemdikbud, Malam Satu Suro dijabarkan sebagai hari pertama dari kalender Jawa di bulan Sura. Penanggalan tersebut ternyata dibuat dengan landasan penggabungan kalender lunar (Islam), kalender matahari (masehi), dan kalender Hindu.

Bagi umat Islam universal, tanggal 1 Muharam pertama kali dicetuskan oleh Khalifah Umar Bin Khatab ketika Islam pertama kali melakukan hijrah dan berkembang. Peringatan yang dikenal dengan 1 Muharam ini akhirnya ditetapkan sebagai Tahun Baru Hijriah.

Di sisi lain, orang-orang Jawa yang mengenal hari tersebut sebagai Malam Satu Suro juga melakukan beberapa tradisi untuk memperingatinya, misalnya dengan kegiatan suran atau selamatan. Menurut Geertz (1981:18), suran tersebut ternyata sesuai dengan prinsip kehidupan orang Jawa, di mana kebahagiaan dipentingkan, salah satunya untuk dapat terlepas dari segala gangguan.

Lantas, apa sajakah tradisi yang dilakukan di lingkungan Keraton Yogyakarta kala Malam Satu Suro?

Tradisi Malam 1 Suro di Keraton Yogyakarta

Berdasarkan catatan Madhan Anis dalam Jurnal, Malam Satu Suro merupakan peringatan besar yang musti disambut masyarakat Jawa dengan samadi, sesirih, sesuci, dan sarasehan. Lebih lanjut, Harmanto (2000:10) menjabarkan bahwa di malam tersebut harus ada samadi (memohon ampun kepada Tuhan), sesirih (pengendalian diri/tirakat), sesuci (menyucikan diri dan alat-alat perjuangan), dan sarasehan (temu rasa, bawa rasa, dan mengasah kemampuan).

Berikut ini tradisi peringatan Malam Satu Suro di Yogyakarta:

Mubeng Benteng

Tradisi atau ritual ini dilakukan sebagai bentuk tirakat atau pengendalian diri dan memohon keselamatan kepada Tuhan YME. Pada malam hari tersebut, mubeng benteng dilakukan dengan berjalan kaki mulai dari Keraton Yogyakarta, alun-alun utara, ke daerah barat (Kauman), ke selatan (Beteng Kulon), ke timur (Pojok Beteng Wetan), hingga akhinrya ke utara lagi dan kembali ke Keraton.

Kala prosesi mubeng benteng dilakukan, para abdi dalem keraton mengenakan pakaian khas Jawa dan tidak menggunakan alas kaki. Di belakangnya, masyarakat umum akan mengikuti dengan tidak mengenakan alas kaki juga.

Berjalan tanpa alas kaki ini dimaksudkan untuk lebih mendekatkan diri dan penunjukkan rasa cinta terhadap alam semesta. Selama perjalanan dilakukan, semua yang mengikuti prosesi akan menggantungkan tasbih di jari kanan serta memanjatkan doa kepada Tuhan.

Jamasan Pusaka atau Ngumbah Keris

Di Malam Satu Suro, ternyata ada juga tradisi rutin tahunan yang dilakukan di Keraton Yogyakarta, dikenal dengan jamasan pusaka atau siraman pusaka. Ketika upacara ini, pusaka-pusaka milik Keraton Yogyakarta akan dibersihkan atau dimandikan.

Pusaka tersebut meliputi senjata, kereta, alat-alat berkuda, bendera, vegetasi, gamelan, serat-serat (manuskrip), dan lain-lain. Hal yang dijadikan sorotan bahwa barang tersebut dikatakan sebagai pusaka adalah berdasarkan perannya bagi sejarah keraton (fungsi benda tersebut dahulu kala).

Terkait tujuannya, jamasan pusaka dilakukan untuk menghormati dan merawat segala pusaka yang dimiliki keraton. Akan tetapi, menurut situs Kraton Jogja, terdapat dua aspek alasan pelaksanaan jamasan pusaka, yakni terkait teknis dan spiritual.

Pada hal teknis, tradisi ini ditujukan untuk merawat benda-benda yang dapat dikatakan sebagai warisan dari orang-orang terdahulu. Sedangkan aspek spiritualnya, dilaksanakan sebagai penyambutan oleh masyarakat Jawa terhadap datangnya Malam Satu Suro.

Akar Kesakralan Malam 1 Suro

Muhammad Solikhin dalam Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa(2010) berpandangan, faktor terpenting yang menyebabkan bulan Suro dianggap sakral adalah budaya keraton. Ia menulis, bahwa keraton sering mengadakan upacara dan ritual untuk peringatan hari-hari penting tertentu, dan akhirnya terus diwariskan, dilanjutkan dari generasi ke generasi.

Dalam konteks malam 1 Suro, seperti dicatat Wahyana Giri dalam Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010), lingkungan Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sebenarnya memaknainya sebagai malam yang suci atau bulan penuh rahmat.

Pada malam tersebut mereka mendekatkan diri kepada Tuhan dengan membersihkan diri melawan segala godaan hawa nafsu, dengan menjalankan tirakat dan lelaku atau perenungan diri. Salah satunya, selamatan khusus selama satu minggu berturut-turut dan tidak boleh berhenti.

Sementara Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia, mencoba menjelaskan mengapa pada akhirnya Malam 1 Suro dimaknai secara menakutkan. Menurutnya, ini adalah imbas dari politik kebudayaan dari Sultan Agung dari Kerajaan Mataram

Pada kurun 1628-1629, Mataram mengalami kekalahan dalam penyerbuannya ke Batavia, yang akhirnya membuat Sultan Agung melakukan evaluasi. Setelah penyerbuan itu pula, pasukan Mataram yang menyerang Batavia telah terbagi ke dalam pelbagai keyakinan seiring semakin masifnya Islam di tanah Jawa.

Kondisi tersebut akhirnya membuat pasukan Mataram tidak solid. Kemudian, untuk merangkul semua golongan yang terbelah, Sultan Agung menciptakan kalender Jawa-Islam dengan pembauran kalender Saka dari Hindu dan kalender Hijriah dari Islam.

Baca juga artikel terkait MALAM 1 SURO atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Yulaika Ramadhani